Part 6 : Sebuah Pertemuan

89 11 1
                                    

Part ini ditulis oleh author RetnoNofianti

Zain

Benar yang dikatakan Nindy, satu set perhiasan yang kubeli delapan tahun lalu itu ternyata menyentuh angka tiga puluh juta lebih. Padahal dulu Ibu mengeluarkan sekitar dua puluh tiga jutaan saat membeli. Sebenarnya aku merasa berdosa meminta hak Nindy. Ini adalah mahar pernikahan kami. Aku sudah tidak berhak lagi untuk turut campur. Aku akan menggantinya nanti setelah semua ini berakhir.

Perlahan aku keluar dari pelataran toko perhiasan. Aku sudah menghubungi Doni sebelum berangkat tadi. Dia sedang berada di showroom. Terbiasa mengendarai mobil kantor yang berbodi besar dan gagah, mobil Nindy terasa pendek dan mungil. 

Setahun lalu akhirnya kami memutuskan untuk mengambil mobil karena Zee masuk SD. Nindy butuh moda transportasi untuk menjemput putri kami. Zee yang tidak tahan panas serta alergi terhadap debu tidak bisa mengenakan alat transportasi umum atau jemputan sekolah yang harus keliling terlebih dahulu. Sebenarnya nekat, mengingat rumah kami yang belum lunas. Hanya saja saat itu kami berpikir ini memang mendesak.

Tepat di lampu merah, ponselku berdering. Aku mengeluarkan benda tersebut dari saku celana. Nama Ronald berada di layar ponsel dengan tombol yang bergoyang-goyang.

“Halo, Ron.”

“Mas, bagaimana dengan material di lapangan? Apa benar sudah habis?” Suara Ronald terdengar panik. Dia pasti sedang mondar-mandir di ruangan kami yang tidak terlalu luas. Lalu dua cewek akan menatapnya dengan mengerutkan kening. Ronald tipe orang yang gugup jika terjadi masalah. Dia akan meledak-ledak dan Mila yang selalu mendapat getah.

“Iya.”

“Lalu bagaimana? Kita sudah menghitungnya dengan benar, kan, Mas?”

“Laporannya masih kupelajari. Mencocokkan data tiga bulan ternyata butuh waktu.” Aku sudah mencobanya semalam, tapi belum menemukan keganjilan itu di bagian mana. Seharusnya jumlah material masih cukup sampai bulan depan.

“Mas Zain di mana sekarang?”

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Perlahan kuletakkan ponsel di pangkuan dengan mengaktifkan tombol loud speaker. Lampu sudah hijau. Bunyi klakson bersahutan di belakang.

“Hari ini nggak ngantor. Asam lambung naik.” Bohongku saat mobil sudah berjalan normal. Aku menjepit ponsel dengan bahu dan kepala.

“Mila bilang Mas Zain melewatkan makan gara-gara mau ke lokasi.” Ronald menarik napas. “Lalu bagaimana, Mas. Kita buat proposal pengajuan material lagi?”

“Besok aku ke kantor untuk bertemu Pak Adnan langsung.” 

“Ya sudah. Lekas sembuh, Mas.”

“Makasih Ron.”

Bertemu Pak Adnan. Seharusnya aku meminta bantuan pihak kantor. Memang nominal tiga ratus juta terlalu besar. Hanya saja setelah uang perhiasan dan tagihan Nindy terkumpul nanti kemungkinan besar tidak semua dari kantor. Sampai pagi tadi penculik tersebut juga tidak menghubungi. Keraguan kami akan penculikan Ziva juga perlahan luntur. Gadis kecil itu tak ada kabar selain dari penelpon tanpa nama tersebut.

Aku telah sampai di halaman ruko dua lantai tempat Doni memajang mobilnya. Dia sedang berada di balik meja dan langsung beranjak setelah melihat aku turun. Senyum Doni mengembang. Sama seperti dulu saat kami masih sama-sama duduk di bangku kuliah, dia tidak segan memberiku pelukan singkat. Kami sama-sama anak rantau di kota ini.

“Apa kabar, Bro? Lama sekali tidak ke mari. Setelah bertanya-tanya soal mobil waktu itu kamu seperti ditelan bumi. Pagi tadi aku kaget lho kamu nelpon. Mau ngasih undangan?” Doni terkekeh dan berjalan menuju sofa dua dudukan di depan mejanya.

