Bab 4A

1.4K 235 15
                                    

INI DRAFT PERTAMA
Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!

Tak kuat mendengar cibiran dan sindirian dari para tetangga setiap kali Gina keluar rumah, pada akhirnya Gina harus memilih untuk mundur dari pekerjaannya sebelumnya sebagai sekertaris desa begitu masa cuti melahirkannya telah habis. Selain untuk menjaga kesehatan mental, Gina bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk mengurus keluarga kecilnya.

Tak mudah merawat bayi dengan bibir sumbing yang tergolong cukup parah. Bibir Larasati yang tak menyambung ditambah ceruk yang terbuka lebar pada langit-langit mulutnya membuat bayi itu cukup kesulitan dan rewel ketika lapar dan hendak menyusu.

Suara tangis Larasati tak ubahnya seperti lolongan binatang malam yang terdengar begitu menyayat dan memilukan. Kesabaran Gina acap kali diuji, ketika badannya yang lelah ingin beristirahat namun Larasati justru menangis kencang meminta kebutuhan hidupnya terpenuhi.

Di satu sisi yang lain, menyadari bahwa biaya operasi bibir sumbing putrinya tidak murah, Hadi berupaya keras untuk terus mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Semangat yang menggebu ingin melihat sang putri berwajah normal menghadirkan semangat yang semakin menggelora dari hari ke hari.

Tangan dingin Hadi mampu membuat usaha kue semprong dan batik yang dirintis kedua orang tuanya semakin dikenal luas. Bukan hanya di kawasan Bandung Barat dan Kota Cimahi, bahkan telah merambah ke pangsa pasar yang lebih luas lagi. Mobil armada pengiriman kue semprong ke berbagai kota di Jawa Barat dan Jakarta hilir mudik tak pernah berhenti.

Intuisi Hadi di bidang bisnis tak dapat dipungkiri, saat melihat bidang properti mulai bergeliat dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada untuk membuka relasi dan membuka unit usaha baru di bidang properti dan kontraktor.

Dengan bisnis yang semakin banyak, otomatis waktu Hadi di rumah pun semakin terbatas. Laki-laki yang selalu sigap membantunya dalam mengurus putri semata wayang mereka terasa semakin jauh dan menghilang setiap kali dibutuhkan. Tak jarang Gina hanya mampu menangis sendiri dalam kamar ketika tak kuasa lagi menahan sesak di dada.

“Kamu kenapa, Dek?” tanya Hadi heran ketika tak sengaja mendapati sang istri sesenggukan sambil menyeduh segelas kopi untuknya.
“Aku lelah, Kang. Larasati sangat rewel, sedangkan kerjaan rumah juga sangat menumpuk,” jawab Gina pelan.

“Kalau cape lebih baik Adek istirahat saja. Akang akan bantu bersih-bersih rumah setiap kali ada di rumah,” Hadi merengkuh tubuh ringkih Gina ke dalam dekapannya.

Meski Hadi merasa senang saat tak berada di rumah, karena tak perlu melihat atau bahkan berdekatan dengan putrinya namun hatinya tak urung ikut tergores kala menyaksikan wanita yang dicintai itu sampai menangis. Egonya sebagai laki-laki merasa telah gagal untuk melindungi dan membahagiakan sang permaisuri yang selalu bertahta dalam hatinya.

“Jangan, Kang! Pamali laki-laki pegang kerjaan rumah. Selain itu apa kata ibu kalau sampai lihat anak kesayangannya pegang sapu.” Gina menjawab spontan sambil mencoba kembali menghadirkan senyum manis di wajah tampan laki-laki yang telah dimiliki seutuhnya.

“Akang gak mungkin membiarkan Adek cape sendiri,” Hadi masih mencoba untuk meyakinkan hati istrinya bahwa sudah bukan zamannya laki-laki merasa paling unggul dan berkuasa bak raja.

Membina rumah tangga bukan hanya masalah cinta, namun lebih kepada bagaimana kedua insan bisa saling memahami, menerima dan mendukung satu dengan yang lainnya demi mewujudkan satu tujuan bersama. Karena kebahagian sejati tak pernah terletak pada berapa banyak harta yang dapat dikumpulkan melainkan rasa syukur atas kondisi pasangan.

Tak elok rasanya jika Hadi telah bekerja keras demi mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka, saat ada di rumah justru disuguhi keluh kesah tak berkesudahan dari sang istri. Demi kembali mencairkan suasana dan kembali menghadirkan romantisme dalam rumah tangganya, mata Gina mengerjap manja sambil menggeser duduknya lebih dekat ke tubuh sang suami. Perpaduan aroma citrus dan woods dari parfum yang dikenakan Hadi sontak memenuhi rongga hidung Gina “Hhhmm, wangi banget! Suami siapa sih ini?” goda Gina bak gadis remaja yang baru dimabuk cinta.

“Siapa dulu dong istrinya!” tak mau kalah Hadi balik menggoda sambil mencium pipi Gina yang merona.
Tawa bahagia keduanya terdengar riuh, Larasati yang tertidur pun sampai menangis karena kaget. Gina pun bergegas berlari ke dalam kamar dan meninggalkan sang suami yang sedang menikmati segelas kopi panas dan pisang goreng sebagai camilannya.

Di satu sisi yang lain wajah Bu Mamik tampak tak senang mendengar tawa bahagia sang menantu. Tak ikhlas rasanya mengetahui hubungan rumah tangga putranya tampak akur, bisa jadi perjuangan untuk menyingkirkan Gina dan putrinya dari hidup Hadi semakin sulit. Bayangan wajah Larasati yang sangat mengerikan seketika berkelebat dalam pikirannya, membuat kemarahannya semakin memuncak.
Diakui atau pun tidak meski bisnis keluarga yang dijalankan semakin melejit sejak kelahiran Larasati, namun cibiran dari para tetangga akan kondisi cucunya, dianggap telah mencoreng harga diri dan martabat keluarga besar Soekoco. Tak ada hal yang bisa memulihkan nama baik itu selain kedua wanita pembawa sial itu harus bisa diusir apa pun caranya.

***


Dari hari ke hari Larasati semakin sering menangis tanpa alasan, jika bayi pada umumnya akan segera diam dan tertidur saat diberikan ASI maka hal itu tak berlaku bagi Larasati. Bayi mungil itu tetap akan menangis meski telah mendapat kecukupan ASI, jam tidurnya pun tergolong jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi seumurannya.

“Akang mengizinkan tidak jika Adek meminta bantuan Bi Imah untuk kerja di rumah kita?” tanya Gina saat menemani Hadi makan malam.

“Boleh, tapi dengan satu syarat makanan Akang tetap Adek yang masak ya.” Jawab Hadi singkat.

“Kok githu?” Gina bertanya tak mengerti.

“Sampai saat ini tak pernah ada koki yang bisa memasak makanan selezat Adek,”

Sontak Gina mencubit tangan suaminya. Pipi Gina yang merona membuat aura kecantikannya semakin jelas terpancar. Betapa beruntungnya dia yang telah Tuhan berikan seorang suami yang romantic dan sangat menyayanginya. Meski perjuangan membesarkan Larasati tak pernah ringan, selama ada Hadi bersamanya Gina merasa semua akan dapat teratasi.

“Makasih, Kang.” Gina mendaratkan sebuah kecupan kecil ke pipi sang suami sambil berlalu membawa piring kotor ke dapur.


***


Sebagai seorang janda yang telah ditinggal mendiang suaminya, Bi Imah merasa sangat bersyukur bisa bekerja di keluarga Gina. Baik Hadi maupun Gina memiliki sifat yang sangat jauh berbeda dengan Bu Mamik. Meski kekayaan juga melimpah, keduanya tampak lebih ramah dan suka memberikan bantuan setiap kali ada tetangga yang mengalami kesulitan.

“Imah … ngapain Kamu di sini?” tanya Bu Mamik ketus saat melihat Bi Imah sedang menyapu halaman rumah Gina.

“Mulai hari ini Saya kerja di rumah Mba Gina, Bu,” jawab Bi Imah dengan suara terbata dan pandangan tertunduk.

“Punya menantu kok pemalas dan cuma bisa menghambur-hamburkan uang suami saja!” Bu Mamik menggerutu tak jelas sambil berjalan terburu-buru ke penjual sayur yang mangkal di mulut gang rumahnya.

Ada perasaan tak nyaman saat Gina tak sengaja mendengar perbincangan Bi Imah dengan mertuanya. Sebuah kekhawatiran seketika menyelinap dalam hatinya, jangan-jangan keputusannya untuk mempekerjakan Bi Imah justru akan memicu timbulnya masalah baru dalam rumah tangganya.

💘💘💘

Kak Nurul

Btw Bu Mamik pengin Shirei Hiiiiiih.
Kalau temenan sama emaknya Fathiya cocok kali, ya?

END Jangan Ada LaraWhere stories live. Discover now