Part 19 : Depresi

363 19 4
                                    

Nindy

Aku masih tidak percaya, gadis kecilku telah pergi untuk selamanya. Berulang kali aku mengucap mantra, ini hanya mimpi, sebuah mimpi buruk. Aku pasti akan terbangun dan melihat senyum Zee yang menggodaku. Setiap pagi aku akan mengomelinya karena terlambat menghabiskan sarapan. Setiap sore aku akan duduk bersamanya menonton film kartun dan setiap malam akan kubacakan dongeng sebelum tidur untuknya.

“Nak, kamu harus sabar dan ikhlas. Kamu pasti bisa, Ibu tahu kamu adalah wanita yang kuat.” Suara ibu mertuaku terdengar samar, aku hampir tidak menyadari keberadaanku saat ini. Aku tidak bisa menangis lagi. 

“Istighfar ,ya, Dek. Kamu harus kuat,” bisik Kak Silvy ditelingaku. Aku tidak mengangguk atau pun menggeleng. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhku. Yang aku tahu, saat ini banyak orang disekelilingku, keluarga, teman dan tetangga. Kami semua berdiri mengelilingi sebuah lubang yang menganga, lubang yang baru digali beberapa jam yang lalu. Zain datang bersama Bang Hendi dan dua orang pria yang tidak kukenal, mereka membawa sebuah peti di mana tubuh kecil putriku terbaring dengan tenang.

Mataku nanar memandang peti jenazah yang mulai diturunkan secara perlahan. Zain ada di dalam lubang yang baru digali itu, menyambut kedatangan tubuh putri kami dan menyentuhnya untuk terakhir kali. Napasku tersekat. Air mataku sudah kering. Aku ingin teriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku ingin berlari ke lubang itu bersama Zee, tapi kakiku seperti terpancang di atas tanah. Kak Dessy dan Kak Silvy memegang erat tubuhku yang mulai lemah. Separuh nyawaku melayang ketika mereka mulai menimbun peti Zee dengan tanah. Suara kak Silvy yang berusaha menenangkanku mulai terdengar samar. Pandanganku pun kembali gelap gulita.

***

Sudah tiga hari, tapi aku belum bisa menerima kepergian Zee. Bagaimana mungkin penculik itu tega melakukan ini kepada putriku? Zee, hanya seorang anak kecil dengan tubuh lemah tak berdaya. Kenapa mereka membiarkannya menderita? Anakku tidak bersalah.

“Zee tidak bersalah,” lirihku.

“Iya, Ziva tidak bersalah. Bidadari kecil itu akan masuk surga. Kamu harus mengikhlaskannya, Nak.” Ibu Zain kembali memelukku. Air mataku kembali menetes. Aku menangis tanpa suara. Lirih terdengar ayat suci Al-Quran yang mengalun merdu dari mulut Kak Silvy. Malam ini, pengajian dan doa untuk Ziva baru saja berakhir.

Bu Rahma, langsung memelukku ketika datang ke rumah. Kepulangannya bertepatan dengan hari kematian Ziva. Dia dan beberapa tetangga dekat langsung mengatur semua keperluan untuk pemakaman dan pengajian. Aku tidak tahu apa-apa. Semuanya sudah di bantu oleh tetangga dan keluargaku.

“Bu Nindy, saya mohon izin pulang dulu.” Aku pun melepaskan diri dari pelukan ibu mertua dan menatap wajah Bu Rahma yang teduh. Perempuan berhijab itu mengenggam tanganku dan mencoba tersenyum.

“Ziva sudah seperti anak saya sendiri. Saya juga sangat kehilangan. Sekarang tidak akan ada lagi teman bermain Alisa. Ziva anak yang baik, Bu. Dia akan mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya, Insya Allah. Ibu harus sabar, ya.”

Aku mengangguk pelan. Mata hitam Bu Rahma berkaca-kaca, tetes air mulai turun dari sudut matanya. Dia pun langsung memelukku. Kami berdua menangis. Aku percaya dengan semua yang dikatakannya. Dia juga sangat menyayangi Ziva.

“Terima kasih sudah banyak membantu keluarga kami,” lirihku sambil terisak.

“Itu sudah kewajiban saya. Kita bukan hanya tetangga, tapi juga keluarga. Hubungi saya, jika Bu Nindy membutuhkan apa pun,” bisiknya. Aku pun mengangguk. Kepulangan Bu Rahma diiringi oleh tetangga yang lain, hingga yang tersisa hanya keluargaku dan Zain.

“Bapak juga harus pulang, Nindy. Besok pagi, Bapak harus menggantikan Hendi untuk menjaga ibumu di rumah sakit,” kata Bapak yang datang menghampiriku. Ibuku memang masih di rumah sakit, walau kondisi sudah jauh lebih baik. Tidak ada satu pun dari kami yang memberitahukan tentang kematian Ziva. Kondisi Ibu belum memungkinkan untuk mendengar berita buruk ini.

“Bapak pulang sama siapa?” tanyaku.

“Sama Dessy dan anak-anak. Silvy akan tidur di sini malam ini.” 

Aku hanya mengangguk, menerima pelukan Kak Dessy dan menatap kepergian keluargaku. Kak Dessy dan kedua anaknya selalu hadir selama tiga malam acara pengajian untuk Ziva. Sedangkan Bang Hildan, hanya menunjukkan muka ketika hari pemakaman. Masalah Bang Hildan dengan Zain belum selesai. Aku bisa melihat sorot mata Zain yang penuh kebencian ketika melihat Bang Hildan. 

Zain pasti sangat menderita kehilangan Ziva. Kami tidak banyak bicara dalam beberapa hari ini, tepatnya semenjak pertengkaran terakhir kami. Bahkan sampai Ziva dimakamkan, tidak ada kata-kata di antara kami. Apakah dia sangat marah padaku? Apakah kematian Zee sepenuhnya adalah salahku? Ataukah dia sudah tidak peduli lagi padaku? Tiba-tiba bayangan perempuan bule itu kembali mengusik hatiku. Wajahnya dan keakrabannya dengan Zain. Apakah mereka murni bersahabat?

“Sebaiknya kamu istirahat di kamar. Biar Kakak yang bereskan semua yang ada di sini,” kata Kak Silvy.

“Iya, Silvy benar. Istirahatlah, Nak.” Ibu Zain menatapku dengan lembut. Wanita tua yang masih terlihat cantik ini memiliki sifat keibuan yang menenangkan. Aku sudah menganggapnya seperti ibu kandungku sendiri.

“Zain! Antarkan Nindy ke kamar!” perintah Ibu ketika melihat Zain yang baru masuk setelah mengantarkan Bapak dan Kak Dessy ke mobil.

Laki-laki itu menatapku sekilas, wajahnya yang muram melukiskan kesedihan yang tidak bisa dia sembunyikan. Ingin sekali aku memeluknya, tapi apakah dia sudah memaafkanku?

“Ayo! Aku antar ke kamar,” kata Zain lembut sambil membimbingku.

Malam itu, kami tidur tanpa banyak bicara, bahkan tidak saling menyentuh. Zain tenggelam dengan kesedihannya, begitu juga aku.

Bersambung ...

 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now