Part 14 : Karma

183 13 0
                                    

Credit by RetnoNofiantimention a usermention a user

Zain

Sudah selesai jam makan siang saat aku sampai ke kantor. Aku berpisah dengan Shanza karena dia juga harus bekerja. Beberapa saat lalu Agnes menelpon. Dia menyatakan departemen logistik akan diperiksa mengenai penyelewengan material tersebut. Pak Ratmo juga mengabari jika keramik untuk dipasang sudah tidak ada lagi. Kepalaku berdenyut memikirkan semua ini secara bersamaan.

Uang yang kuterima dari Shanza senilai lima puluh juta rupiah. Masih ada kekurangan sekitar delapan puluh juta lagi. Aku meraih ponsel dari saku celana. Aku harus bertanya pada Bapak lagi, barangkali ada kabar baik.

Suasana di luar kantor sudah sepi, apalagi area parkir. Karena mungkin semua orang sudah masuk ke ruangannya masing-masing. Sebenarnya perusahaan kami lumayan fleksibel. Tidak ada kewajiban untuk selalu berada di kantor. Asalkan pekerjaan selesai, tidak masalah mau mengerjakannya di mana.

“Assalamu alaikum, Zain?” Suara Bapak terdengar berat.

“Waalaikum salam, Pak.”

“Bagaimana, ada kabar dari Zee?”

Aku mengganjur napas. “Saya sudah mendengar suara Zee, Pak. Dia ketakutan. Mereka bersedia memberi waktu dua hari lagi karena uang kami belum terkumpul.”

“Masih kurang banyak?”

Apa pantas aku menanyakan soal tanah? Ibu sudah menjual semua emasnya untuk kami. Haruskah aku bertanya soal itu juga? “Kurang delapan puluh juta lagi.”

Terdengar Bapak menghela napas. “Tanah belum ada yang menawar, Nak. Walau kami banting harga juga sedang tidak ada yang butuh tanah.” Suara Bapak begitu lirih.

“Doakan semoga kami segera mendapatkan kekurangannya, Pak. Bapak dan Ibu baik-baik saja, bukan?” Walau rasanya kepalaku dipukul palu, semakin berdenyut karena tidak tahu harus mencari ke mana lagi, aku tidak boleh egois hanya meminta mereka memikirkan kami saja.

“Kami selalu berdoa, semoga semua baik-baik saja. Kami baik, Nak. Jaga kesehatanmu. Jangan sampai kamu sakit. Kalian harus kuat. Semoga semua cepat selesai. Apa pun ketetapan Allah nanti, terima dengan ikhlas. Kalian sudah menjadi orang tua hebat.” Suara Bapak sedikit terbata. Aku tahu Bapak menangis. Tak kuasa setetes air mataku jatuh. Buru-buru aku mengusapnya dengan punggung tangan. Meskipun tidak ada yang melihat, reflek aku ingin menyembunyikan kekalutan ini. Benar kata Bapak, aku harus kuat.

“Terima kasih, Pak. Zain mau masuk dulu.”

“Hati-hati, Nak. Assalamu alaikum.”

“Waalaikum salam.” Panggilan telepon pun berhenti. Menyisakan deru napasku yang terasa mencekik di dalam mobil ini. 

Perlahan aku turun dari mobil. Langkahku mantap menuju lantai tiga tempat deprtemen kami berada. Benar kata Agnes, aku harus segera menemui mereka. Aku akan terus dicurigai jika tidak segera menemukan celah yang dipakai si pencuri.

Beberapa mata mengawasiku saat aku keluar dari pintu lift. Mereka seperti melihat orang baru. Hanya saja aku tidak punya waktu untuk bertanya pada mereka satu per satu. Apa yang mereka lihat? Apa yang mereka pikirkan?

Ruangan logistik tertutup rapat. Ronald, Agnes, maupun Mila sibuk dengan kertas-kertas di hadapan mereka. Aku segera menutup pintu kembali setelah masuk. Tak seorang pun mendongak sampai aku duduk di mejaku sendiri.

“Mil?”

Mila mendongak. Dia kaget. Lalu dia buru-buru berdiri dan mendekat ke mejaku. Tak lama kemudian Agnes dan Ronald melakukan hal yang sama.

“Mas, Zee diculik, ya?” Mila menatapku khawatir.

Aku menelan ludah. Dari semua kemungkinan yang terjadi, aku tidak berharap urusan pribadiku menjadi konsumsi publik. Namun, tiga orang di depanku ini mengenal Ziva. Mereka sering makan bersama kami sekeluarga. 

“Apa semua orang di gedung ini sudah tahu?”

