Part 17 : Jejak Ziva

126 10 0
                                    

Nindy

Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah tergesa. Bayangan wajah ibu dan Ziva bergantian mengisi pikiranku. Bang Hendi mengatakan bahwa sejak mengetahui Ziva diculik, kesehatan Ibu menjadi menurun, tidak mau makan dan lemah tak berdaya. Pagi tadi Bang Hendi dan Kak Silvy langsung membawa Ibu ke rumah sakit. Aku merasa sangat bersalah. Seandainya aku tidak memberitahu keluargaku tentang Ziva, mungkin Ibu tidak akan ada di sini sekarang. Kuhapus air mata dengan punggung tangan. Aku harus segera bertemu Ibu.

Ruangan tempat Ibu dirawat ada di lantai dua. Aku memilih menaiki tangga daripada menunggu lift. Bang Hendi bilang, Ibu dirawat di kamar nomor 06 dan kondisinya sudah stabil, tapi tetap saja jantungku berdegup kencang. Aku tidak akan bisa tenang sebelum berjumpa dengannya.

Perlahan kudorong pintu warna coklat itu, mataku langsung melihat Kak Dessy yang sedang duduk di samping ranjang Ibu. Aku pun mendekati tubuh Ibu yang terbaring dengan selimut warna putih, matanya terpejam.

“Ibu sudah tidur,” kata Kak Dessy. 

Sekali lagi aku usap air mata yang terus saja mengalir dan duduk di kursi samping Kak Dessy. Semenjak kunjungan terakhir ke rumahnya beberapa hari yang lalu, aku tidak pernah lagi bicara dengan Kak Dessy. Apalagi setelah tuduhan Bang Hildan kepada suamiku, rasanya aku mulai membenci kakakku sendiri.

Kami berdua duduk dalam diam. Aku menatap wajah ibuku yang tertidur pulas, selang infus di pergelangan tangannya dan selang oksigen di hidungnya. Perlahan kuusap keningnya, dia bergerak tapi tidak membuka matanya.

“Biarkan saja Ibu tidur. Dokter sudah memberikan obat, mereka juga akan memasang selang untuk makanan kalau Ibu tetap tidak bisa makan sendiri.” Suara Kak Dessy terdengar begitu pelan. Aku pun menarik napas dalam. Seperti apa pun masalah yang kumiliki dengannya, kami berdua punya kesamaan yaitu sangat mencintai Ibu. 

“Bisakah kita berdua bicara di luar?” Kak Dessy berdiri dan melangkah menuju balkon. Sekali lagi aku menarik napas panjang. Ruangan ini memiliki dua ranjang pasien. Apa pun yang ingin dibicarakan Kak Dessy, dia pasti tidak mau orang lain mendengarnya termasuk pasien di sebelah Ibu. Aku pun mengikuti langkah Kak Dessy dan menutup pintu dengan sangat hati-hati.

Kami berdua duduk di lantai satu, ruang tunggu rawat jalan yang selalu ramai dengan pasien. 

“Aku tahu kalau kamu marah karena aku tidak meminjamkan uang. Aku sudah tahu keadaan Ziva dari Hendi,” kata Kak Dessy memulai pembicaraan. 

Aku bergeming. Mataku hanya menatap kerumunan pasien yang menunggu obat di apotek dan ruang praktek dokter. 

Tiba-tiba Kak Dessy memegang tanganku dan memberikan sebuah gelang emas model rantai. Ternyata dia telah melepaskan gelang yang dipakainya. Aku menatapnya dengan bingung. Mulutku masih terkunci rapat.

“Kamu butuh uang, kan? Jual atau gadaikan perhiasan ini untuk Ziva. Totalnya dua puluh lima gram. Jangan beritahu Bang Hildan, ya.” 

Aku menatap Kak Dessy yang tersenyum. Bibirku bergetar dan suaraku menyangkut di tenggorokan.

“Kakak ingin membantu banyak, tapi Bang Hildan pasti akan mengetahuinya. Kakak tidak ingin bertengkar. Kamu tahu sendiri seperti apa sifatnya.”

Aku pun mengangguk.

“Terima kasih,” kataku dengan suara bergetar. Tidak kusangka, Kak Dessy yang terkenal angkuh ternyata memiliki kasih sayang untuk keponakannya. Aku pun mengembalikan gelang itu ke tangan Kak Dessy. Dia memandangku dengan terkejut.

“Kami sudah memutuskan untuk melapor ke polisi, Kak. Jadi, aku tidak membutuhkan emas ini lagi,” lirihku.

“Kalian melapor? Kapan?” Kak Dessy menatapku dengan rasa ingin tahu.

SERPIHAN ASAWhere stories live. Discover now