Bab 5A

1.3K 226 5
                                    


INI DRAFT PERTAMA
Untuk EVENT KARMA.

NO EDITING!!

Pertimbangkan sebelum membaca!

Semua mata akan berpaling ketika Gina dengan blouse ketat putih dan rok span pendek di atas lutut berwarna biru. Pinggul yang melengkung sempurna serta payudara yang meski tertutup rapat, tetap terlihat menarik sekaligus menggoda mata-mata jalang pria yang tak mampu menjaga pandangan.

Di desanya, Gina selalu menjadi idola. Sikapnya supel, ramah, dan terkenal baik hati pada siapa pun. Tentu Gina ingin memperoleh banyak relasi baik dari pria maupun wanita demi memilih mana yang terbaik di antara mereka. Tentu saat ini pilihannya sudah jatuh ke tangan Hadi. Akan tetapi, dia tidak bisa membiarkan usahanya selama ini kembali kandas. Dia terus berusaha ramah agar tetap dicintai.

Namun, keberadaan Lara menghancurkan semua usahanya. Banyak wanita kini balik menggunjingnya. Memang belum pernah ada kasus bibir sumbing di desanya selama ini. Larasati terlihat mengerikan di mata mereka semua. Apalagi akses internet bukan sesuatu yang umum di sini khususnya bagi ibu-ibu seumuran Mamik yang gemar menebar gosip yang tidak berdasar. Keberadaan bibir sumbing seperti hal asing yang menjadi momok mengerikan. Padahal larasati sudah melakukan operasi. memang belum sempurna, tapi semua akan dilakukan bertahap. Kenapa mereka masih juga takut memandangnya?

“Sendirian aja? Mau Akang anter?” 

Gina menoleh. Dilihatnya Asep, seorang mandor bangunan sedang menyesap rokoknya dengan nikmat. Gina menahan diri untuk tidak mencebik. Rokok adalah hal yang dibencinya. Bahkan dia sadar kalau pria merokok hanya akan membuatnya berumur pendek. Mungkin sebagai istri harus tahan berjibaku dengan asap bau itu, memenuhi sudut-sudut rumah dengan bau menyesakkannya. Lalu sebagai perokok pasif, Gina akan merasakan kesehatannya akan dicabut pelan-pelan.

“Enggak, terima kasih, Kang.” Gina menuntun larasati yang masih enggan berjalan sendiri  meski usianya sudah delapan tahun. 

Asep mendekat dan kepulan asap itu semakin terasa. Gina menahan napasnya. Meski Asep terlihat gagah, otot lengan yang terlatih sebagai kuli bangunan sebelum akhirnya naik jabatan menjadi mandor, tetap rokok akan membuat tubuh atletis itu lenyap jika sampai terkena kangker paru-paru. Gina bergidik.

“Daripada harus gandeng-gandeng mahkluk kayak gitu. Mending kuantar pakai mobil. Biar dia ditaruh di belakang.”

Gina berusaha tidak mengumpat mendengar ucapan Asep yang dirasa keluar batas. Larasati memang tidak sempurna apalagi cantik, tapi bagaimanapun ini adalah darah dagingnya. Harga diri gina terusik mendengar ada yang begitu melecehkan anak semata wayangnya.

“Namanya Larasati kalau akang belum tahu.” kali ini Gina tak bisa menyembunyikan keketusannya. “Kalau tidak ada perlu lainnya, Gina permisi.”

Dibuangnya pandangannya dan langsung melambai menghentikan angkutan kota yang akan membawanya ke Klinik tumbuh kembang untuk terapi. 

Gina mengempaskan punggungnya ke sandaran angkot yang keras. Larasati masih memainkan jemarinya dan duduk di sebelahnya dengan tenang. Jika seperti ini, dia terlihat sangat damai. Seolah tidak memiliki masalah sedikit pun yang akan mengganggunya. Gina membeli kepala larasati penuh kasih. Tak bisa dimungkiri masih ada rasa sakit dan tidak terima melihat kondisi Larasati., Terutama dengan semua tekanan yang diterima dari berbagai penjuru. Namun, mengeluh pun, Gina tahu bahwa dia tak akan bisa berbuat apa-apa.

