Part 3 : Setitik Harapan

179 19 0
                                    


NINDY

"Zain!" teriakku ketika melihat Zain. Aku langsung memeluk laki-laki bertubuh tinggi atletis itu. Air mata terus menetes dari mataku yang membengkak. Aku sangat membutuhkan pelukannya. Aku menarik napas dalam, menghidu aroma parfum bercampur keringat yang justru kurindukan sesiangan ini.

Lengan kekar Zain menangkup tubuhku hingga lebih rapat. Dia menghela napas berat. Dia tidak mengatakan apa-apa. Perlahan mengusap punggungku, tapi sama sekali tidak sanggup membuatku tenang. Aku bergeming dengan isak yang tak bisa kutahan.

Mbak Rahma baru kembali ke rumahnya sekitar satu jam yang lalu. Dia menemaniku dan memberi penghiburan yang bagiku terdengar kabur. Namun, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Mbak Rahma turut keliling di komplek sekolah. Dia juga menitipkan Alisa pada ayahnya dan bertahan di sini setelah memaksaku makan masakannya. Tak lupa dia memberiku aspirin dan vitamin. Rasanya seperti menelan duri. Mencokol di batang leher dan pahit. Bagaimana aku bisa menelan sedangkan buah hatiku entah berada di mana?

"Ada apa? Kenapa menangis? Di mana Zee? Apa terjadi sesuatu padanya? Dia sakit?" Suara Zain terdengar lelah dan pelan. Tidak biasanya seperti itu. Lelakiku cenderung tidak sabaran.

Zain melepaskan pelukan dengan lembut, kemudian memegang kedua lenganku. Aku tidak berani menatap matanya, aku hanya menunduk dengan air mata bercucuran. Aku tahu, dia butuh jawaban. Namun, lidahku seperti kelu. Apa yang harus aku katakan? Bagaimana aku bisa menjelaskan ini semua?

"Nindy! Jawab aku! Di mana Ziva? Apa yang terjadi?" Zain berkata sambil mengguncangkan tubuhku. Nadanya sudah naik dua oktaf. Dia mulai tidak sabar. Aku menatap Zain, tanda tanya dan rasa khawatir jelas terpancar dari matanya yang lelah. Aku harus mengatakan sesuatu, dia berhak mendapat penjelasan.

"Zi-Ziva ...," kataku terbata-bata. Lidahku terasa kelu, tidak mampu melanjutkan kata-kata. Aku pun kembali menangis tersedu. Zain langsung meninggalkanku dan berlari ke lantai atas.

"Zee! Ziva!" teriak Zain sambil menaiki tangga. Kaki jenjangnya melompati dua anak tangga sekaligus. Aku hanya bisa menatap punggung Zain yang menghilang di anak tangga terakhir.

Aku terduduk di sofa, mengusap air mata dengan lengan dan menangkupkan wajah dalam kedua telapak tangan. Baru setengah jam yang lalu, aku kembali menelepon pihak sekolah, tetapi tidak ada berita apa pun tentang Ziva. Kepala sekolah menyarankan untuk melapor ke polisi, pihak sekolah bahkan bersedia untuk mendampingi. Hampir dua belas jam Ziva menghilang. Aku belum berani mengambil keputusan apa pun karena masih menunggu kedatangan Zain. Bahkan orang tua dan keluargaku tidak mengetahui tentang hilangnya Ziva. Aku tidak mau mereka semua menjadi panik. Sejujurnya, aku masih menunggu sebuah keajaiban, bahwa putri kecil kami akan muncul dengan sendirinya sambil tersenyum di pintu rumah ini.

"Ziva! Kamu di mana, Nak?" terdengar teriakan Zain dari lantai atas. Dia pasti sedang menelusuri setiap inci kamar Ziva, berharap menemukan anak itu bersembunyi di balik lemari atau di bawah tempat tidur.

Sepulang dari sekolah tadi aku juga melakukan hal yang sama. Ziva sudah seperti serangga yang bisa nyempil di dalam ember. Aku memeriksa semua isi rumah tanpa tersisa. Ya, aku melakukannya seperti orang gila. Aku berteriak dan memanggil Ziva, memeriksa setiap sudut rumah sampai Mbak Rahma menghentikan kegilaanku. Dia memeluk dan mnyuruhku istighfar berulang kali. Akhirnya aku sadar, Ziva tidak mungkin ada di rumah ini. Namun, di situasi seperti ini, kadang kala kita membutuhkan keajaiban, berharap sesuatu yang tidak mungkin menjadi sebuah kemungkinan. Keajaiban bisa terjadi kapan saja, bukan?

Terdengar langkah kaki Zain yang bergegas menuruni tangga, wajahnya terlihat memerah, kepanikan sekaligus amarah jelas terpancar dari matanya. Dia menatap seakan ingin menelanku.

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now