Bab 11

28 3 0
                                    

Semakin hari Anis merasa seperti butiran debu, sulit rasanya ia menggambarkan apa yang ia rasakan sekarang. Setelah ia melihat sendiri Yudha suaminya berkhianat. Anis terjatuh dalam kubangan rasa sakit yang berkepanjangan dan sulit baginya untuk bangkit.

Apalagi kini, semakin hari Yudha semakin seperti orang yang sudah lupa daratan, ia mulai jarang pulang. Hal itu membuat Anis semakin tenggelam dalam lautan luka dyang sangat dalam. Siapa yang akan menolongnya? Membantunya mencari arah mana yang terbaik yang harus ia pilih? Sedangkan nahkoda yang selama ini selalu berssandar dan kembali seakan  telah melupakan dermaganya.

Kemana lagi Anis akan meminta bantuan? Kedua anaknya pun setelah mengetahui tentang perilaku bapaknya, juga ikut-ikutan tidak pulang kerumah karena merasa kedamaian yang mereka cari telah hilang. Anis Anis kini merasa bagaikan butiran debu, yang melayang-layang diudara tanpa tujuan.

Hari-hari dilalui oleh Anis dengan sepi, berdua dengan mbok Pon yang selalu menjadi teman setianya membuatnya masih mampu bertahan. Hingga suatu sore, ketika mereka berdua sedang asyik menonton acara TV, mbok Pon bertanya,” Bu, saya bukannya tidak kasihan dengan Ibu Bapak dan Anak-anak di sini. Saya juga masih betah di sini, tapi kemarin saya menerima telepon dari kampung. Saya disuruh pulang sementara Bu.”

Mendengar mbok Pon akhirnya meminta ijin cuti agar dapat menemani kedua orang tuanya yang sudah renta di kampung, Anis tidak dapat menghalanginya. Ia sebetulnya sudah mengira hal ini akan terjadi, karena sudah sejak beberapa hari yang lalu sejak mbok Pon menerima telepon dari kampun, mbok Pon terlihat banyak bengong dan seperti bingung akan melakukan apa.

Anis  yang masih saja diam idak memberikan tanggapan atasa apa yang mbok Pon ucapkan membuat mbok Pon bingung, disentuhnya tangan Anis dan berkata,” Bu, maafkan saya bila membuat ibu merasa bingung. Saya juga bingung Bu, saya sangat betah di sini karena semua anggota keluarha baik kepada saya. Tetapi ini yang meminta orang tua saya Bu,” keluh mbok Pon dengan mata berkaca-kaca.
Mbok Pon menatap Anis dengan pandangan sedih.

Akhirnya Anis menjawab perlahan, “Mbok Pon, saya tahu. Kamu tidak salah apapun, kamu sudah berjasa pada kami semua di sini. Tentu berat bagi saya untuk melepas kamu, terutama ketika keadaan saya dan keluarga seperti ini.”

“Kalau saya pribadi mengijinkan kamu pulang, tapi saya harus tanya ke Bapak dulu. Bagaimana? Nanti kalau bapak memberi ijin, kamu boleh pulang.  Terserah kapan kamu akan kembali lagi. Semoga ketika kamu kembali lagi kerumah ini, Keadaan sudah lebih baik dari sekarang. Mohon doakan kami semoga baik-baik saja ya mbok,” pinta Anis sambil memeluk erat mbok Pon.

“Ya sudah kalau begitu hari ini kita masak makanan kesukaanmu ya, untuk pesta perpisahaan. Kamu mau apa?” tanya Anis.

“Apa saja yang Ibu masak selalu enak, saya doyan kok masakan ibu,”

“Gombal kamu, kamu kan yang paling tahu kalau masakan saya itu gak enak,” mata  Anis ketika mengatakan hal itu, membuat mbak Pon menangis.

“Terima kasih Bu, sudah menganggap saya sebagai keluarga selama saya ikut Ibu di sini,” kata mbok Pon sembari terisak.

”Yuk, mari kita masak,” ajak Anis.
Sore itu, ditemani hujan dan temaramnya senja, mereka berdua bercengkrama. Hal itu sejenak membuat Anis melupakan bebanberat yang sedang dipanggulnya.

***

Yudha menatap kertas yang baru saja diterimanya dari laboratoriun Rumah Sakit. Surat itu tadi pagi diberikan langsung oleh Direktur Rumah Sakit ketika apel. Bapak Direktur mengatakan bila yang hasilnya swabnya positif, maka seluruh anggota keluarganya akan dilakukan pemeriksaan swab pula. Sambil menunggu hasil swab seluruh anggota keluarga, maka dokter atau nakes rumah sakit yang terkena covid harus melakukan isolasi mandiri.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang