Part 7 : Sembilu

103 13 3
                                    


NINDY

Aku menatap uang lima ratus ribu itu dengan mata memerah, sebutir air bening jatuh dari sudut mata. Uang yang dipinjam Santi, sahabatku untuk biaya berobat anaknya seminggu yang lalu. Sebenarnya aku tidak sampai hati untuk menagih utang itu sekarang, tetapi aku sangat membutuhkan uang untuk menebus Ziva.

“Maafkan Mbak, ya. Seharusnya Mbak tagih minggu depan,” kataku dengan suara parau.

“Lho, kenapa Mbak yang minta maaf? Seharusnya aku minta maaf karena sudah merepotkan Mbak Nindy. Ini rezeki Mbak Nindy, karena tadi pagi Bu RT membayar upah kerjaku,” kata Santi. Perempuan berhijab dengan wajah bersih dan sorot mata lembut itu mencoba tersenyum. Namun, senyum yang terukir di bibirnya, tidak bisa menyembunyikan duka dan derita yang dialaminya. 

Santi dicerai oleh suaminya yang memilih menikah dengan perempuan tua kaya. Di usia yang sangat muda, dia harus membesarkan kedua anaknya sendirian. Laki-laki tak bertanggung jawab itu, tidak pernah mengabarinya, apalagi memberi nafkah untuk anak-anaknya. Tinggallah Santi yang pontang-panting bekerja dari satu rumah ke rumah lain, menjadi tukang cuci, tukang masak atau pembantu paruh waktu demi tetap mengepulnya asap dapur dan biaya sekolah kedua putrinya. Seminggu yang lalu, putrinya yang lebih tua tiga tahun dari Ziva itu mendadak sakit dan harus di opname di rumah sakit.  

Santi tidak sama dengan Mbak Lili maupun beberapa orang yang utangnya aku tagih pagi tadi. Jangankan meminta maaf karena belum bisa membayar, justru aku dimaki oleh mereka. Sungguh terlalu, ternyata yang punya utang lebih galak dari yang meminjamkan. Ini menjadi pelajaran berharga bagiku untuk berhati-hati dalam berteman dan meminjamkan uang, sekaligus menjadi orang yang amanah dan menepati janji jika berada di posisi sebagai peminjam.

Uang yang berhasil kukumpulkan dari semua pinjaman reseller maupun orang yang pernah berutang hanya sebesar sepuluh juta rupiah. Beberapa dari mereka berjanji untuk membayar minggu depan, sebagian lagi tidak menjawab teleponku. Ada juga orang-orang ajaib seperti Mbak Lili, tapi aku tidak mau meladeni mereka. Biarlah utang itu aku ikhlaskan saja. 

Lamunanku terputus ketika ponselku berdering, panggilan dari gojek yang kupesan lima belas menit yang lalu. Aku ke rumah Santi dengan menggunakan gojek demi kepraktisan dan menghemat waktu dalam menembus kemacetan di Jakarta. Sekarang aku harus ke rumah kakakku, dialah harapanku yang tersisa.

“Mbak permisi dulu, ya, mau ke rumah Kak Dessy,” kataku sambil berdiri. 

“Terima kasih banyak, ya, Mbak.” Santi tersenyum dan memelukku sebelum berpisah. Aku pun memeluknya sambil meminta dia mendoakanku. Santi memang tidak tahu tentang masalah penculikan Ziva. Aku hanya mengatakan bahwa sedang dalam masalah besar dan sangat membutuhkan uang. Sebenarnya bukan hanya uang, doa dari orang baik seperti Santi juga sangat kubutuhkan saat ini.

Dengan diantar abang gojek yang mengetahui banyak jalan pintas untuk menghindari kemacetan, aku sampai di rumah Dessy tepat ketika azan maghrib bergema. Dessy bekerja sebagai PNS di kantor kelurahan yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumahnya. Dia adalah kakakku yang tertua sekaligus kakak perempuan satu-satunya. 

Rumah besar dua lantai itu terlihat sepi. Kamera CCTV langsung menangkap wajahku yang berdiri di depan pagar. Aku pun segera memencet bel. Butuh waktu sepuluh menit sebelum pintu pagar terbuka, menampilkan wajah Pak Darmo, penjaga rumah Dessy yang langsung tersenyum menyambutku.

“Silakan masuk, Mbak. Bu Dessy ada di lantai dua. Lho, Mbak Nindy gak bawa mobil?” Pak Darmo menatapku dengan wajah bingung.

“Gak, tadi diantar gojek,” jawabku sambil berlalu dan memasuki rumah. 

Aku masuk dari pintu samping yang terbuka, langsung menuju ruang tengah. Ruangan besar ini menyambungkan ruang tamu, dapur dan beberapa kamar serta memiliki tangga ke lantai dua. Sayup-sayup terdengar suara anak yang mengaji dari sebuah kamar yang terletak di sudut. Aku mengintip dari pintu yang setengah terbuka, mataku menatap punggung kedua keponakanku, Gilang dan Angga. Anak laki-laki yang berusia dua belas dan sepuluh tahun itu  sedang duduk di atas karpet merah bermotif dengan berpakaian baju koko lengkap beserta pecinya. Sementara itu, seorang laki-laki berjanggut dan memegang tasbih, terlihat begitu fokus mendengarkan bacaan mereka secara bergantian. Laki-laki itu adalah guru ngaji yang didatangkan oleh Dessy. Walaupun kakakku itu tidak terlalu religius, tetapi dia tidak mengabaikan pendidikan agama untuk kedua putranya. Aku pun segera meninggalkan mereka dan langsung menaiki tangga.

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now