Bab 16

33 2 0
                                    

Hari ini suasana hati Gendis begitu kacau ketika mengingat kejadian kemarin, saat Ibunya dibawa ke Rumah Sakit. Sebagai anak ia merasa sedih saat melihat kondisi Ibunya yang terkulai tak berdaya dan nampak kesulitan bernapas. Hati Gendis tiba-tiba merasa kalut dan takut. Sebuah kekhawatiran menyeruak dari pikirannya. Gadis itu ketakutan saat memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Ibunya.

Siang itu, Gendis nampak berkaca-kaca saat melihat kursi kosong yang mengelilingi meja makan. Ia teringat sang Ibu yang biasanya sedang makan sendirian di jam makan siang seperti ini.  Gendis, si gadis cantik itu juga teringat pada setiap sikap dan kata-kata buruk yang ia lontarkan pada Ibunya selama ini. Ia yang selama ini abai, cuek, kasar, dan tak peduli pada ibunya itu kini terlihat menundukkan kepala dan menitikkan air mata ketika memikirkan keadaan ibu di ICU. Gadis yang biasanya mengabaikan Ibunya itu, tiba-tiba rindu keberadaan Ibu di sisinya. Terbayang kasih sayang Ibunya selama ini yang selalu sabar mengahadapinya. Gendis menyesal, tapi situasinya sekarang Sang Ibu tak ada di rumah. Ia harus menjalani isolasi di ICU Rumah Sakit karena kondisinya mengalami perburukan sehingga ia tak bisa menjenguk apalagi berlama-lama dengannya.

Gendis menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan kemudian tangisnya tiba-tiba pecah begitu saja. Sebagai seorang anak ia merasa buruk karena telah memperlakukan ibunya sendiri dengan sikap yang tak baik. Gendis berpikir, mungkin Ibunya juga mengalami perburukan karena memikirkan kondisi keluarga yang belakangan ini tidak harmonis. Terlebih Gendis sendiri tak pernah menunjukkan kepedulian pada ibunya selama ini. Gendis benar-benar menyesal atas apa yang dilakukannya selama ini. Ia terus menangis di meja makan sampai matanya terlihat sembab.

"Mbak, aku lapar!" teriak Juna dari lantai dua rumahnya. Mendengar itu, Gendis buru-buru mengusap air matanya lalu balik meneriaki adiknya.

"Biasanya juga kamu pesan makanan online, kan? Ngapain sekarang teriak-teriak lapar ke aku?!" Gendis geram dengan adik lelakinya itu. Sikap manja dan egoisnya membuat ia seringkali merasa jengkel.

Juna turun dari lantai dua lalu menghampiri Kakak satu-satunya itu. Remaja itu mengenakan kaos berwarna putih dan celana selutut berbahan lentur. Juna menarik kursi yang ada di meja makan lalu duduk di hadapan Gendis.

"Aku nggak ngerti, ini ojek online kok nggak ada yang mau nganter makanan ke sini!" keluh Juna sambil mengotak-ngatik ponselnya. Sudah sejak jam sebelas ia mencoba memesan makanan, tapi selalu dibatalkan oleh driver. Dia jadi kesal sendiri karena driver tak mengonfirmasi apapun. Perutnya yang sudah kosong itu membuatnya uring-uringan. Sekilas, Juna melihat ke arah dapur, tempat Sang Ibu biasanya memasak untuk semua anggota keluarga. Masakan yang biasanya dihindari Juna, kini malah dirindukannya. Lelaki itu sadar bahwa selama ini ia seringkali tak bersyukur ketika ibunya ada di rumah. Ketika Ibu tak ada barulah ia tersadar betapa penting kehadiran Sang ibu bagi dirinya.

"Coba sini aku yang pesan!" ucap Gendis meminta ponsel Juna. Gadis itu juga jadi penasaran kenapa tak ada driver yang mau menerima orderan dari Juna.

Beberapa lama kemudian Gendis menggebrak meja makan sehingga membuat Juna melonjak kaget.

"Kenapa, sih, Mbak? Ngagetin aja!" bentak Juna.

"Sial! Pantesan aja ojek online nggak ada yang mau antar ke sini. Ternyata, warga sudah menghasud mereka," ujar Gendis kesal.

"Menghasud? Maksudnya?" tanya Juna heran.

"Iya. Ini ojek online yang nerima orderanku bilang, warga membuat pengumuman di portal depan kalau keluarga kita semua positif covid. Jelas aja ojek online jadi tak ada yang mau lagi mengantar makanan ke sini!" teriak Gendis kesal.

"Yaah terus kita makan apa, Mbak? Mana Ibu sekarang harus di ICU. Nggak ada yang masakin kita lagi, deh, Mbak!" ujar Juna sedih. Pikirannya melayang pada sang Ibu yang kemarin terlihat begitu lemah. Wajahnya begitu pucat dan yang paling mengkhawatirkan adalah Sang Ibu terlihat kesulitan bernapas. Sebagai seorang lelaki dia malu untuk mengakui bahwa ia rindu, tapi, sorot matanya tak mampu membohongi siapapun yang melihat bahwa ia rindu Ibunya. Sangat. Juna juga jadi teringat perilakunya selama ini pada sang ibu yang selalu kasar dan cuek. Juna juga menyesal waktu Ibunya masih sehat dan bisa memasak, ia malah mengabaikan dan menyia-nyiakannya. Remaja itu tiba-tiba ingin menangis, tapi ia gengsi dan mencoba melawan rasa itu.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora