Bab 8

1K 206 21
                                    

BRACE FOR IMPACT... UPLOAD SEKALIGUUUUUS!!!!

INI DRAFT PERTAMA

Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!

Bu Mamik merasa jauh di atas angin, rencana untuk menghancurkan rumah tangga putra sulungnya tinggal selangkah lagi. Setan pun bersorak gembira dan semakin semangat mengobarkan kebencian di hati kedua insan yang sedang tersulut emosi. Baik Hadi dan Gina sudah mulai kehilangan akal sehatnya, masing-masing pihak merasa paling benar dengan apa yang diyakini.

Ego telah membutakan hati nurani untuk bisa berpikir secara jernih, bukan semata-mata menuruti nafsu. Nafsu yang pada akhirnya hanya membawa sebuah penyesalan terdalam yang tak bisa diperbaiki lagi. Hadi yang biasanya bisa mengalah dan memilih diam setiap kali ada sedikit cekcok, tidak kali ini. api cemburu telah merubahnya menjadi sosok yang sangat asing dan tak dikenal.

Begitu pun dengan Gina, rasa lelah dan jengah dengan sikap mertua yang selama ini dipendam, tak ubahnya menjadi bom waktu yang saat ini meledak dengan teramat dasyatnya. Tumpukan rasa marah, kecewa, sedih, dan terabaikan laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa mmbakar diri dan orang-orang disekitarnya dalam waktu sekejap saja.

Andai saja mereka bisa sedikit mengingat ajaran agama dan petuah bijak dari para sesepuh agar tak mangambil keputusan saat sedang marah, mungkin biduk rumah tangga yang dikayuh akan tetap tegar berdiri meski badai acap kali menggempur tanpa ampun. Panas setahun dihapus hujan sehari, itulah yang sedang terjadi dalam rumah tangga Gina.

Rasa cinta, saling pengertian, saling percaya, saling mendukung satu sama lain yang dipupuk sedikit demi sedikit, seketika hilang tak berbekas hanya karena rasa cemburu buta. Teriakan dan caci maki saling terlontar dari mulut masing-masing pihak, tak ada yang mau sedikit mengalah.

Suhu di Desa Kayu Ambon, Lembang yang biasanya terasa sejuk, tidak kali ini. Panas dan pengap, napas yang saling memburu seolah berlomba dengan peluh yang tak jua berhenti menetes.

Larasati tak paham betul arti semua pemandangan yang tergambar di hadapannya ketika dirinya membuka pintu kamar untuk mengambil minum. Dia hanya mengerti bahwa satu-satunya orang yang sangat peduli dan mengasihinya, dalam kondisi yang tidak bahagia.

Meski Larasati hanya bergeming di pintu kamar, namun matanya menatap tajam penuh kebencian ke arah papa dan neneknya. Entah apa yang dalam pikirannya, toh selama ini taka da orang yang bisa tahu pasti perasaan dan isi hati gadis kecil yang tampak memprihatinkan itu.

Bi Imah tergopoh-gopoh menghampiri majikan kecilnya. Meski dirinya tak lebih sebagai pembangtu di rumah Gina, namun pengalaman hidup telah mengajarkan banyak hal. Tak sepatutnya anak-anak yang masih belum bisa mengerti ruwetnya dunia orang dewasa menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.

Keriput yang ada di hampir seluruh bagian tubuh Bi Imah, tak menghalangi kegesitannya untuk mengajak Laras menyingkir dan kembali masuk kamar. Hal itu dirasa jauh lebih baik ketimbang kondisi psikologisnya semakin terguncang.

Ketajaman lidah Bu Mamik memang tak perlu diragukan lagi, merasa sebagai pengusaha sukses dan orang terkaya di Desa Kayu Ambon, Lembang wanita baya itu dapat dengan mudah mengeluarkan caci maki dan hinaan acap kali ada hal-hal yang membuatnya tak nyaman. Bukan hanya kepada para pegawainya di usaha kue semprong dan batik, bahkan kepada anak dan suami pun dia tak segan-segan mengeluarkan caci maki.

Gina sudah terlalu kenyang menjadi sasaran kebencian sejak awal menikah. Terlebih sejak kelahiran Larasati, alih-alih mereda, kebencian dalam hati Bu Mamik untuk menantu dan cucunya itu semakin membuncah. Keduanya dianggap sebagai aib keluarga besar yang harus disingkirkan.

END Jangan Ada LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang