Bab 5

34 7 0
                                    


Yudha memandang langit senja yang terukir indah di hadapannya. Helaan nafasnya terasa berat, menunjukkan beban pikiran yang sedang disandangnya. Tak terasa telah cukup lama ia duduk menyendiri di balkon kamar hotel. Ia merenungi lika kiku perjalanan hidup akhir-akhir ini, terkadang bila kesadarannya muncul ia merasa bersalah pada istrinya Anis, yang telah menemani hidupnya selama dua puluh dua tahun ini. Perasaan itu sungguh membuatnya terganggu.

Yudha mengakui bila mereka tidak lagi muda, dan Anis sebagai wanita yang mendekati masa menopausenya tentu berbeda dengan wanita yang muda. Namun tidak hanya itu saja yang membuatnya ingin mencoba hal lain. 
Sebagai ibu dari dua anak yang membanggakannya, Anis tidak memiliki nilai minus di matanya. Anis, ibu yang baik bahkan terkadang cendurung ingin memberikan segala yang ia punya demi membahagiakan anak-anaknya meski hal itu tidak masuk akal.

Selama duapuluh dua tahun bersama, tidak pernah sedikitpun terjadi pertengkaran diantara mereka, meskipun Anis yang notabene adalah anak bungsu, tapi ia mampu mengalah demi meredam pertengkaran yang sering kali Yudha  cetuskan karena ego lelakinya.

Yudha menyadari bila sebetulnya ia bahagia dengan pernikahan dan keluarganya. Namun keinginannya sebagai laki-laki yang menyukai tantangan menjerumuskannya, membuat rasa bersalahnya muncul membuat kegalauan dihatinya seperti hari ini. Desahan nafas dan kerutan di dahinya menyiratkan Yudha sedang berpikir berat.

Ia beruntung jadwalnya sebagai pembicara dalam acara simposium yang diadakan almamaternya telah ia selesaikan tadi siang, sehingga pikirannya tidak bercabang. Sebagai seorang profesional, Yudha dituntut untuk bekerja dengan baik sehingga semua hasilnya dapat dipertanggujawabkan sesuai dengan tuntutan profesinya. Oleh karena itu, bila perasaannya sedang galau seperti saat ini ia lebih memilih untuk menyendiri menenangkan perasaannya.

Namun, perasaan bersalahnya akan hilang seiring dengan kuatnya godaan yang datang menghampirinya, Tiara. Walau Yudha yakin perjalanan kisahnya dengan Tiara bagai berjalan di atas pecahan kaca yang akan menuai luka bagi siapapun yang melewatinya, namun entah mengapa semua itu tetap ia jalani.

Ya, dokter Tiara adalah seorang dokter umum yang baru saja diterima sebagai PNS di rumah sakit tempat Yudha bekerja. Pertama kali melihat Tiara, Yudha sama sekali tidak menaruh simpati. Bagi Yudha, pekerjaan adalah hal yang utama baginya, namun ketika hampir seluruh teman sesama dokter di RS mulai membicarakannya, ia mulai mencari tahu seperti apa Tiara yang sedang dibicarakan oleh teman-temannya. Ia  teringat akan awal berkenalan dengan Tiara.

Ketika acara komite medik diadakan pada hari sabtu berikutnya, barulah Yudha melihat dengan jelas dokter yang baru menjadi pembicaraan . Tiara, seorang gadis cantik, muda dan tentunya sangat menawan. Bagi sebagian orang, Tiara terlalu cantik untuk menjalani profesinya sebagai seorang dokter yang notabene bergelut dengan darah, kotoran, penyakit, bahkan kematian. Walau mungkin pendapat itu tidak sepenuhnya benar, namun melihat bidadari secantik Tiara di ruang UGD tentu membuat banyak pasien dan dokter merasa berbeda. Tidak hanya cantik, Tiara juga adalah seorang wanita yang supel dan mudah bergaul. Tingkah lakunya lemah lembut serta tutur katanya yang halus membuatnya sulit untuk tidak disukai.
Tapi tidak dengan Yudha, ia bukanlah orang yang gampang tergoda masalah wanita.

