Bab 18

36 2 0
                                    

Anis terlihat sedang menikmati pagi dengan memandang hamparan berbagai macam bunga yang ada di halaman rumahnya. Di ujung sana terlihat bunga mawar yang tengah bermekaran dengan begitu indah. Di sampingnya terdapat bunga anggrek bulan yang begitu memesona. Selain dua bunga itu masih banyak juga jenis bunga lain yang berjejer rapi. Ada melati, bugenvil, kembang sepatu, dan lain sebagainya.

Mata Anis terasa segar dan hatinya sangat bahagia saat melihat keceriaan warna dari bunga-bunga yang dimilikinya tersebut. Terlebih setelah ia menjalani perawatan di Rumah Sakit beberapa hari lalu, ia jadi menganggap pemandangan ini adalah surga dunianya sebab di Rumah Sakit pemandangan Anis hanya terbatas pada jendela, kasur, dan alat infus, dan alat kesehatan lainnya. Anis sungguh beryukur karena hari ini dia bisa memandang tanamannya lagi. Hatinya juga merasa lebih lega karena dua anaknya sudah menunjukkan perubahan yang signifikan.

Kemarin, saat Anis pulang ke rumah tanpa disangka Juna dan Gendis menjemputnya dan memperlakukannya dengan hangat. Mereka mencium tangan Anis dan memeluknya cukup lama saat akhirnya kembali berjumpa. Hati wanita itu begitu terharu hingga air mata menetes di pipinya. Ia berulangkali mengucap syukur kepada Allah atas anugerah ini. Janji Allah itu benar, bersama kesulitan ada kemudahan. Anis benar-benar yakin akan hal itu karena telah merasakannya sendiri.

Anis merasa mungkin inilah hikmah di balik sakitnya kemarin. Ia berdoa semoga semua ini tak hanya sementara tapi bisa langgeng selamanya.

Anis menarik napas panjang dan dengan rakus mencium aroma aneka bunga yang wangi semerbak. Aroma bunga yang begitu harum itu membuatnya merasa tenang. Paru-parunya terasa lega karena akhirnya bisa kembali merasakan udara yang segar seperti sekarang ini.

"Bu, udah sarapan belum?" Tiba-tiba Gendis muncul dari dalam rumah dan menyapanya dengan lembut.

"Belum, Mbak. Nanti aja, Ibu lagi senang di sini. Rasanya udah lama banget Ibu nggak dapet udara segar kaya gini." Anis tersenyum menatap wajah anak gadisnya  yang nampak cantik dengan balutan kaus berwarna merah muda dan celana selutut berwarna senada.

"Hmm, jangan nunda-nunda makan, Bu. Nggak baik kan buat kesehatan. Apalagi Ibu baru pulang dari Rumah Sakit. Aku suapin sekarang ya, Bu!" ucap Gendis dengan mata berbinar. Kini, bagi gadis itu tak ada yang lebih menyenangkan selain membersamai Ibunya. Ia telah sadar Ibu adalah harta paling berharga dalam hidupnya. Gendis tak mau kehilangan Ibu lagi sebab ternyata hidup tanpanya selama beberapa hari saja terasa begitu menyiksa.

"Ya udah, Mbak, kalau nggak ngerepotin, Ibu mau disuapin," ucap Anis sambil tersenyum lebar. Hatinya menghangat. Ia tak mampu menutupi rasa bahagianya saat putrinya yang selama ini tak mempedulikannya kini jadi sangat perhatian dan nampak begitu menyayanginya.

"Tapi, Mbak, sebentar, mata kamu kok kaya berembun gitu? Ada apa?" tanya Anis penasaran.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku hanya terharu bisa bersama Ibu lagi. Aku kaya dikasih kesempatan ke dua sama Allah, dan aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ke dua ini," ucap Gendis dengan suara serak.

"Iya, Mbak. Ibu juga ingin kita seperti ini selamanya, ya!" ucap Anis sambil tersenyum dan menatap lekat-lekat putri satu-satunya itu.

"Iya, Bu. Sekali lagi aku minta maaf ya atas semua sikap dan kata-kata buruk yang pernah aku ucapkan selama ini. Aku menyesal, Bu. Maaf, ya ..." Gendis menunduk untuk menyembunyikan air matanya.

Anis mengangguk lalu mengangkat dagu Sang anak lalu menghapus air matanya. Wanita berambut pendek itu memeluk erat anak gadisnya yang kini tinggi badannya melebihi dirinya itu. Setelah puas berpelukan, Gendis segera beranjak ke dapur dan menyiapkan makanan untuk Ibunya.

Beberapa hari ditinggal Ibu, Gendis bisa membuat beberapa masakan. Ya, meskipun hanya masakan sederhana dan bumbunya juga menggunakan bumbu instan, Gendis tetap bangga. Baginya yang selama ini tak pernah menyentuh dapur, bisa membuat satu menu makanan merupakan prestasi terbesar dalam hidupnya.

PSBB: Pahami Sayangi Biar BahagiaWhere stories live. Discover now