Bab 11 B

1K 197 5
                                    


Kalau ada plot hole, TOLONG KABARI.

Namun, Typo dll abaikan saja karena memang nggak diurus.

Makasiii

INI DRAFT PERTAMA

Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!

Ada sedikit harap kalau Hadi akan mengejarnya. Namun, harapan langsung menguap bersama hening kabar yang masuk ke gawai Gina. Hadi seolah tak peduli.

Ada keterkejutan mwnguar ketika Gina memasuki pekarangan rumah berukuran 200 meter persegi. Memang tidak sebesar rumah Hadi dan Mamik, tapi keluarga Gina sebenarnya cukup terpandang di kampungnya. Apalagi ayah Mamik pernah menjabat sebagai kepala desa.

"Kenapa ke sini? Mana Hadi?" Ibu Gina menghambur memeluk putri tunggalnya itu. Tatap mata penuh kecemasan langsung menghujam ketika tidak mendapat jawaban dan justru mendapat tangis.

Ibu Gina, Asih membimbing putrinya duduk di ruang tamu. Koper yang dibawa langsung dibawa asisten rumah tangga mereka ke kamar Gina yang selalu dirapikan meski dia sudah menikah. Awalnya larasati enggan berpisah dengan Gina. Namun, belaian di kepala dna bujukan akan dibelikan buku komik keluaran terbaru membuat Larasati menurut. Akhirnya gadis itu ikut ke kamar dan duduk diam membaca buku-buku kegemarannya.

Segelas teh manis hangat akhirnya disesap Gina cukup mampu menenangkannya dari tangis yang terus jatuh. Akhirnya, Gina menceritakan semua yang terjadi.

"KURANG AJAR! CERAIKAN SAJA DIA!" ada kobaran api menyala di mata Asih. dia tak rela kalau anak semawat wayangnya diperlakukan seenaknya.

Gina justru kembali menangis. Dia tak pernah membayangkan akan hidup tanpa hadi di sisinya. Dua belas tahun lebih pernikahan mereka penuh dengan badai, tapi tak sedikit pun terlintas untuk berselingkuh apalagi bercerai. Namun, semua rasa sakit dan tuduhan yang dilontarkan padanya membuat semuanya bersetai-setai.

"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Soal Hadi kita urus nanti. Kamu di sini saja dulu. Kalau dia suami bertanggung jawab, pasti akan mengejar ke sini, kok. Kamu nggak akan dibiarkan sendirian."

Gina mengangguk patuh. Kepalanya terllau berat. Seperti bisa kapan saja terserak dan pecah berantakan. Seperti guci-guci keramik aneka ukuran yang dikoleksi Asih. Mereka bertebaran di sekeliling rumah hingga melihatnya, seolah memngingatkan betapa rapuhnya hati Gina saat ini.

***

Sehari, dua hari, seminggu, hadi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda punya keinginan untuk menghubungi Gina. bahkan sekadar menanyakan istrinya ada di mana pun tidak. Betapa Gina kecewa.

Uang biaya bulanan yang ditransfer pun menghilang. Hadi seolah tak peduli padanya. Tan[a uang itu, mustahil meneruskan terapi Larasati. Gina tak ingin merepotkan orang tuanya yang juga tak begitu menyukai kehadiran larasai yang wajahnya begitu mirip hadi daripada wajahnya.

"Laras, ayo makan." Gina jongkok di depan larasati yang masih membaca. Namun, mendongak pun gadis itu tak mau. "Kamu nggak lapar? Tanyanya lagi.,

Tak ada jawaban.

Gina menarik napas. Larasati tidak bileh dibiarkan telat makan. Nanti bisa berbahaya. Jika lapar, tapi belum terganjal makanan, biasanya gadis itu akan mengamuk dengan sangat keras. Namun, untuk disuruh makan sesuai jadwal pun kadang tidak mau.

"Ayo, Laras maunya apa? Mama buatkan." Gina masih berusaha membujuk,

Larasati masih bergeming di tempatnya. Tak acuh.

"Ya Tuhan, sayang. Mama harus gimana supaya kamu makan?"

"Dia masih ga mau makan?" Asih tiba-tiba muncul di balikpintu. Gina hanya menjawab dengan gelengan pelan.

"Ayo sini kamu! Jangan nakal jadi anak!" Asih tiba-tiba masuk ke dalam dan menarik buku yang sedang dibaca larasati.

Merasa terusik, laras mendelik, dan berteriak tak suka. "KEMBALIKAAAAN!" raungnya.

Asih ngotot dan mengangkat buku itu sambil melemparnya ke arah kasur yang jauh dari jangkauan laras. Gadis kecil itu langsung berdiri, mendorong sih hingga nyaris jatuh jika saja Gina tidak memeganginya.

"Ibu, sudah. Biar Gina saja."

"Kamu tuh terlalu memanjakan anakmu. Dia jadi kurang ajar!"

"Dia anak spesial, Bu.Kita harus sabar." Gina berusaha menerangkan. terapi yang tiada, salah satu penyebab Larasati jadi makin susah dikendalikan. Namun, dia ingat sellau kalimat terapisnya agar toidak memaksa dan bersikap kasar pada anak dengan autis tipe conduct disporder bisa berbahaya. Mereka memiliki kecenderungan untuk meniru kekerasan yang dilihatnya.

"Sesukamu! [using aku lihat anak itu/. Harusnya kamu nggak usah nikah sama hafi. Nggak ibunya ga anaknya, sama bejkat!"

Asih keluar kamar dengan dongkol. Anak tunggalnya tak mau mengerti. Padahal menurut Asih, dengan mendidik tegas maka Larasati akan lebih patuh hinga Gina tidak perlu repot merayu setiap saat. Suara teriakan larasati masih terdengar di belakangnya. Memusingkan saja!

Melihat pintu sudah tertutup, Gina kembali terfokus pada Larasati. "Mama akan buatkan roti bakar, ya." Gina berusaha menahan dan merengkuh tubuh Larasati yang masih mengentak-entak kesal.

Namun, ternyata, kekesalan Larasati sudah menumpuk. Gadis itu mendorong Gina, dan langsung berlari keluar kamar. Sikapnya yang terburu-buru, membuatnya menabrak satu guci paling besar.

Suara keramik pecah berantakan terdengar.

"LARAAAS!" Gina langsung menarik tubuh anaknya ke belakang takut dia terkena dampak dari pecahan belingnya.

Belum sempat Gina hilang dari keterkejutan, tiba2 Asih btergopoh2 datang.

"APA-APA INI! YA TUHAAAAN! GUCI KESAYANAGNKU!"

Gina bahkan hanya isa membeku ketika Asih menarik lengan larasati kasar dan menamparnya keras. "Dasar cucu nggak tahu diuntung! Mending kamu keluar ajka dari sini! Ibumu itu udah repot ngurusin kamu, malah kamunya bikin susah semua orang." tangan keriput itu mengguncang-guncang tubuh Larasati hingga terjerembab ke lantai.

Untuk yang pertama Asih melihat airmata larasati alih-alih jeritan keras. Gadis itu pun berlari menghindar dan keluar rumah meski tapa alas kaki.

END Jangan Ada LaraWhere stories live. Discover now