“Mau ke mana, Neng?”

Lagi-lagi Gina menoleh ke arah datangnya suara. Kali ini Abay, juragan buah di desanya yang terkenal pelit. Bahkan dengan semua kekayaannya, dia masih memilih naik angkot yang pengap seperti ini.

“Ke Klinik tumbuh kembang, Kang.” Gina berusaha tersenyum ramah. Dia sudah lelah beramah tamah dengan orang-orang itu. Apalagi gina sadar kalau perjalanan menuju Klinik tumbuh kembang masih sangatlah panjang. Itu artinya dia akan mengobrol panjang kali lebar kali tinggi pada pria yang selalu merasa dirinya awet muda akibat sering makan buah itu.

“Enggak diantar suami?”

Helaan napas menjeda sejenak sebelum lagi-lagi Gina memasang tampang ramah pura-puranya dan menjawab, “Kang Hadi lagi sibuk untuk tender besar di Jakarta. Mungkin minggu depan baru pulang.”

Suara decakan meluncur mulus dari mulut Abay. “Duh, istri cakep-cakep dianggurin.”

Alkis gina mengerut. Apa maksudnya tadi? “Kang Hadi kerja juga demi Gina dan Larasati.” tanpa sadar Gina membela suaminya.

Abay hanya mengangkat bahu tak peduli. Dipandanginya paha Gina yang tak terlindung rok yang naik sedikit saat duduk. Gina merasa risi dan langsung  menaikkan tas selempangnya ke sana untuk menutupi arah pandangan Abay. besok, gina akan memakai celana saja jika ke Klinik tumbuh kembang. Toh, dia sudah tidak memerlukan tampilan seksi untuk menarik pria mapan incarannya.

“Kalau memang suaminya lagi di luar kota, Akang boleh mampir ke rumah?”

Gina mendelik. “Untuk apa?”

“Yah, menemani Neng Gina kalau kesepian. Akang siap.”

Suara debas terdengar keras ketika Gina mengembuskan napas berusaha bersabar. “Gina duluan, Kang.” Gina langsung meminta sopir angkot untuk berhenti. 

“Lho/ katanya mau turun di Klinik tumbuh kembang?” Abay terkejut karena mengetahui Klinik tumbuh kembang masih sekitar tiga kilometer lagi.

Gina tak menjawab dan memilih segera turun meninggalkan pria yang masih menikmati bokong Gina saat membungkuk keluar dari angkot.

Tak dapat disangkal, Gina merasa dirinyalah ikut andil dalam membuat masalah itu sendiri. Namun, harusnya pria-pria itu sadar kalau dirinya sudah menikah. Tak sepatutnya mata-mata itu masih jelalatan memandangnya. lagipula, dengan menggendong larasati, lebih nyaman jika mengenakan celana panjang dan praktis saja. risi jika ada yang melihat pahanya tersingkap saat larasati berontak kala digendong.

Gina tak ingin satu angkot dengan Abay atau pria mana pun. namun, bagaimana lagi. Mobil milih Hadi dibawa ke jakarta. Meminjam mobil Mamik bisa-bisa akan membawa malapetaka lebih dahsyat. Satu goresan atau debu yang bertabur bisa menimbulkan ceramah berkepanjangan. Gina mundur mencari tempat berteduh. Peluh mulai membasahi blouse putihnya. 

Dia tak habis pikir kenapa Mamik begitu membencinya. Rasanya, Gina tak pernah berbuat tidak sopan. Meskipun semasa gadis dirinya sedang memakai pakaian terbuka demi menarik perhatian lelaki, tapi tak satu pun dari mereka iperbolehkan menyentuhnya. Bahkan Bisma yang memacarinya selama tiga tahun pun tidak pernah sedikit pun menciumnya. Keperawanannya dijaga baik-baik untuk pria yang akan menjadi suaminya. Lalu kenapa dia begitu dibenci? Sebegitu rendahkan dirinya di mata Mamik?

END Jangan Ada LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang