Part 12 : Keras Kepala

52 6 0
                                    

Credit by RetnoNofianti

Zain

Sebenarnya melibatkan Shanza tidak pernah masuk dalam kamusku. Namun, saat perusahaan tidak bersedia memberikan pinjaman, aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Aku tidak memiliki banyak teman. Bukan karena tidak mau, berkeluarga serta bekerja tanpa batas jam ternyata membuatku kehabisan waktu. Apalagi Ziva tidak suka kalau hari liburnya tidak ada aku sebagai ayahnya untuk bermain bersama. Melihat dia yang sering sakit-sakitan, rasanya tidak tega untuk pergi sendiri di akhir pekan.

Shanza menyunggingkan senyum begitu melewati pintu masuk kafe. Langkahnya mantap menuju tempatku duduk di sudut ruangan. Membicarakan soal uang memang sedikit sensitif. Akan lebih baik jika orang lain tidak mendengarnya.

Shanza mengenakan setelan cukup resmi. Celana kain dipadu dengan blazer. Tas tangannya juga cukup besar dari biasanya. Sepertinya dia telah bekerja.

“Sudah lama?” Dia memelukku sejenak lalu duduk di seberang meja. Tas tangan cukup mahal itu sekarang berada di meja.

“Lumayan.”

Dia menoleh dan mengangkat satu lengan. Seorang pelayan datang. Shanza menoleh sekilas pada secangkir kopi tanpa teman yang ada di depanku. Dia mulai membuka buku menu.

“Kapucino sama tiramisu dua. Em, saya juga mau mencoba cream soup. Lo mau Zain?”

Shanza mendongak. Aku hanya menggeleng. Selera makanku sudah hilang sejak semalam. Kalau tidak mengingat asam lambung yang bercokol di perut, pagi tadi aku akan melewatkan setangkup roti bakar buatan Nindy.

“Itu saja, Mbak.” Shanza menutup buku lalu mengulas senyum pada pelayan tadi.

Setelah mengucapkan permisi, pelayan itu pergi. Tatapan Shanza langsung lurus padaku. Dia bersedekap dan bersandar pada bangku.

“Nggak usah memberiku tatapan menghakimi seperti itu.”

“Nggak usah keras kepala makanya. Apa salahnya menghubungi polisi dan menyerahkan kasus ini pada mereka. Kita harus belajar dari pengalaman, Zain.”

“Masalahnya kasus penculikan seperti ini biasanya mandek, Za. Lo kayak nggak ngerti Indonesia saja.”Aku mendengkus. 

Shanza mengangguk-angguk. “Lalu apa kata mereka? Mereka sudah menghubungi kalian?”

Untuk ini makanya aku menghubungimu. 

Aku meraih cangkir dan menyesapnya perlahan. Meminta tolong, apalagi tentang uang, rasanya aku sedang menceburkan diri ke dasar palung. Harga diriku sebagai laki-laki terluka. Memang apa yang kulakukan selama ini hingga harus meminjam uang pada seorang wanita? Jika mengingat betapa keras aku bekerja hingga tidak ingat waktu, tiga ratus juga seharusnya aku memilikinya.

“Mereka bersedia memberi waktu hingga dua hari ke depan. Uang kami masih kurang.” Aku menghela napas lagi.

Sorot khawatir terpancar dari mata Shanza.  Dia meraih tasnya lalu mengeluarkan amplop cokelat dari sana. “Tadinya gue mau ngasih ke lo setelah semua tas yang gue pasarin laku. Baru ada segitu, ntar gue kabarin kalau ada tambahan.”

“Lo jual tas?”

Shanza nyengir. “Baru laku satu. Itu juga tas slempang yang murah. Yang mayan mahal belum ada yang nawar.”

“Za, lo nggak harus ngelakuin itu.”

Dia mengibaskan tangan. “Tas itu hanya menuh-menuhin almari. Jarang juga gue pakai. Andai rumah gue sudah laku, Zain.”

Aku memberinya tatapan tidak percaya. Meskipun kami sudah lama tidak bertemu, tapi aku tahu dia sangat mencintai koleksi tasnya. Semua tas itu tidak ada yang murah. 

“Udah, deh. Kagak usah merasa bersalah begitu. Coba gue belum bayarin mobil Doni. Mayan, tuh.”

“Maaf. Gue jadi ngerepotin lo.”

“Halah, macam sama siapa saja. Bagaimana kantor? Nggak bisa ngebantu?” Shanza menggeser buku menu saat pelayan datang. Secangkir kopi, dua piring kecil potongan tiramisu dan semangkuk soup tersedia di meja. Lalu pelayan tersebut undur diri.

Jika mengingat ucapan kakak iparku, rasanya aku ingin mengamuk. Bagaimana bisa Bang Hildan tega menuduhku seperti itu? Dia juga memiliki anak, sedangkan Zee merupakan kemenakannya. Seharusnya kalau dia tidak bisa membantu, dia tidak memberi tuduhan sekejam itu. Menyelewengkan material? Yang benar saja. Dia seperti tidak mengenalku.

“Kantormu tidak bisa membantu?” Shanza mendorong piring tiramisu ke depanku. “Makan itu, gula bisa menenangkan. Bisa membantu otakmu biar tidak buntu.”

“Za.”

Shanza melotot. Dia tidak berubah. Dia yang paling bawel mengenai makan kami. Aku dan Doni sering dia damprat kalau sampai melupakan makan. Apalagi saat praktik lapangan. Kami memang sering melupakan perut karena mengejar waktu untuk membuat laporan.

“Gue tahu, lo pasti belum makan. Gue hafal kelakuan lo saat ada masalah begini. Ntar kalau lo sakit justru bini lo semakin repot. Lo nggak kasihan sama dia. Sudahlah anaknya tidak ada, ketambahan suaminya sakit. Makan!”

Kalau sudah seperti ini Shanza lebih keras kepala dari bocah seumuran Zee. Apa gadis kecilku baik-baik saja sekarang? Dari suaranya semalam saja aku tahu dia sangat ketakutan.

“Makan Zain.” Shanza kembali berujar.

Mau tak mau aku memotong kue yang terasa lembut tersebut. Sepotong kue berhasil masuk ke mulut. Rasanya lumer. Tidak heran jika kudapan ini menjadi favorit cewek-cewek.

“Gimana bini lo? Kapan gue mau dikenalin sama dia? Gue sudah ketemu bini Doni dan makan bersama. Memang, sih, gue nggak sopan kalau minta makan sekarang sama bini lo yang lagi ada masalah seperti ini. Jika nanti anak lo sudah ketemu, kita makan bersama, ya? Gue pengen tahu perempuan seperti apa yang akhirnya menjadi pendamping lo yang keras kepala dan tidak sabaran ini.” Shanza terkekeh. Dia memang yang paling mengenalku selain Doni dan orang tuaku tentu saja. Dulu dia sering berujar, perempuan yang mau hidup denganku itu ketiban sial. Karena saking tidak sabarannya aku saat melakukan sesuatu.

“Ya, nanti kita makan bersama.” Aku berusaha tersenyum, walau bingung juga cara menjelaskan ini pada Nindy. Haruskah aku mulai cerita dari awal? Awal pertemuanku dengan cewek blesteran ini? Atau setelah kami cukup akrab? Nindy tidak pernah tahu selama ini.

“Gue sudah nggak sabar. Gue penasaran sama Argasena Zein Junior. Gue harap dia kagak mewarisi sikap lo yang menyebalkan itu.” Shanza kembali tertawa.

Aku mendengkus lalu menyimpan amplop ke dalam tas.

Bersambung...

SERPIHAN ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang