Part 8

988 27 0
                                    

Riris tengah membersihkan dedaunan kering dari pohon arsen yang tumbuh subur di halaman depan rumah Oma Eliz yang luas ketika sebuah mobil sedan mewah memasuki halaman.

Riris menghentikan sejenak aktivitasnya demi melihat siapa yang datang.

Mobil berwarna hitam itu kini telah benar-benar berhenti di halaman. Tak lama, pintu mobil dari sisi kemudi terbuka. Seorang laki-laki dengan postur tinggi menjulang memakai kemeja putih yang bagian lengannya digulung, terlihat keluar.

Sejurus pandangan Riris dan pria itu bertemu. Riris merasa asing dengannya karena ini adalah pertama kalinya dia datang berkunjung ke sini.

"Ares? Kamu sudah datang?"

Suara di belakang Riris membuat gadis itu menoleh. Rupanya Oma Eliz dan kursi rodanya sudah berada di situ.

Riris sedikit menepi, lalu menunduk dalam dengan gagang sapu di tangan saat Ares berjalan mendekat, menaiki undakan tangga dan tiba di teras.

"Apa kabar, Oma?" Pria itu sedikit membungkuk ketika memeluk neneknya.

"Seperti biasa, Ares. Oma-mu ini masih bernapas hingga hari ini saja sudah bersyukur." Oma Eliz terkekeh, seakan yang diucapkannya barusan adalah hal yang lucu.

"Dan Oma akan terus bernapas sampai seribu tahun lagi," ujar Ares sembari berdiri.

"Mana Vivian? Dia tidak ikut?" Oma Eliz menanyakan istri dari cucunya tersebut.

"Dia akan menyusul ke sini. Besok." Ares menjawab.

Nada enggan dalam suaranya barusan membuat siapa pun yang mendengar pasti bisa menebak bahwa hubungan pria itu dengan istrinya sedang ada masalah.

"Kamu." Ares tiba-tiba beralih pada Riris yang sejak tadi berdiri mematung.

"I-iya, Tuan." Riris menjawab gugup karena terkejut.

"Tolong bawakan barang-barangku dari dalam mobil ke kamar." Ares berkata dengan nada biasa saja kepada Riris. Namun gadis desa itu merasa dirinya seolah sedang diintimidasi oleh suara Ares yang dalam.

Tanpa bicara lagi, Riris langsung mengerjakan apa yang diminta oleh Ares. Sedangkan Ares segera mendorong kursi roda Oma-nya masuk ke dalam rumah.

"Bagaimana kabar orangtuamu? Bisnismu?" Oma Eliz bertanya saat keduanya duduk berhadapan di meja makan. Secangkir kopi dihidangkan oleh Mbak Sumi untuk Ares.

"Mama dan papa baik-baik saja, Oma. Mereka titip salam, dan berkata akan datang berkunjung ke sini awal bulan depan. Dan mengenai bisnis, aku sedang berencana untuk memindahkan kantor pusat ke Jakarta. Jadi, kemungkinan besar aku akan pindah dan tinggal di kota ini," jawab Ares.

Ucapannya terhenti kala ia menyeruput kopinya. Mendengar jawaban Ares, sepasang mata tua di hadapannya itu memancarkan sorot penuh binar bahagia.

Harapan agar cucu kesayangannya itu agar sering-sering datang menjenguk, tentu semakin besar. Ares paham itu. Paham bahwa sang nenek selama ini sebenarnya hidup dalam kesepian.

Semua serba ada di sini, apa pun yang oma-nya inginkan sudah terpenuhi. Hanya kasih sayang serta hangatnya sebuah keluarga yang tidak ia miliki. Sesuatu yang seharusnya menemaninya di masa tua.

"Kamu tidak usah lagi membeli rumah kalau jadi pindah ke kota ini, Ares. Tinggal lah di sini. Terlalu banyak kamar kosong di rumah ini, Ares," ucap Oma Eliz pada cucunya.

Pria dengan iris mata kecokelatan itu tersenyum, tapi tidak sampai ke matanya. Seakan ada yang tengah mengganjal dalam pikirannya.

***

"Setiap sebelum tidur, kamu buatkan Ares susu hangat ya, Ris. Itu sudah menjadi kebiasaannya sejak masih kecil dulu." Oma Eliz berkata pelan kepada Riris saat mereka hanya berdua di taman belakang rumah.

Sambil duduk di atas kursi roda, wanita paro baya itu tengah asyik menggunting batang bunga mawar yang akan dijadikannya pajangan di kamarnya. Beberapa batang mawar merah telah ada di atas pangkuannya.

Riris yang berada di belakangnya sambil memegangi pegangan belakang kursi roda Oma Eliz, hanya mengiyakan. Tak ada alasan baginya untuk mendebat, meskipun terkesan janggal pria seumuran Ares masih minum susu hangat sebelum pergi tidur.

"Oma tahu Ares tidak bahagia dengan pernikahannya bersama Vivian." Oma Eliz tiba-tiba bertutur mengenai kehidupan pribadi cucunya.

"Bukan salah keduanya, tapi salah kedua orang tua mereka masing-masing yang sejak awal terlalu memaksakan kehendak dengan dalih anak harus berbakti kepada orangtua," lanjut Oma Eliz lagi.

"Para orangtua terkadang lupa, bahwa sejatinya anak adalah amanah dari Allah. Anak adalah titipan, bukan milik mereka sepenuhnya yang bisa dikekang dan diatur semau mereka. Sering kali seorang anak dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan, tanpa memikirkan perasaan anak itu sendiri."

Oma Eliz berhenti sejenak untuk menghela napas. Sementara Riris hanya mendengarkan tanpa tahu harus menimpali apa.

Setelah dirass cukup dengan bunga mawar yang dipetiknya, Riris pun mendorong kursi roda Oma Eliz masuk ke dalam dan membantu menyusun bunga-bunga mawar tersebut ke dalam vas kaca, lalu meletakkanya di atas meja di bawah jendela kamar Oma Eliz.

Suasana makan malam kali ini terasa berbeda. Oma Eliz lebih banyak bicara dan tertawa sejak hadirnya Ares. Ruang makan yang biasa hanya diisi oleh Oma, Riris, serta Mbak Sumi, kini terasa lebih hidup dengan hadirnya sosok tampan yang duduk berseberangan dengan Riris.

Sesekali tatapan tajam pria itu bertemu dengan mata Riris tanpa sengaja. Riris rasanya begitu segan dan tak nyaman duduk di sini. Perasaan gadis itu tak enak, padahal Ares sendiri terlihat biasa saja.

"Ris, kenapa makananmu sedikit sekali, Nduk? Kau sakit?" Oma Eliz bertanya dari seberang meja.

"Tidak, Oma. Hanya saja ... saya tidak terlalu lapar," jawab Riris sambil menatap majikannya itu.

"Oh ... begitu. Oma pikir kamu sakit." Oma Eliz bergumam, lalu kembali makan sembari melanjutkan pembicaraan dengan cucunya.

Usai makan malam, Riris dan Mbak Sumi segera membereskan meja. Sementara Mbak Sumi mencuci piring bekas peralatan makan, Riris membuatkan teh melati tanpa gula untuk Oma Eliz, dan secangkir kopi susu untuk Ares.

"Lain kali tolong buatkan aku kopi saja. Tanpa gula, creamer, apalagi susu." Ares berkata saat melihat minuman yang dihidangkan untuknya.

"Oh, maaf, Tuan. Kalau begitu, biar saya ganti," ucap Riris dengan rasa bersalah.

"Tak apa. Karena kamu nggak tahu kan, sebelumnya, jadi akan tetap saya minum," balas Ares.

Riris menatap Oma Eliz, lalu dengan isyarat yang diberikan oleh wanita berkacamata tersebut, Riris pun berlalu masuk ke dalam, membiarkan sepasang nenek dan cucu tersebut menghabiskan waktu berdua di teras depan.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now