EPILOG

5.1K 344 65
                                    

Epilog

Langkahnya anggun dengan buket bunga mawar merah berada di dalam dekapannya. Mawar merah sengaja dipilih karena sang mama sangat menyukai warna merah. Tepat di depan sebuah batu nisan yang tampak terawat dengan baik, perempuan cantik itu menghentikan langkahnya dan memandang dengan tatapan penuh kerinduan kepada sosok yang telah terbaring tenang.

Lihat ma, saat ini aku sudah resmi lulus dari fakultas psikologi dengan predikat yang sangat memuaskan. Mama tahu kenapa aku ambil jurusan ini, karena aku tak ingin anak cucuku kelak mengalami hal-hal pahit dalam hidup mereka, aku ingin bisa menebarkan sebanyak mungkin cinta dan kasih dalam diri setiap orang agar tak ada lara dalam kehidupan dan keluarga mereka.

Dari kampus aku sengaja langsung datang menemui mama, karena aku ingin mama menjadi orang yang pertama tahu akan keberhasilan ini. Tak mungkin aku bisa berada di posisi saat ini, tanpa perjuangan dan pengorbanan mama yang teramat besar. Oia seorang dokter muda akan segera meminangku setelah aku selesai ambil profesi psikolog. Nanti setelah papa dan nenek menyetujui rencana ini aku pasti akan mengajak calon imamku itu untuk datang menemui mama di sini.

"Kak Laras!" pekik seorang gadis kecil yang tampak berlari-lari menghampiri tempatnya bersimpuh.

Sosok gadis cantik yang dipanggil Laras itu mengangkat kepala dan mengedarkan pandangannya. Matanya berserobok dengan gadis kecil yang tak kalah cantik, senyum mengembang di wajah ayunya. Bibir kecil ditambah deretan gigi putih yang tampak kala tersenyum membuat kecantikan Larasati terlihat begitu paripurna.

Pandangan Laras kembali tertuju ke arah batu nisan. "Ma, gadis kecil itu adalah Chika, anak papa dengan Bunda Marni. Dia sangat sayang sama Laras, begitu pun sebaliknya. Saat ini bunda sedang hamil anak ke dua, lihat deh ma jalannya lucu banget demi bisa mengejar Chika."

"Laras sudah lama sampai?" tanya Hadi sambil mengelus lembut kepala putri sulungnya itu.

"Ngaak kok, Pa. Laras belum lama sampai, tadi sengaja dari kampus langsung ke sini karena sudah kangen dengan mama," jawab Larasati sambil mencium takzim tangan laki-laki yang telah mengukir separuh dirinya.

"Bagaimana sidang skripsimu, Nak?" Bu Mamik ikut bertanya kala sang cucu mencium tangannya sebagai wujud rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

"Alhamdulillah lancar, Nek. Semua berkat doa papa, bunda, nenek, kakek dan Chika juga tentunya." Jawab Larasati penuh syukur.

Sontak seluruh keluarga memberikan ucapan selamat dan pelukan hangat atas keberhasilan yang diraih Larasati, anak yang dahulu sangat tidak diharapkan dan ingin disingkirkan.

Masing-masing orang tampak duduk mengitari sebuah makam kala selesai menaburkan warna-warni bunga segar ke atas pusara. Sebuah nama jelas terukir di batu nisan "Gina Pradipta." Meski Gina tak bisa ikut mendampingi Larasati hingga gadis yang terlahir dengan rupa sangat menakutkan, ditambah kondisi autististik dengan kecenderungan conduct disorder itu telah berubah menjadi pribadi yang sangat cantik, pandai dan penuh kasih, setidaknya pengorbanannya telah membuka hati semua orang di sekitarnya untuk bisa menerima kehadiran Larasati dengan seutuhnya.

Siapa pun yang menyaksikan kehangatan dan kasih sayang yang terpancar dari keluarga itu, tak akan pernah menyangka bahwa kegetiran hidup pernah begitu akrab menyambangi hari-harinya. Canda dan tawa bahagia selalu terselip dalam setiap kata manis yang terucap.

Masing-masing orang tampak khusu dan larut dalam doa-doa terbaik yang dipersembahkan bagi Gina, hingga mereka tak menyadari pasangan baya yang berdiri tak jauh dari pusara Gina. Mata mereka nanar, seakan tak percaya dengan pemandangan yang ada di depan mata. Bibir pun seakan terkunci dan tak mampu berucap, air mata haru yang mengalir sudah cukup mewakili isi terdalam dari hati mereka.

"Asih, Pak Dede! Sini kita berdoa bareng untuk almarhumah," menyadari kehadiran mantan besannya, lembut Bu Mamik memanggil pasangan baya yang mematung tak jauh dari pusara Gina.

Baik Pak Dede maupun Bu Asih hanya mampu bergeming, tak mampu berjalan mendekat. Mereka masih tak percaya dan berpikir semua itu hanya ilusi hingga pelukan Bu Mamik menyadarkan Bu Asih bahwa semua nyata adanya. Tangis bahagia pecah, ada sebuah rasa lega dan syukur yang tiada tara ketika pada akhirnya cinta dan kasih sayang bisa menyingkirkan lara dari keluarga mereka untuk selama-lamanya.


-------------------------


MAKASIH BUANYAK MBAK NURUL ... maaf punya Shirei penuh typo sementara punya Mbak Nurul rapi euy. wakakaka

Otsukare.... kita endapkan yaaaaa

END Jangan Ada LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang