Bab 4b

1.3K 245 14
                                    

INI DRAFT PERTAMA
Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!

Namun untuk apa memikirkan omelan dan cacian yang akan meluncur dari mulut Bu Mamik, karena omelan wanita berbadan tambun itu ke Gina sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ibarat garam yang harus ada di setiap masakan yang dihidangkan, selama ada Hadi bersama rasanya Gina tak perlu terlalu ambil pusing toh apa yang dilakukan juga atas izin dari suami.

Gina merasa sangat terbantu dengan adanya Bi Imah, mood swing yang sering melanda akibat kelelahan saat mengurus Larasati sedikit demi sedikit bisa mulai berkurang. Ada perasaan bersalah setiap kali Gina harus membentak anak bayi yang tak tahu apa-apa, namun dirinya tak tahu harus ke siapa lagi membagi beban kala sang suami sibuk mengurus bisnisnya di luar rumah.

Waktu terasa sangat lambat bergulir, lama kelamaan Gina sudah bisa mulai menerima keunikan yang ada pada diri putrinya. Jika di awal kelahiran, dirinya selalu menghindari menatap wajah sang putri pada akhirnya naluri seorang ibu tak bisa dipungkiri. Siapa lagi yang akan menyayangi Larasati jika sebagai ibu pun dia tak mau menerima.

Dengan uang yang berhasil dikumpulkan, Larasati telah menjalani dua kali operasi, pada saat umur empat bulan untuk operasi menutup celah bibir dan dilanjutkan dengan operasi perbaikan celah langit-langit mulut pada umur satu tahun. Meski demikian hal itu belum mampu mengembalikan wajah Larasati layaknya anak-anak pada umumnya.

Masih ada serangkaian tindakan medis lainnya agar benar-benar bisa pulih dan hal itu harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan umur Larasati. Operasi lanjutan itu berupa operasi cangkok tulang, pharyngoplasty (operasi tambahan bibir), rhinoplasty (operasi untuk memperbaiki bentuk hidung) dan operasi perbaikan rahang, tapi itu nanti saat umur Larasati setidaknya sudah 14 tahun, sedangkan saat ini Laras baru menginjak umur delapan tahun.

Tindakan medis itu baru untuk memperbaiki akibat dari bibir sumbing yang diderita, selain itu Larasati juga harus menjalani operasi akibat ptosis pada mata kirinya. Atas dasar pertimbangan ini pula, Gina dan Hadi memutuskan untuk menunda memiliki momongan lagi. Bukan karena mendahului takdir Tuhan, namun segala kerepotan dan biaya yang dibutuhkan Larasati sudah cukup besar.

“Ibu pengen punya cucu yang lucu dan menggemaskan, jadi bisa diajak setiap kali ada acara kumpul-kumpul,” ujar Bu Mamik saat Hadi bertandang untuk mengantarkan martabak telur kesukaan ibunya itu.

“Sabar, Bu. Setelah menjalanni beberapa kali tindakan operasi, Laras akan menjadi cantik seperti gadis lainnya,” tak tahu apa yang harus diucapkan, Hadi mencoba meredakan kegundahan wanita sepuh yang telah mengukir separuh jiwanya.

“Kapan Kamu bisa hidup serba berkecukupan, jika hasil jerih payahmu hanya habis untuk biaya operasi anak setan itu!” tiba-tiba suara Bu Mamik meninggi.

“Istigfar, Bu. Itu cucu kita, bagaimana bisa kamu berucap seperti itu?” suami Bu Mamik mencoba mengingatkan sang istri yang mulai tersulut emosinya.

“Bapak itu tak usah ikut campur! Harusnya sejak awal Hadi menikah dengan wanita yang jelas asal usulnya seperti Marni. Ini akibatnya jika dia menikah dengan wanita yang suka melakukan ritual terlarang hanya demi mempertahankan kecantikannya saja, anaknya pun terlahir tak ubahnya seperti makhluk luar angkasa!” napas Bu Mamik memburu, saling berkejaran dengan puluhan kata umpatan yang keluar dari mulutnya.

Hadi hanya bergeming di kursinya, tak menduga dengan semua ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Bu Mamik. Gosip yang menguar dari mulut para tetangga terkait kondisi Larasati tak jua bisa hilang seiring berjalannya waktu. Bu Mamik yang dari awal tak suka dengan Gina menjadi mudah terprovokasi dan termakan isu yang beredar.

