Part 15 : Pertengkaran

126 9 0
                                    

Nindy

“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Zain langsung menyadarkanku dari tidur. 

Aku membuka mata dengan tangan kanan masih memegang inhaler dan tangan kiri memeluk boneka Hello Kitty milik Zee. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur Ziva dengan masih memakai seragam guru. Aku memang langsung menuju kamar Ziva ketika sampai di rumah sore tadi. Bahkan sesuap nasi pun belum sempat masuk ke dalam perut karena sibuk ke rumah beberapa orang teman untuk meminjam uang. 

Setelah mengunjungi sekolah dan bertemu Bu Fitri, aku langsung menuju rumah Hanifa, Ike dan Asty. Mereka semua adalah teman baikku ketika kuliah. Dari ketiga orang tersebut, aku berhasil mengumpulkan uang tiga juta rupiah, sedangkan uang yang ditransfer Bu Fitri mencapai sepuluh juta rupiah. Aku berharap Zain membawa uang yang cukup untuk membayar tebusan Ziva yang harus dibayar esok hari.

Ketika menemukan inhaler di meja Ziva, aku sangat tertekan dengan perasaan bersalah. Berkali-kali aku menyalahkan kecerobohanku karena melupakan inhaler Ziva. Anakku menderita asma semenjak lahir. Dia harus menjalani pengobatan rutin di rumah sakit. Inhaler ini sangat penting untuk berjaga-jaga seandainya asma Zee kambuh secara tiba-tiba di sekolah. Walaupun aku sudah memberitahu wali kelas Zee tentang penyakit ini, tetap saja setiap pagi ketika membangunkan Ziva, aku selalu mengecek tas sekolah dan memasukkan inhaler ke dalamnya. Sebelum pergi sekolah, Zain juga akan mengecek ulang atau menanyakan kepada Ziva tentang inhaler ini. Entah kenapa, hari itu kami berdua melupakannya. Membayangkan asma Zee bisa kambuh kapan saja tanpa inhaler, aku merasa sangat ketakutan. Aku pun menangis hingga tertidur di kamar Ziva.

“Aku tertidur,” jawabku singkat sambil bangkit dan duduk di tepi ranjang.

Wajah Zain terlihat kusut dengan sorot mata lelah. Aku melirik jam di meja belajar Ziva. Sudah pukul sembilan malam, artinya aku telah tertidur berjam-jam lamanya. Zain berjalan mendekatiku, tiba-tiba matanya membesar dan terbelalak.

“Apa yang kamu pegang itu? Inhaler Ziva?”

Aku pun segera menyadari keterkejutannya, sama seperti diriku sebelumnya. Perlahan aku memberikan inhaler itu ke tangan Zain dan berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Nindy! Apa maksudnya ini? Kamu lupa memasukkan inhaler Ziva? Jadi ... Ziva tidak punya inhaler?” 

Aku memandang Zain dan mengangguk.

“Sial! Bagaimana kamu bisa lupa dengan hal penting seperti ini? Kamu tahu kalau barang ini sangat penting bagi Ziva? Ke mana pikiranmu?” Suara Zain menggelegar. Matanya memerah penuh dengan amarah. Aku sangat lelah. Kenapa semua harus menjadi salahku?

“Bukankah setiap pagi kamu juga harus mengecek tas Ziva? Aku memang lupa, tapi kamu juga lupa, kan?” jawabku.

Rahang Zain mengeras. “Itu adalah tugasmu! Ibu seperti apa kamu, tidak bisa mengurus anak sendiri!” teriak Zain.

Seketika dadaku bergemuruh. Rasa lelah, sedih, takut dan amarah bercampur menjadi satu.

“Apa kamu bilang? Sembilan bulan aku mengandung hingga bertarung dengan maut ketika melahirkannya. Setiap hari aku mengurus Ziva dan dirimu. Aku juga bekerja mencari uang. Kamu pikir untuk siapa? Mengurus anak bukan hanya tugasku, itu juga kewajibanmu! Kenapa kamu tidak mengecek tas Ziva pagi itu? Kenapa kamu terburu-buru? Kenapa hanya aku yang disalahkan?” teriakku sambil berurai air mata. Aku menutup muka dengan kedua tangan dan kembali terduduk di tempat tidur Ziva.

“Akh, sial!” Zain mengepalkan tangan, dadanya naik turun. Aku hanya diam menunggu, apa pun yang akan dilakukannya, aku sudah pasrah. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, akhirnya Zain melangkah menuju kamar kami. Baru beberapa detik ditinggal Zain, ponselku pun berdering. Aku terlonjak dan segera berlari ke ruang tengah, mengambil tas yang masih tergelatak di sofa kemudian mengeluarkan ponsel dengan tangan gemetar. Telepon dari penculik. Aku bahkan sudah tahu ketika melihat private number itu. Zain memandangku dengan nanar.

“Halo!”

“Ibu Nindy! Kami meminta uang tebusan itu sekarang juga atau Ziva akan mati!” 

“A-apa? Bukankah kami masih punya waktu sampai esok hari? U-uangnya belum terkumpul. Saya janji besok akan kami bayarkan,” kataku terbata-bata.

“Berapa pun uang yang ada, kalian harus kirimkan malam ini. Sisanya bisa kalian bayar besok!” Suara penculik itu terdengar aneh seperti orang panik. Butuh beberapa detik bagi Nindy untuk mencerna perkataannya.

“Ta-tapi bagaimana kalau kalian tidak membebaskan Ziva setelah kami membayarnya. Saya mohon, anak saya itu sakit. Dia membutuhkan obat dan pertolongan. Kami akan bayar dengan semua yang kami punya malam ini, tapi tolong bebaskan dia.”

“Kalian bayar malam ini atau anak kalian mati. Itu terserah kalian!” 

“Ka-kami akan bayar, tapi saya mohon, biarkan saya bicara dengan Ziva terlebih dahulu,” kataku dengan suara bergetar. Zain yang tidak sabar, langsung mengambil ponsel dari tanganku.

“Halo! Biarkan saya bicara dengan Ziva. Anakku sedang sakit, dia tidak membawa obatnya.”

“Waktu kalian sudah habis. Saya tidak mau main-main lagi!”

“Bangsat! Saya mau bicara dengan anak saya. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dia, saya akan mencarimu walau ke ujung dunia. Halo! Halo!” Zain berteriak kemudian menghempaskan ponselku ke sofa.

“Sialan! Dia memutuskan teleponku,” kata Zain dengan frustasi.

Aku hanya memandang Zain dengan air mata yang terus menetes di pipi. 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” lirihku. 

Bersambung ...



SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now