Part 10 : Penyelewengan

123 9 2
                                    

Ditulis oleh RetnoNofianti

ZAIN

Setidaknya ada lima panggilan dari Ronald yang kuabaikan saat menyetir tadi. Rencananya aku akan menelpon dia kembali begitu sampai kantor. Ini hari Sabtu, biasanya dia akan mengajakku sekadar mancing atau bermain futsal. Setelah seminggu bekerja, menghabiskan akhir pekan dengan bersenang-senang sudah menjadi rutinitas kami supaya hari Senin sudah siap bekerja secara optimal kembali.

Seperti dugaanku, kantor sepi. Namun, beberapa mobil terparkir di halaman membuatku terpaku sejenak. Apa ada yang aku lewatkan? Apa mungkin Ronald menghubungiku karena masalah genting? Tentang material bisa jadi. Masalah tersebut belum kami bicarakan setelah aku kembali dari lokasi perumahan yang sedang dibangun beberapa malam lalu.

Aku meraih ponsel dan men-dial nomor Ronald. Terdengar helaan napas lega begitu nada sambung berhenti.

“Kenapa, Ron?”

“Mas Zain bisa ke kantor sekarang?”

Aku mengernyit sambil membuka sitbealt. Perlahan kudorong pintu mobil lalu meraih berkas-berkas yang dua malam lalu aku bawa ke rumah. Sampai detik ini aku belum menemukan kejanggalan pada laporan tersebut. “Ini di depan.”

“Buruan masuk, Mas.”

“Soal material, ya?”

“Iya.”

“Oke.” Aku menutup sambungan telepon dan menekan tombol kunci pada mobil.

Gedung lima lantai di depanku ini nampak lengang. Terutama lantai dasar yang sedang kulewati. Aku menuju pintu lift dengan tergesa. Jika ini tentang material, kemungkinan besar pihak supllayer sudah menghubungi kantor karena kedatanganku ke sana tempo hari. 

Begitu sampai di lantai tiga Ronald sudah menungguku di depan lift. Dia nampak gelisah. Dia langsung menerima berkas yang sejak tadi kupegang.

“Kenapa buthek begitu mukanya?”

“Mas Zain dipanggil Pak Adnan.”

Pak Adnan? Jadi masalah ini telah sampai ke pimpinan perusahaan. Padahal aku belum membahas soal ini dengan pihak keuangan. Aku mengurut pelipis sejenak.

“Pak Hildan juga dipanggil?”

Ronald mengangguk. “Beliau sudah berada di ruangan Pak Adnan.”

Pak Hildan merupakan manager keuangan sekaligus ipar Nindy. Dia suami kakak pertama Nindy. Seharusnya aku langsung menghubunginya malam lalu. Sehingga bisa menemukan solusi terlebih dahulu sebelum menghadap Pak Adnan seperti sekarang. Masalah Zee benar-benar memecah konsentrasiku tentang pekerjaan.

“Coba kamu periksa sekali lagi berkas tersebut, Ron. Sekiranya ada yang ganjil segera kita usut.”

“Mas Zain tidak apa-apa?”

“Kenapa?”

“Mas Zain pucat. Mas Zain sakit?”

Aku mencoba tertawa. Kurang tidur dan banyak pikiran memang berhasil membuat asam lambungku kumat. Tapi, pagi ini aku baik-baik saja.

“Minta tolong Agnes. Kita bahas dokumen ini.” 

Ronald mengangguk. Aku rasa Agnes tidak datang hari ini. Sabtu-Minggu memang jatahnya libur. Kecuali ada masalah genting seperti sekarang. 

Setelah mengembuskan napas berat aku mantap menuju ruangan Pak Adnan di lantai empat. Jika memungkinkan, aku akan mengajukan pinjaman. Apa pun hasilnya nanti, setidaknya aku harus mencobanya.

SERPIHAN ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang