Bab 4

34 6 0
                                    

"Keluarga adalah tempat dimana seharusnya kita menemukan kedamaian. Di sana ada kebahagiaan yang begitu menenangkan. Keluarga adalah tempat dimana kita tak pernah merasa rendah karena selalu mendapat dukungan yang begitu luar biasa. Keluarga adalah lentera ketika kita merasa keadaan begitu gulita."

Mata Anis berkaca-kaca saat membaca lagi kutipan puisi tersebut di novel yang sedang dibacanya.  Novel itu ia beli di toko buku kemarin sesaat setelah bertemu Ratih, sahabatnya. Anis langsung tertarik dengan buku tersebut setelah membaca kutipan puisi yang tertulis di belakang buku. Kutipan puisi itu mengingatkannya pada kondisi keluarganya yang saat ini masih jauh dari kata ideal. Terlebih saat Anis mendengar informasi dari Ratih saat bertemu kemarin. Ratih bilang, ia curiga dengan Yudha, suaminya yang nampak mesra dengan seorang dokter muda yang bekerja di Rumah Sakit yang sama. Mendengar hal itu, tentu saja Anis sedih, tapi ia tak mau buru-buru percaya pada omongan sahabatnya itu sebelum ada bukti kuat dan pengakuan dari suaminya sendiri.

Mulai saat ini, selain mencoba kembali mendekati anak-anaknya, Anis juga akan lebih waspada pada sikap dan perilaku suaminya. Ia bertekad akan menyelidiki sendiri apa yang tengah terjadi di belakangnya.

Anis bangkit dari kasur lalu memandang ke langit melalui jendela kamarnya. Terlihat di sana awan-awan mulai menghitam dan langit begitu muram. Tak lama kemudian terdengar suara petir yang menggelegar dan bersahut-sahutan. Suasana tambah mencekam ketika beberapa menit kemudian turun hujan lebat disertai angin yang begitu kencang. Saking kencangnya, angin yang berembus itu membuat beberapa tanaman Anis di halaman jatuh  bergelimpangan. Wanita itu gelisah menanti Juna yang sampai kini belum juga pulang sekolah. Sebagai orang tua, ia amat takut terjadi apa-apa pada putranya itu.

Anis keluar kamar lalu memanggil Mbok Pon. Dari arah belakang Mbok Pon menghampiri majikannya itu dengan tergopoh-gopoh.

"Mbok, Juna udah pulang belum?" tanya Anis memastikan. Barangkali ia luput mengetahui anaknya jika sudah tiba di rumah.

"Maaf, Bu, kayaknya belum. Dari tadi saya nggak denger suara mobilnya," ucap Mbok Pon sopan.

"Oh baik, Mbok. Terimakasih, ya!"

"Saya mau lanjut kerja ke belakang ya, Bu," ucap Mbok Pon lagi.

Anis mengangguk seraya melangkahkan kakinya ke pintu utama. Saat membuka pintu, cipratan air hujan langsung membasahi wajahnya. Buru-buru ia menutupnya lalu kembali menunggu di sofa yang terpasang di ruang tamu. Anis memandang ruang tamunya yang begitu mewah. Lukisan dari pelukis ternama terpasang di dinding, beberapa guci antik juga terlihat berdiri kokoh di sudut-sudut ruangan. Tak lupa lampu hias bernilai puluhan juta juga terpasang menerangi ruangan. Namun, semua hal itu tak lantas membuat Ani bahagia. Ia malah merasa hidupnya hampa meski kekayaan yang dimilikinya begitu sempurna. Anis membatin buat apa punya harta berlimpah jika tak ada keluarga di sisinya.

Anis semakin gelisah tatkala melihat jam di dinding yang semakin menunjukan hari mulai senja dan Juna belum juga terlihat keberadaannya. Ibu dua anak itu mengambil ponsel dan mencari kontak putranya itu. Saat ia hendak menelpon, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah gerbang. Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson panjang yang memekakan telinga. Mbok Pon terlihat berlari kecil dari arah belakang sambil membawa payung untuk membukakan pintu gerbang untuk anak majikannya itu.

"Lama banget sih!" bentak Juna dari balik jendela mobil.

"Maaf, Mas, tadi Mbok Pon dari belakang lagi beres-beres." Mbok Pon terlihat ketakutan saat melihat pemuda itu membentaknya.

"Ah! Alasan!" Juna langsung masuk ke halaman lalu memarkirkan mobilnya.

Juna nampak begitu suram. Bajunya berantakan dan wajahnya kusut masai. Dari tubuhnya juga tercium aroma alkohol yang menguar. Ketika memasuki ruang tamu dan melihat Ibunya ia malah bersikap acuh tak acuh. Tanpa merasa bersalah ia melewatinya begitu saja.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaWhere stories live. Discover now