Part 5 : Piutang Tak Tertagih

98 12 0
                                    


NINDY

Aku menatap layar ponsel dengan nanar. Ponselku hampir saja terjatuh. Zain segera memegang lenganku untuk membantu duduk di sofa. Aku baru saja menelepon kepala sekolah TK Mentari, tempatku mengajar. Seperti saran Zain, aku terpaksa berbohong dan mengatakan bahwa Ziva sakit sehingga aku tidak bisa masuk hari ini. Kepala sekolah - Bu Fitri - merasa kurang senang dengan ketidakhadiranku, karena hari ini ada kunjungan ketua yayasan di sekolah kami, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memberiku izin tidak masuk jumat ini, menurutnya kesehatan Ziva jauh lebih penting.

"Hari ini, kita harus mulai mengumpulkan uang untuk Ziva. Aku akan berusaha menawarkan mobil dan rumah ini ke teman-teman." Suara Zain terdengar letih dan parau. Aku menatap matanya yang membengkak tanda kurang tidur. Aku pun mengangguk. Setelah pertengkaran hebat tadi malam, kami berdua hampir tidak bisa tidur. Aku mengutuk diriku sendiri yang tidak bisa mengatur keuangan dengan baik, sehingga tidak punya tabungan ketika dibutuhkan. Menjelang subuh, akhirnya Zain mengajakku bicara dan mengatakan tentang keputusannya untuk membayar tebusan Ziva.

Sejujurnya, aku tidak percaya dengan penculik itu. Aku masih yakin, melaporkan ke polisi adalah keputusan terbaik, tetapi Zain tidak mau mengambil risiko dan aku tak punya kekuatan lagi untuk berdebat dengannya. Bagaimanapun, keselamatan Ziva harus menjadi prioritas kami.

Kami pun sepakat untuk mendapatkan tiga ratus juta itu dengan segala kemampuan yang kami punya. Zain juga menyarankan untuk tidak menyebarkan berita penculikan ini ke sembarang orang, kapan pun pihak media dan polisi bisa menciumnya. Sekali berita itu tersebar, pihak penculik bisa saja berbuat nekat terhadap Ziva. Mengingat itu semua, tubuhku langsung menggigil. Aku tidak bisa membayangkan kehilangan buah hatiku, dalam mimpi pun aku tidak mau.

"Bagaimana dengan satu set perhiasan emas yang kuberikan ketika akad nikah? Kamu masih menyimpannya?" tanya Zain sambil menatapku.

"Ya, semuanya masih lengkap. Kita bisa mendapatkan lebih dari 30 juta rupiah dengan menjual perhiasan itu." Pikiranku melayang ke kotak perhiasan yang selalu kusimpan secara rahasia. Perhiasan yang menjadi mahar pernikahanku.

"Baguslah. Jual semuanya dan kumpulkan uangnya kepadaku. Tadi malam aku sudah menelepon Bapak dan Ibu di kampung. Kita tinggal menunggu berapa uang yang bisa mereka pinjamkan."

Aku hanya mengangguk. Kedua orang tua Zain bukanlah orang kaya raya, tapi mereka punya sawah dan perhiasan, walau aku tahu tidak mudah menjual sawah dalam waktu yang sangat mendesak seperti ini. Haruskah aku juga memberitahu kedua orang tuaku? Bayangan ibu yang terbaring lemah karena sakit ginjal pun datang menghantamku. Aku tidak mau menyusahkan mereka lagi.

Tiba-tiba lamunanku terputus dengan dering ponsel, hatiku berdebar keras. Zain mengambil ponselku, menatap layarnya dengan kening berkerut dan memberikan ponsel tersebut.

"Ingat yang kukatakan sebelumnya," kata Zain.

Aku menempelkan ponsel ke telinga dan suara kepala sekolah Ziva pun terdengar dari seberang sana.

"Bu Nindy? Bagaimana kabar Ziva? Apakah dia sudah pulang?" Suara Pak Siswanto terdengar tenang, walaupun aku tahu dia juga panik dengan menghilangnya Ziva. Aku menatap Zain sebelum bicara.

"Hm, iya Pak. Ziva sudah ada di rumah, seseorang mengantarkannya tadi malam." Aku menarik napas pelan. Berusaha menahan air yang mulai mengambang di pelupuk mata.

"Oh, syukurlah. Kami baru saja ingin membantu Ibu membuat laporan ke polisi. Di mana Ziva sekarang?"

"Di-dia sedang tidur. Kemarin berjalan terlalu jauh, kemudian tersesat. Syukurlah ada orang yang mengantarkannya," kataku. Perlahan kupejamkan mata. Aku tidak sanggup berbohong seperti ini, tapi demi keselamatan Ziva. Penculik itu mengetahui nomor telepon dan alamat lengkap kami, mereka bisa saja punya mata-mata. Zain juga berkata untuk tidak percaya siapa pun, bisa jadi mereka bekerja sama dengan orang terdekat kami. Bagaimanapun, kami harus berhati-hati untuk tidak memancing kenekatan penculik itu.

SERPIHAN ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang