Part 1

1.8K 44 0
                                    

"Rin, ibu sakit. Kirim uang lagi, dong. Yang kemarin kamu transfer udah habis kepake kebutuhan sehari-hari. Kamu tahu sendiri, kebutuhan ibu banyak. Ya diapers, ya susu penguat tulang, sama vitamin-vitamin yang harganya mahal."

Terdengar suara Mbak Vita, kakak iparku melalui sambungan telepon. Keningku sedikit berkerut ketika mendengar penuturan kakak iparku itu.

Padahal belum ada seminggu aku mengirim delapan puluh persen gajiku ke kampung untuk kebutuhan ibu, dan nominalnya juga tidak sedikit, masa sudah habis?

"Uang yang aku kirim kemarin kan, banyak Mbak. Dan baru seminggu yang lalu aku transfer ke rekening Mas Yadi, masa sudah habis?" tanyaku setengah tak percaya. Mas Yadi adalah abangku satu-satunya, karena kami hanya dua bersaudara.

"Loh, kamu kok ngomongnya gitu, Rin? Kayak nggak percaya gitu, sama aku?" Mbak Vita terdengar tersinggung. Aku tak heran, karena sudah tahu tabiatnya seperti itu. Kakak iparku itu memang cepat naik darah.

"Maaf Mbak, bukan nggak percayaan. Tapi kan memang__"

"Halah ... sudahlah! Capek aku diginiin sama kamu. Orang niat baik kok malah dicurigai macam-macam. Masih bagus aku mau bantu ngurusin ibumu, nggak aku telantarin di jalan!" cerocos Mbak Vita yang membuat kupingku panas.

Hftt .... Kuhela napas dalam-dalam. Tak ada pilihan lain selain bersabar, sebab kalau diladeni, Mbak Vita bisa semakin murka dan akan semakin tajam kata-kata menyakitkan yang dia lontarkan. Lebih baik memang aku mengalah.

"Iya, Mbak, aku minta maaf. Makasih Mbak Vita sudah mau bantu ngurus ibu selama ini. Tapi kalau soal uang, jujur saja aku sudah nggak punya banyak lagi, Mbak. Hanya untuk pegangan saja, takut ada kebutuhan mendesak," ujarku dengan melunakkan nada suara.

"Ya udah, aku maafin. Tapi ingat ya, jangan kayak gitu lagi, kamu. Aku di sini capek-capek loh, ngurusin ibumu, tolong setidaknya hargai aku, Rin. Sekarang, kirim berapa aja uang yang ada sama kamu, yang penting bisa dipake buat bawa ibu berobat," perintah Mbak Vita di ujung kalimat.

Aku hanya bisa menghela napas. Terpaksa mengiyakan permintaan kakak iparku daripada terus ngomel-ngomel nggak jelas. Telepon diakhiri olehnya setelah aku berjanji akan segera ke ATM untuk mentransfer sisa uangku ke rekening Mas Yadi.

Setelah selesai berbicara dengan Mbak Vita, aku kembali melanjutkan pekerjaanku. Di kota ini, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga yang merangkap tugas menjaga nenek majikan.

Beliau seorang wanita sepuh, berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Wanita yang biasa oleh para pekerja di rumah ini dengan sebutan Oma Eliz itu adalah seorang wanita keturunan belanda yang cukup ramah dan tidak pernah merepotkan.

Di rumah besar ini, Oma Eliz hanya ditemani oleh para asisten rumah tangga serta tukang kebun yang bekerja di sini.

Sesekali, anak - menantu serta cucunya datang menjenguk dan menginap di akhir pekan. Tampaknya, mereka adalah orang-orang yang cukup sibuk sehingga hanya bisa meluangkan waktu seminggu sekali mengunjungi Oma Eliz.

Aku tidak tahu banyak tentang Oma Eliz, dan aku juga tidak pernah mencari tahu. Prinsipku, di sini tugasku hanya bekerja sebaik-baiknya agar bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan ibu di kampung.

Sudah setahun terakhir, kondisi ibu memang sering sakit-sakitan. Tepatnya, sejak bapakku berpulang. Kepergian bapak seolah membawa semangat hidup ibu ikut pergi juga. Beliau jadi lebih banyak melamun dan tak bersemangat sejak belahan jiwanya pergi.

Bekerja sebagai buruh di perkebunan teh, tentu gajiku tidak mencukupi untuk membiayai pengobatan ibu serta memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

Sebetulnya aku masih punya saudara laki-laki, ya Mas Yadi tadi. Tapi aku tahu, gajinya sebagai buruh bangunan yang kadang kerja kadang enggak, tak bisa diandalkan untuk membantu kami. Apalagi, Mas Yadi juga punya keluarga sendiri yang harus ia biayai.

Karena itu, aku memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai buruh, dan bekerja di ibukota sebagai ART sekaligus 'nanny' bagi Oma Eliz. Gaji yang diberikan jauh lebih besar dari saat aku bekerja di perkebunan teh, dulu dan bisa kugunakan untuk membiayai perawatan ibu serta memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

"Oma, setelah ini saya ijin sebentar ke ATM ya," ijinku pada Oma Eliz saat menyuapinya makan.

"Mau kirim uang lagi? Perasaan, baru minggu kemarin kamu gajian. Kamu belum kirim?" Oma Eliz bertanya sambil menatapku.

"Minggu lalu sudah saya kirim ke kampung, Oma. Tapi tadi kakak ipar saya telepon, dia bilang ibu saya sakit," jawabku apa adanya.

Oma Eliz tampak menghela napas. Hatiku khawatir, takut beliau tak senang karena aku ijin pergi ke ATM.

"Sesekali pulanglah ke kampungmu, Ris. Tapi jangan beri tahu keluargamu di sana. Lihat, apakah betul saudaramu itu mengurus ibumu dengan baik," kata Oma Eliz setelah jeda hening yang cukup membuat jantungku berdebar-debar.

"Kenapa, Oma? Saya nggak akan dipecat kan, Oma?" tanyaku was-was. Aku benar-benar takut kehilangan pekerjaanku di rumah ini.

Bibir yang dihiasi keriput milik Oma Eliz menyunggingkan senyum hangatnya yang biasa. Cukup untuk menepis kekhawatiranku barusan.

"Tidak, Riris. Mana mungkin saya memecat karyawan sebaik kamu. Saya memintamu melakukan itu karena takut kamu hanya sedang dimanfaatkan oleh keluargamu, Ris. Dan lagi, apa kamu nggak kangen sama ibumu di kampung? Sesekali jenguklah dia, lihat kondisinya dengan mata kepalamu sendiri, Riris," jawab Oma Eliz.

Deg.

Perasaan tak nyaman menghinggapi hati ini dalam sekejap. Kenapa Oma Eliz bisa berpikir seperti itu? Benarkah Mbak Vita selama ini memanfaatkan uang yang aku kirim untuk ibu?

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now