Aku turut duduk di stolen motif zebra tidak jauh darinya. Aku memandang sekeliling. Tiga ruko yang dijadikan satu ini penuh dengan mobil. Seketika aku ragu mengutarakan niat untuk menjual mobil padanya. Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba, bukan?

“Undangan apa?” Aku berusaha mengulas senyum. 

“Siapa tahu mau kawin lagi. Lihat mukamu itu. Kerja keras sekali bagai kuda. Mau punya bini dua?” Doni terkekeh lagi.

“Aku mau jual mobil.”

Kening Doni mengkerut. Dia melongok keluar. Honda Jazz warna putih yang selama ini dikendarai Nindy tersebut terlihat mengkilap di halaman rukonya. “Mobil nyonya, kan?”

Aku mengangguk.

“Minta berapa?”

“Itu belum lunas.” Aku berkata pelan.

Doni menghembuskan napas berat. Dia kembali bersandar pada sofa. Aku tahu, Doni tidak menerima oper kredit. Dia menerima barang lengkap dengan surat-suratnya. “Kamu butuh uang?” tatapannya prihatin.

“Ziva diculik.” Aku berkata pelan. Aku rasa suaraku sangat pelan. Namun, Doni melonjak kaget. 

“Sudah lapor polisi?”

Aku menggeleng. “Penculik mengancam akan membunuh Zee.”

“Penculik memang kerjanya mengancam. Lebih baik lapor polisi.” Doni maju hingga menggunakan lutut untuk tumpuan kedua tangan.

“Kamu tahu sendiri orang sekarang nekat. Berita di teve bilang, seorang anak membunuh ibunya karena tidak diberi uang saku. Seorang anak membunuh temannya karena tidak dipinjami hp. Terus aku harus mengorbankan anakku pada orang-orang kurang waras itu.” Aku menelan ludah getir. Manusia zaman sekarang sudah menanggap manusia lainnya seperti ayam. Layak dibantai jika tidak sejalan dengan keinginan mereka.

Doni mengangguk lesu. Sepertinya dia setuju dengan pernyataanku. “Mobil kamu belum lunas. Dijual sekarang kamu justru tidak akan mendapat apa-apa. Bisa jadi justru rugi. Katakanlah harga mobil bekas berapa? Untuk melunasi kreditnya berapa?”

Aku memijat kening. 

“Penculiknya minta berapa?”

“Tiga ratus juta. Kalau dengar ada orang nyari rumah, kabari, ya.”

Doni menelan ludah dan memberiku tatapan yang tidak bisa kudefinisikan. Antara sedih dan kasihan. Lalu dia berjalan ke mejanya. Tak lama kemudian dia memberiku minuman kaleng dingin. Dan segepok uang. “Aku cuma bisa bantu segini. Pake dulu saja. bulan ini belum ada barang keluar.”

Lembaran uang seratus ribuan itu diikat dengan kertas dengan logo bank. Ada angka sepuluh juta di kertas tersebut. Aku mendongak pada Doni yang mencoba tersenyum.

“Maaf tidak bisa membantu banyak. Memang sedikit, tapi aku harap bisa menambah-nambah kekurangan.”

Aku memijat pelipis lagi. “Terima kasih.” Sedikit pun sangat berarti saat ini. Walau berita buruknya aku tidak bisa menjual mobil karena statusnya masih kredit. Sebenarnya bisa, tapi kemungkinan takkan mendapatkan apa-apa. Benar yang Doni katakan. Aku harus membayar sisa kredit beserta biaya pinalti.

“Ada foto rumah? Biar kutawarkan pada yang lain.”

Aku mengirim foto yang sengaja kuambil pagi tadi sebelum keluar. Nindy setuju untuk menjual rumah. Dia tidak keberatan jika nanti kami ngontrak. Yang terpenting Ziva.

“Ini sudah lunas?”

Aku menggeleng. “Dua tahun lagi,” jawabku lemah.

Doni mengangguk. Dia mulai mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. 

Aku membuka kaleng minuman dingin. Di dekat meja Doni memang ada lemari es transparan berisi aneka minuman.

Sebuah mobil masuk pelataran. Doni tersenyum saat mendongak. Sepertinya akan ada pembeli.

“Gue ambil yang itu.” Suara perempuan yang sangat familiar. Aku hampir tersedak minuman saat menoleh padanya.

Shanza?

***

Bersambung ....

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now