Part 8 : Shanza

92 12 2
                                    

Credit by :RetnoNofianti

ZAIN

Namanya Beatrice Patricia Shanza. Dia blasteran. Campur aduk kalau dia bilang. Ada sedikit darah Tionghoa, Menado, Jawa, Palembang, dan dominan Austria. Perawakannya tinggi dan berisi. Sangat supel serta banyak teman. Kulitnya yang bersih membuatnya pantas mengenakan baju apa saja. termasuk celana pendek di atas lutut dan kaus polo warna putih yang lumayan tipis seperti sekarang. Dia bahkan hanya mengenakan sendal jepit sebagai alas kaki.

"Zain. Zainal Abidin Domba." Dia terkekeh dan langsung memelukku. Sudah sekian tahun kami tidak bertemu. Tepatnya setelah dia diboyong bule ke luar negeri.

"Dia suka sekali mengganti nama orang." Aku menggerutu dan kembali duduk. Doni hanya menggeleng. Kami bertiga adalah karib semenjak semester pertama masuk kuliah. Kegiatan ospek yang memang untuk perkenalan calon mahasiswa baru mendekatkan kami bertiga. Kebetulan kami berada dalam satu kelompok yang sama.

"Apa kabar lo, Kunyuk?" Shanza menatap lekat padaku. Dia tidak berhenti tersenyum sejak turun dari mobil tadi.

"Kabar buruk." Doni yang menjawab. Perhatian Shanza beralih pada laki-laki yang sedang membuka minuman kaleng tersebut. "Anak Zain diculik."

Shanza menutup mulutnya dengan tangan. Dia langsung memelukku lagi. "Bagaimana sekarang?" Dia melepaskan pelukannya dan menatapku khawatir.

Aku menggeleng lemah. Tidak tahu harus bagaimana selain mencari uang secepatnya.

"Police?" Shanza mencari mataku yang menunduk.

Sekali lagi aku menggeleng.

"Oh, come on, Zain. Ini darurat. Kamu butuh bantuan pihak berwajib. Mereka lebih berpengalaman menghadapi situasi ini."

Benar yang Shanza katakan. Hanya saja aku tidak bisa membiarkan Zee terkena masalah lebih karena tindakan gegabah kami. Nyawa putri kami terancam. Orang sekarang nekat.

"Lalu, apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Menjual mobil dan rumah."

Shanza memandang Doni. Doni mengedikkan bahu. Dia juga sudah menyarankan supaya aku melapor polisi. Hanya saja, baik otak maupun hatiku menolaknya mentah-mentah. Itu bukan ide yang baik. Nasib Zee ada di tangan penculik itu.

"Itu mobilmu?" Shanza menoleh pada mobil kami yang berada di halaman. Dia menghela napas. "Mungil sekali." Dia bergumam.

Aku terkekeh. Jika berharap Shanza akan membeli mobil itu alih-alih mengambil fortuner yang baru saja dia parkir di halaman, itu tidak mungkin. Postur tubuh Shanza tidak akan cocok menggunakan Honda Jazz milik Nindy. Lagi pun perempuan ini terlalu macho untuk ukuran perempuan.

"Apa yang bisa aku bantu?"

Uang tentu saja. Namun, bibirku tak sanggup mengucapkan kata itu. Doni juga membuang muka. Wanita di depan kami ini memang berduit. Hanya saja aku tidak bisa membayangkan reaksi Nindy jika melibatkan Shanza dalam hal ini.

Istriku sangat pecemburu. Dia pernah mencemburui Agnes. Gadis itu sampai takut bertemu Nindy. Berbeda dengan Mila yang justru masa bodoh dengan istriku. Dia langsung akrab dan mendekati Zee. Dia cuek saja saat Nindy menatapnya tajam. Mila justru mengatakan bahwa kecemburuan Nindy itu adalah wajar. Sejak saat itu Nindy tidak terancam dengan keberadaan Mila.

Lalu, bagaimana aku harus menjelaskan mengenai Shanza? Sejak pertemuan kami sembilan tahun lalu, Nindy belum sekali pun bertemu wanita ini. Aku juga tidak pernah membahasnya, karena aku mengira tidak akan bertemu Shanza lagi setelah kepergiannya ke luar negeri.

"Bantu doa saja. Dalam rangka apa pulang ke Jakarta?"

Setahuku orang tua Shanza menetap di Austria. Pada awalnya, dia tinggal bersama nenek dan tantenya di Jakarta. Setelah neneknya meninggal, tante Shanza yang merawat sang nenek kembali ke Manado. Pada masa-masa akhir kuliah, Shanza hidup sendiri dengan menyewa satu unit apartemen.

"Lo butuh uang, kan?"

Aku menoleh pada Doni. Doni mengedikkan bahu lagi.

"Bicarakan dengan istrimu." Doni tahu benar sikap Nindy. Awal pernikahan dulu aku sering mengeluh padanya tentang kecemburuan Nindy. Doni mengatakan itu karena Nindy sayang padaku. Ambil positifnya saja.

"Berapa yang penculik itu minta?" Shanza menarik tanganku untuk dia genggam. Si keras kepala ini takkan berhenti jika aku belum memberi jawaban. Matanya lurus padaku.

"Tiga ratus juta."

Dia menghela napas. Keningnya berkerut. Kelihatan sekali sedang memikirkan sesuatu.

"Za. It's okay. Kami sedang mengusahakannya. Lo nggak usah aneh-aneh akan menjual sesuatu. Gue tahu lo banyak uang dalam bentuk barang."

Shanza mengerjap lalu terbit senyuman di wajahnya yang cantik itu. "Barusan gue bayarin apartemen. Uang mobil lo boleh gue pakai dulu nggak?" Dia menoleh pada Doni.

"No, jangan, please! Lo ngapain beli apartemen dan mobil? Laki lo kerja di sini?"

Shanza tertawa. Doni membuang muka. Sepertinya Doni sudah tahu apa yang terjadi.

"Gue cerai." Dia berkata dengan enteng. Seolah dia berkata aku belum makan hari ini.

Cerai? Shanza bercerai?

"Gue nggak butuh wajah kasihan lo yang mirip domba itu. Lo yang patut dikasihani. Rumah gue di Hawai belum laku. Andai sudah, tiga ratus juta gue kasih buat lo, Zain." Dia mengembuskan napas.

"Lo baik-baik saja?"

"Emang gue kelihatan sekarat?" Dia tertawa.

Ponsel di saku celanaku bergetar. Aku buru-buru meraih benda pipih tersebut. Nama Bapak berada di sana. Semoga ini kabar baik.

"Halo, Pak, Assalamu alaikum." Aku berjalan menjauh hingga ke halaman ruko.

"Waalaikum salam. Zain, Bapak tadi mengirim uang. Hasil menjual perhiasan Ibu. Tanah yang Bapak tawarkan belum laku, Nak. Walau Bapak kasih harga murah juga tidak ada yang menawar. Bagaimana keadaan Nindy?"

"Terima kasih, Pak. Nindy baik-baik saja. Kami sedang berusaha mengumpulkan uang. Sekarang, Zain sedang menawarkan mobil dan rumah. Besok pagi mau mencoba untuk meminjam kekurangannya pada perusahaan." Aku mengusap kepala dengan sedikit kasar. Tiga ratus juta, kenapa susah sekali.

"Bapak dan Ibu selalu berdoa yang terbaik. Apa pun keputusan Allah nanti, kalian harus ikhlas. Yang penting kita sudah ikhtiar." Suara berat Bapak terdengar sedih. Bapak sedang mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Aku tahu, Bapak sedang berusaha memberiku kekuatan. Kekuatan ikhlas.

"Iya, Pak." Aku menyusut sudut mata. Rasanya begitu sesak untuk sekadar berpikir bahwa ini bisa saja meleset dari harapan kami.

"Kalian harus kuat. Jangan berantam dengan Nindy dalam kondisi seperti ini."

"Iya, Pak."

"Ya, sudah. Bapak tutup dulu. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam."

Bunyi telepon ditutup meninggalkan jejak sepi. Aku memang butuh petuah-petuah Bapak sekarang ini. Aku memeriksa notifikasi pesan. Sejumlah uang masuk ke rekening. Delapan puluh juta. Berapa emas Ibu yang dijual? Apa Ibu tidak mengenakan perhiasan apa-apa sekarang? Mataku membeliak. Dadaku nyeri. Tidak bisa membayangkan wanita yang melahirkanku itu tanpa anting, kalung, maupun gelang. Bagi masyarakat Madura, itu merupakan identitas.

***

Bersambung ....

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now