Part 11 : Kasih Ibu

82 10 0
                                    


NINDY

Suasana dalam toko mendadak sunyi. Bang Hendi dan Kak Silvy duduk terdiam setelah mendengar ceritaku tentang penculikan Ziva.

“Kita harus segera lapor polisi!” kata Bang Hendi sambil berdiri.

“Tidak, Bang! Jangan ambil resiko. Aku tidak mau apa pun terjadi dengan Ziva.” Aku memegang tangan Bang Hendi dengan wajah memohon. Dia terlihat marah.

“Justru karena sayang Ziva, maka kita harus melaporkan hal ini!” tegasnya.

Aku menggelengkan kepala. “Tidak. Kami sudah sepakat untuk membayar tebusan itu. Penculik bisa saja membunuh ....” Suaraku seperti tersangkut di tenggorokan. Aku pun menggeleng cepat, membuang bayangan tubuh Ziva yang terbujur kaku. Tidak. Aku tidak mau kehilangan anakku. 

“Benar, Bang. Orang sekarang nekat-nekat. Mereka bisa melakukan apa saja jika merasa terancam. Lihatlah isi berita, pembunuhan di mana-mana. Semoga Zee bisa selamat,” kata Kak Silvy dengan berurai air mata. Dia pun memelukku.

Melihat kami berdua menangis, Bang Hendi akhirnya mengalah dan duduk. Dia menghela napas panjang. 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” gumamnya.

“Kami sedang mengumpulkan uang yang mereka minta. Sampai sekarang baru terkumpul 120 juta. Ibu Zain menjual semua perhiasannya dan memberikan uangnya untuk menebus Ziva.”

“Itu bahkan belum setengah dari yang mereka minta. Dari mana lagi kita bisa kumpulkan sisanya?” tanya Kak Silvy.

Aku terdiam dan menarik napas dalam. “Zain sedang berusaha mengumpulkan sisanya, Kak. Dia akan coba meminjam dari kantor. Kami sudah berusaha menjual mobil dan rumah, tapi belum laku. Kalau ... kalau saja Bang Hendi punya sedikit uang, bisakah kami meminjamnya?”

Bang Hendi dan istrinya saling bertatapan. “Abang baru saja belanja barang beberapa hari yang lalu. Lihatlah semua barang-barang itu,” katanya sambil menunjuk kardus yang bertumpuk di sudut toko. 

“Kalau saja Abang tahu, pasti uang itu Abang simpan dulu,” lanjutnya dengan muka bersalah.

Aku menunduk dan terdiam. Kak Silvy mengenggam tanganku dengan erat. Tiba-tiba dia menunjuk sepeda motor yang terparkir di depan toko. “Bagaimana dengan motor itu? Mungkin bisa laku beberapa juta, Bang!

“Maksudmu, motor Abang?”

“Ya, iya. Punya siapa lagi. Kita bisa jual untuk tambahan uang tebusan Ziva.” Bang Hendi menatap kakak iparku itu dengan wajah tak percaya. Aku memakluminya, itu adalah motor satu-satunya di rumah kami. Bang Hendi membutuhkan motor itu untuk mengantarkan barang ke pembeli atau pelanggan sekitar sini. Dia sangat membutuhkan motor itu.

“Tidak, Kak! Jangan! Motor itu sangat diperlukan di sini,” kataku.

Bang Hendi menarik napas. “Mungkin bisa dijual dengan harga lima sampai enam juta. Baiklah. Abang akan jual motor itu demi Ziva. Bagaimanapun, nyawa Ziva jauh lebih penting.”

“Kenapa dengan Ziva? Ada apa?” Suara ibuku dari pintu belakang ruko mengejutkan kami semua. Tanpa kami sadari, dia sudah berdiri di pintu dengan wajah terkejut.

“Ibu! Kenapa bangun? Tadi katanya sakit kepala.” Kak Silvy segera berdiri dan mendekati ibuku. Perlahan dia membimbing ibu untuk duduk di kursi dekat kami. Aku tidak mampu menatap mata ibuku.

“Nindy! Kamu belum jawab pertanyaan Ibu. Ada apa dengan Ziva? Apa yang terjadi dengan cucu Ibu?” 

Aku masih menunduk. Butiran bening kembali menetes dari sudut mata. Bang Hendi dan Kak Silvy juga terdiam.

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now