Bab 2

39 11 1
                                    

Kita tidak akan pernah tahu pilihan mana yang paling tepat dalam hidup sampai kita menjalani sendiri pilihan tersebut. Semua pilihan pasti punya konsekuensi dan tak ada yang tahu pasti pilihan mana yang memiliki konsekuensi terbaik sampai kita menghadapinya sendiri. Sebagai manusia biasa, kita hanya bisa memperkirakan saja sedangkan kenyataannya hanya gusti Allah yang menentukan. Sebagaimana Anis, seorang mantan perawat senior di salah satu Rumah Sakit swasta itu kini tengah duduk di pinggir kolam ikan yang terdapat di halaman belakang rumahnya.

Sambil memberi makan ikan, Ia mengingat bagaimana keputusannya dulu saat memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai perawat. Dulu, dia berpikir dengan berhenti bekerja, ia bisa lebih fokus mendidik anak-anaknya dan semakin dekat dengan mereka. Namun, ternyata  sekarang yang ia rasakan justru malah sebaliknya.

Anis menatap langit yang terlihat mendung pagi ini. Matanya berkaca-kaca saat mengingat perpisahan dengan teman-temannya dulu. Sebenarnya, saat ia hendak resign banyak teman-teman sejawat yang mencegah dan mempertanyakan keputusannya. Salah satunya adalah Ratih, teman seangkatan yang sudah sejak kuliah selalu bersama.

"Nis, kamu yakin mau resign? udah kamu pikirkan matang-matang? Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, lho!" ujar Ratih sambil menatapnya lekat-lekat.

"Insya allah, Tih. Mudah-mudahan ini keputusan terbaik. Aku ingin fokus mendidik anak-anak di rumah. Aku merasa kalau bekerja pikiranku terbagi-bagi dan aku sudah kecapekan ketika sampai di rumah. Aku nggak bisa sekuat itu, Tih." Anis menjelaskan sambil menatap kosong ke arah jendela.

"Ini murni keputusanmu kan? Bukan karena dilarang Pak Dokter?" tanya Ratih lagi. Ia cukup penasaran karena keputusan sahabatnya ini termasuk tiba-tiba. Anis tak pernah mewacanakan ini sebelumnya.

"Iya, ini murni keputusanku, Kok. Suamiku, sih membebaskan mau lanjut kerja atau tidak," ucap Anis saat itu sambil memandang nurse station dengan perasaan haru. Bagaimanapun, dunia perawat sudah menjadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun. Seluruh hidupnya ia fokuskan di sana. Tentu saja tak mudah meninggalkan sesuatu yang telah menempel kuat di dalam jiwa. Namun, itulah pilihan hidup yang harus ia ambil saat itu. Ia hanya bisa berharap keputusan tersebut membawa konsekuensi yang baik bagi dirinya dan keluarga.

Setelah berhenti bekerja, Anis memang agak butuh waktu untuk beradaptasi menjadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya. Wanita yang terbiasa bekerja kurang lebih delapan jam sehari itu awalnya merasa bosan dan tertekan saat harus di rumah sepanjang waktu dan hanya bertemu anggota keluarga saja. Meskipun sesekali ia suka bertemu teman-temannya, tetap saja ada yang berbeda dalam hidupnya. Semua berubah. Terlebih omongan-omongan menyakitkan dari kerabat maupun tetangga yang menyayangkan keputusan Anis pada saat itu, membuatnya semakin tak nyaman di awal-awal berhenti bekerja.

Namun demikian, setelah menjalani selama beberapa bulan ia bisa menikmati profesi barunya sebagai Ibu Rumah Tangga secara penuh. Omongan orang yang tak mengenakan juga lama-lama hilang dengan sendirinya.

Anis bersyukur ia masih diberi kesempatan untuk melayani dan merawat keluarga. Meskipun Anis punya Asisten Rumah Tangga, ia tetap memasak dan menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anaknya. Ia juga selalu perhatian pada semua anggota keluarga. Karena bagi Anis keluarga adalah segalanya. Apa pun akan ia korbankan selama itu demi kepentingan keluarga.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini, anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Gendis, Si sulung sudah duduk di bangku kuliah dan adiknya Juna telah SMA. Anis bahagia saat melihat pertumbuhan mereka yang sehat dan sempurna. Gendis berpostur tinggi dengan berat badan ideal. Rambutnya panjang sebahu dan wajahnya juga cantik, sangat mirip dengan dirinya. Sedangkan Juna, anak keduanya juga tumbuh gagah seperti Sang Ayah. Hidungnya mancung dan alisnya tebal. Ia berbibir tipis dan berwajah cerah seperti aktor ternama. Secara fisik, kedua anaknya amat membanggakan. Namun, ada satu hal yang ia risaukan. Hatinya hampa karena anak-anak yang dulu menjadi alasan utama ia berhenti bekerja, kini malah nampak begitu cuek dan tak peduli padanya.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaWhere stories live. Discover now