Mila mengangguk antusias. “Makanya mereka memojokkan Mas Zain.” Mila buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Agnes memberi lirikan tajam pada gadis tambun itu. Sedangkan Ronald menggaruk kepala sambil membasahi bibirnya. Sepertinya yang didengar orang-orang sudah terlalu banyak.

“Mas Zain dicurigai menggelapkan material hingga produksi kita mandek. Penculikan Zee dianggap karma.” Agnes berkata hati-hati.

Tanganku mengepal di bawah meja. Apa? Zee diculik sebagai karma akan tindakanku mencuri material? Material apa? Dasar tidak berotak semua orang itu. Namun, marah pun percuma. Aku justru harus segera membuktikan pada mereka.

“Kita meminta Riana untuk print out semua pembayaran ke PT Sentosa. Serta mencari semua penerimaan barang di lokasi. Pagi tadi saya sudah meminta semuanya pada Pak Ratmo. Sebagian saya ambil dari arsip kantor.” Ronald berkata cepat.

Aku menghela napas. “Nes, segera selesaikan proposal dan langsung serahkan ke Pak Adnan. Lapangan butuh material segera. Nanti langsung antar ke Sentosa. Buat proposal darurat. Kita buat untuk tiga bulan dulu. Bulan depan kita buat lagi. Ini perintah Pak Adnan langsung.”

“Sudah Mas. Maaf tidak menunggu Mas Zain. Ini file kopiannya untuk Mas Zain periksa. Namun, proposal tersebut masih tertahan di meja direktur. Pak Adnan belum ke kantor siang ini.” Agnes buru-buru meletakkan map ke meja.

Aku beruntung memiliki tim solid seperti mereka. Mereka kadang bergerak lebih cepat tanpa perintah.

“Zee tidak apa-apa, kan, Mas?” Ronald bertanya pelan.

Aku memandang wajah mereka satu per satu. Bagaimana bisa aku berkata Zee tidak apa-apa. Aku tidak tahu. Itu jawaban yang benar. Hanya saja aku tidak bisa berkata begitu. Aku tahu, mereka sama khawatirnya denganku. Tak peduli orang di luar sana berkata apa, yang jelas orang-orang ini tetap menyayangi Zee.

“Saya minta doa kalian semoga Zee baik-baik saja. Kalian kembali periksa semua laporan tersebut.”

Ketiganya mengangguk dan kembali ke mejanya masing-masing. Tubuhku rasanya lemas sekali. Bahkan tuduhan kejam seperti ini tetap kuterima setelah mereka semua mendengar anakku diculik.

Kami berempat tidak keluar dari ruangan kecuali untuk ke toilet. Makan malam juga kami lakukan dengan memesan online. Setelah pukul depalan, aku memutuskan untuk mengakhiri pencarian dana ini. Aku menyusuh semua orang untuk pulang dan melanjutkan keesokan hari.

Berkas-berkas tersebut aku satukan dalam dua kardus. Kardus-kardus tersebut aku bawa pulang. Entah kenapa aku merasa akan ada yang berusaha menghalangi pencarian kami. Tidak mungkin pelaku sebenarnya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Mereka pasti berusaha menghapus jejak. 

Suasana rumah seperti biasa, gelap, walau mobil Nindy sudah terparkir di carport. Aku buru-buru turun untuk memberinya kabar baik. Kami mendapatkan tambahan uang lima puluh juta. Siapa tahu penculik bisa kami nego. Masalah nanti Nindy bertanya uang ini darimana, aku bisa berkata dari Doni terlebih dahulu. Nanti aku bisa menceritakan tentang Shanza jika semua ini telah berakhir.

Berbeda dengan kemarin malam, pintu rumah justru tidak dikunci. Aku mendorong pintu dan menemukan ruang tamu yang gelap. Setelah yakin sudah mengunci pintu dan memasang grendel, aku langsung menuju lantai dua. Kebiasaan Nindy setelah kehilangan  Zee adalah menangis diam-diam di kamar anak kami tersebut.

Benar, dia duduk di samping tempat tidur Ziva. Aku menutup korden yang membiaskan cahaya dari jalan. Lalu lampu kamar Zee kunyalakan. Nindy tertidur di sana.

Kasihan Nindy, dia pasti habis menangis. Dia selalu menangis belakangan ini. istriku yang galak, bawel, tidak ada lagi. Saat aku hendak membopongnya ke tempat tidur, aku melihat inhaler tergenggam di tangan kanannya.

Inhaler? 

Zee?

Apa mungkin Zee tidak membawa inhaler?

Bersambung ....

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now