“Hadi pamit pulang dulu, Bu.” Ucap Hadi sambil mencium tangan ibu dan bapaknya takzim.

Ada perih yang tak terkira, kala mendengar hal buruk tentang istri dan anaknya justru datang dari orang-orang terdekat. Tetapi Hadi sadar tak mungkin dia menceritakan sikap ibunya kepada Gina. Bagaimana pun Gina adalah wanita yang sangat dicintai dan menikah dengannya adalah pilihan hidup Hadi.

Meski Hadi sangat mencintai Gina, namun perasaan yang sama tak pernah adda untuk Larasati. Wajah yang menakutkan, ditambah omongan buruk dari Bu Mamik dan para tetangga ikut berperan besar memperbesar dinding pemisah antara Hadi dengan putri semata wayangnya ini.

Sejak masih bayi hingga telah menginjak usia sekolah, tak pernah sekali pun Hadi mau menggendong Larasati. Bukan hanya itu, Hadi juga tak segan mengusir putrinya yang ingin mendekat. Gina yang sudah berulang kali mencoba merajut ikatan papa dan putrinya harus menelan satu pil pahit karena Hadi langsung bersikap difensif setiap kali Gina membuka pembicaraan tentang Laras.

Berkat kegigihan dan keuletan Hadi mengikuti pameran yang rajin diadakan oleh Kementrian Perindustrian, usaha batiknya semakin dikenal luas bahkan sampai menembus pasar ekspor. Hadi yang belum punya pengalaman mengurus keperluan ekspor-impor merasa cukup tertantang sekaligus keteteran mengerjakan semua berkas itu sendiri.

Hampir tiap hari, Hadi baru bisa pulang ke rumah setelah larut malam demi memastikan setiap barang yang diekspor tidak cacat mutu dan sampai ke negara pemesan tapat waktu. Hadi sadar bahwa dalam persaingan bisnis yang semakin ketat, komitmen memberikan hasil terbaik adalah salah satu cara jitu mempertahankan pelanggan.

Larasati yang baru saja bangun tidur merasa sangat senang ketika melihat papanya masih sibuk di meja kerjanya. Langkahnya riang menghampiri sosok Hadi yang tampak lincah memasukkan beberapa berkas ke dalam tas kerjanya.

“Papa … Laras mau gendong,” pekik Laras dengan suaranya yang masih terdengar sengau.

“Jangan ganggu, Papa lagi sibuk!” Hardik Hadi ketus.

Alih-alih diam, gadis kecil itu malah mengamuk. Boneka yang sedang dipegangnya sontak dilemparkan asal, kertas yang ada di atas meja kerja Hadi juga dirobeknya tanpa ampun. Hampir saja Hadi melayangkan sebuah tamparan saking jengkelnya melihat berkas keperluan ekspor batiknya dirobek Larasati.

Gina yang baru selesai dari kamar mandi tampak tergopoh-gopoh meraih tubuh kecil Larasati dan memeluknya. Kemarahan Hadi yang sampai ke ubun-ubun tergambar jelas dari muka yang memerah, dan napas yang begitu memburu.

“Semakin lama di rumah, Aku bisa semakin cepat gila!” Hadi mendengkus kesal sambil buru-buru memungut berkas yang berserakan.

Gina hanya bisa terdiam sambil terus berupaya untuk menenangkan putrinya. Intuisi sebagai seorang ibu bisa merasakan bahwa kondisi psikologis Larassati tidak dalam keadaan sehat, namun Gina tak tahu harus berbuat apa. Tangannya mencoba terus memeluk tubuh Larasati untuk menenangkannya, namun amukan gadis kecil itu tak juga reda.

“Papa gendong!” jerit Larasati sambil terus meronta.

“Ingat, tak akan pernah ada yang sayang dan menyukaimu!” Hadi menepis kasar tangan Larasati yang mengembang ke arahnya, sorot mata laki-laki tampan itu tampak sangat dingin dan menakutkan tepat menusuk ke dua bola mata Larasati.

Tanpa mengindahkan tangisan Larasati, Hadi segera berlalu keluar rumah dan memacu mobilnya keluar halaman rumah. Deru mobil Hadi semakin menjauh, menyisakan sebuah luka dalam hati putri kecilnya yang menganga meski tak mengeluarkan darah.

by Kak Nurul

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

by Kak Nurul

Ga semua suami siap menjadi ayah...

END Jangan Ada LaraWhere stories live. Discover now