Bab 9a

1K 193 0
                                    

Kalau ada plot hole, TOLONG KABARI.

Namun, Typo dll abaikan saja karena memang nggak diurus.

Makasiii

INI DRAFT PERTAMA

Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!


Lara 9

Di dalam kamarnya, Gina termangu. Dia duduk di sudut kasur, bersandar dengan dinding dan memeluk bantalnya. Membiarkan dingin AC merengkuh hatinya yang masih terbakar. Kamar dibiarkan gelap supaya dia bisa berpikir lebih jernih. Berharap ketenangan akan mengaliri batin hingga dia tak perlu lagi menjerit frustrasi pada perlakuan suami dan mertuanya.

Sesungguhnya Gina sedikit merasa bersalah telah bersikap tidak sopan pada Bu Mamik. Namun, kenapa semua orang mendesaknya hingga lepas kendali? Kenapa bukan dukungan yang diterimanya selama dua belas tahun pernikahan? Memang ke mana mertua dan suami yang umumnya membantu atau setidaknya tidak menjatuhkan perjuangan seorang istri sekaligus ibu.

Bahkan Kang Hadi pun kini tidak lagi memihaknya. Gina merasa seperti seorang single mother. Tersaruk sendirian tanpa ada sandaran. Semua terasa menyesakkan. Seperti karat yang perlahan tumbuh, di kedua kakinya, pelan tapi pasti dia merobohkan semua pertahannya. Bahkan Bisma yang sekadar kebetulan bertemu pun menjadi sasaran kemarahan tidak masuk akal suami dan mertuanya.

Ternyata begini rasanya fitnah bertubi menyerang. Ternyata, sakitnya jauh lebih terasa dibanding kematian. Gina bahkan merasa bagaimana jika dirinya mati saja. Dengan begitu, mungkin dia akan bisa tenang di surga.

Benarkah?

Gina tertawa getir. Ada selangsa pahit menguar dari air mata yang kini justru kembali menggenang. Apa dirinya pernah salat? Kapan terakhir kali dia menunduk dan menghamba pada Tuhan yang menciptakannya.

Larasati menyita waktu.

Selalu itu yang dijadikan dalih untuk membela diri pada ketidaksempatan Gina untuk sekadar menunaikan ibadah wajib selama 10-15 menit. Nanti larasati begini, larasati begitu. Semua kesalahan selalu dilimpahkan pada bocah yang bahkan belum tampak mengerti banyak hal itu.

Mungkinkah ini justru hukuman dari Tuhan karena dia tidak pernah salat? Tidak pernah berdoa dan memohon kemudahan atas segala cobaan? Inikah bentuk kasih sayang Tuhan padanya? Agar Gina kembali bersujud dan berdoa?

Gina menyusupkan kepalanya ke bantal. Membiarkan semua duka yang seperti luka bernanah itu keluar dalam setiap air mata. Namun, tak bisa dipungkiri, dia sangat ingin larasati lenyap dari dunia. Agar dia bisa hidup dalam damai. Hantaman itu terasa kembali di dada. Ternyata begini sakitnya. Anak itu benar-benar ujian, bukan anugerah seperti yang dialami banyak orang.

***

Setelah puas menangis selama hampir dua jam, Gina pun akhirnya memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Meski bukan wanita salihah, tapi dia tahu kalau salah satu kebahagiaan suami adalah kebahagiaan ibunya. Dia hendak bicara dulu dengan Kang Hadi sebelum pergi. Namun, mobil kang hadi tidak ada di mana pun.

"Kang?" Gina terlihat bingung dan memanggil suaminya lirih. Hadi benar-benar tidak ada di rumah.

Dikirimkan pesan untuk suaminya itu untuk menanyakan ada di mana dia sekarang. Namun, tidak ada balasan sama sekali. Dibaca pun tidak. Gina menarik napas.