“Hai, sudah dengar belum ada bidadari di rumah sakit kita ini?” tanya dr. Beno sahabatnya.

“Bidadari? Segitu cantiknya? Sampai bisa disebut bidadari?” tanya Yudha tanpa tertarik sedikitpun.

“Ya buat Kamu yang sudah punya keluarga mapan dan istri cantik, tentu bidadari secantik Tiara pun tidak akan menarik perhatian,” goda Beno. “Kalau Aku, tentu saja ini target baru yang harus Aku dapatkan. Mumpung serumah sakit, jadi tidak terlalu sulit pedekatenya,.” lanjut Beno sambil tersenyum simpul.

“Sudah sana kamu kejar, semoga dia lebih baik dari istrimu kemarin,” Yudha memperingtkan. Mendengar perkataan Yudha, Beno pun terdiam. Beno masih merasakan sakit hati yang mendalam ketika mendengar mantan istrinya disebut. Perselingkuhan istrinya yang berujung perceraian membuatnya terpuruk, beruntung pengadilan memberikan hak asuh ketiga anak pada nya. Kini, anak-anaknyalah yang selalu menguatkannya.

“Terima kasih sudah mengingatkanku,” kata Beno sambil tersenyum hangat pada Yudha.

“Sama-sama,”

“Besok kita akan mengisi seminar di Jogja sebagai pembicara selama dua hari. Dokter umum dikirim sebagai peserta, termasuk dokter Tiara. Semoga ada jalan untukku,”

Mendengar hal itu, Yudha hanya tersenyum. Ingin rasanya ia mengajak Anis pergi ke Jogja bersama, hitung-hitung liburan, Yudha berharap keinginannya terkabul. Sesampainya di rumah, ketika makan malam, Yudha menyampaikan maksudnya mengajak Anis, awalnya tampak Anis terlihat sangat bahagia dan menyetujui untuk ikut serta. Namun rengekan Juna yang ingin ikut bersama mereka membuyarkan rencananya. Anis membatalkan kesediaannya untuk ikut dan memilih untuk menemani anak-anaknya. Hal tersebut membuat Yudha kecewa, namun Yudha hapal bila anak merupakan segalanya bagi Anis istrinya. Karena keinginannya untuk pergi bersama Anis gagal, ia memilih berangkat bersama Beno.

“Istrimu itu adalah istri yang patut diacungi jempol. Jangan kecewa bila ia lebih memilih menemani anak-anakmu. Toh mereka kebangganmu juga, istrimu juga bukan tipe istri yang cerewet dan selalu ingin tahu kegiatan suaminya kan?” goda Beno.

“Maksudmu dengan kata-kata yang terakhir apa ya?’

“Ya, siapa tahu Kamu jadi tertarik ingin tahu soal Tiara kan jadi lebih bebas,” goda Beno lagi sambil memukul bahu Yudha.

“Semprul Kamu,”

Yudha berangkat menuju Jogjakarta bersama Beno dengan disopiri oleh pak Timan. Sekitar dua jam setengah mereka bermobil, akhirnya mereka pun telah sampai hotel yang dituju, Royal Ambarukmo Hotel. Hotel yang berada di Jl. Laksda Adisucipto No. 81, Ambarukmo ini merupakan hotel berbintang lima.

Kini hotel ini menjadi lebih banyak dipilih tamu yang datang dari luar kota karena selain pelayanannya yang baik, kamar bagus, dan parkir luas, hotel ini juga dekat dengan mall. Ketika mengetahui hal itu, Yudha mulai berpikir apa yang akan dibelikan untuk Anis di mall.

Melihat temannya sedang melamun, segera Beno memegang pundaknya, mengajak Yudha untuk masuk kekamarnya. Mereka ternyata mendapat kamar bersebelahan. “Yuk kita naik,” ajak Beno sambil menyuruh roomboy membawa kopernya.

Yudha pun mengikuti Beno tanpa meminta tolong roomboy. “Aku di kamar 305,’ katanya pada Beno sambil masuk kamar.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaDär berättelser lever. Upptäck nu