Ke mana perginya dia? Batin Gina semakin heran. Bukannya membantu Gina untuk berdamai, tapi malah menghilang. Gina pun sempat mengintip rumah Bu Mamik dan mobil suaminya pun tidak ada di sana. Rasanya tidak mungkin jika Kang Hadi kembali kerja ke cimahi. Bukankah rapat sudah usai siang tadi? Harusnya, memang malam ini jadwal dia sudah kembali ke rumah.

Gina tak punya waktu. Dia tak mungkin menunggu esok untuk meminta maaf pada Bu Mamik. Mertuanya bisa lebih marah besar kalau masalah keduanya tidak diselesaikan secepatnya.

Dengan memastikan kalau Larasati sudah tenang tidur lebih awal, Gina pergi membeli martabak telur spesial kesukaan Bu Mamik. Tak lupa acar yang dipesan lebih banyak. Gina sebenarnya cukup perhatian dengan semua kesukaan Bu Mamik. Berusaha sebaik mungkin menjadi menantu yang baik. Namun, sebesar apa pun usahanya, tidak pernah berarti di mata Bu Mamik.

Sepercik harap agar Bu Mamik bisa mengerti semua situasinya. Gina berjanji rela merendahkan diri agar Bu Mamik sudi memaafkannya. Orang bilang, mengalah bukan berarti kalah. Toh, ini semua demi masa depan dirinya dan keutuhan rumah tangganya dengan Kang Hadi. Gina harus menahan diri.

"Assalamualaikum!" Gina mengucap salam dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban.

Akan tetapi, Gina tidak menyerah. Dia terus mengetuk dan mengucap salam. Bahkan lebih dari tiga kali.

"BERISIK!" Bu Mamik yang tidak tahan dengan semua ketukan dan ucapan salam dari Gina akhirnya keluar rumah.

"Bu, Gina mau minta maaf .. tadi..."

"KELUAR! NDASAR MENANTUK LAKNAT!" seru Bu Mamik hilang kendali.

"Bu, Gina sungguh-singguh minta maaf. Gina nggak sengaja. Sungguh. Tolong Gina dimaafkan."

"PERCUMA!" Bu Mamik kembali berteriak dan mendorong tubuh gina ke belakang. "Kamu sudah menyakiti hati Ibu! Mati aja sana! Dasar menantu durhaka!"

Rahang Gina mengeras. Namun, dia berusaha tersenyum. "Kalau begitu, Gina pamit dulu. Ini ada sedikit oleh-oleh kesukaan Ibu." Gina mengangsurkan plastik berisi martabaknya hati-hati. Percuma dipaksakan sekarang. Setidaknya, dia sudah berusaha.

Kantong itu direbut paksa oleh Bu Mamik. Gina merasakan sedikit kelegaan. Namun, itu tak lama ketika Bu Mamik justru mengangkat kedua tangannya di atas kepala dan melemparkan plastik itu sekuat-kuatnya ke arah jalanan tepat ketika mobil pengantar kue semprong datang hingga langsung melindasnya.

Mata Gina nanar melihat martabak mahal yang masih mengepulkan asap itu kini tergencet di bawah ban mobil tanpa belas kasih. Kuah acarnya pun memercik ke mana-mana. Dada Gina bergemuruh, air mata sudah mulai menggenang di sudut mata. Akan tetapi, dia tidak boleh menangis. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan wanita angkuh yang sama sekali tidak mau menghargai perjuangan orang lain itu.

Gina pun mengangkat kepalanya dan berkata lirih, "Baiklah, Gina pamit, Bu. Assalamualaikum." Wanita itu masih berusaha bersalaman dengan Bu Mamik yang tentu langsung ditepis kasar.

Dengan langkah gontai, Gina kembali ke rumahnya. Merasakan semua luka yang semakin terbuka dan mengeluarkan darah. Keinginannya hanya pelukan hangat dari Kang Hadi. Namun, mobil milik suaminya masih juga tak muncul.

Ada apa sebenarnya?

END Jangan Ada LaraWhere stories live. Discover now