Part 4

1.1K 26 1
                                    

Ada kebimbangan tersendiri dirasakan Riris usai berbicara dengan ibunya di telepon tadi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal perasaan, tapi itu entah apa.

Antara ibu dan anak, pasti memiliki chemistry yang kuat. Feelingnya mengatakan bahwa ibu tidak sedang baik-baik saja di sana. Bukan sakit seperti yang dikatakan Vita, kakak iparnya, tapi lebih dari itu.

Untuk mengusir dugaan serta was-was dalam hati, Riris pun menyibukkan diri dengan pekerjaan di rumah majikannya. Gadis berambut panjang itu mulai bersih-bersih dapur dan area belakang rumah, meski itu bukan bagian dari pekerjaannya di rumah ini.

"Ris, dipanggil Oma Eliz," tegur suara di belakangnya, membuat Riris yang tengah mengepel lantai dapur, menoleh. Mbak Sumi, rekan sesama pekerja di sini, berdiri sambil menatapnya.

"Sini, biar tak lanjutin," ujar Mbak Sumi lagi, lalu mengambil alih gagang pengepel lantai dari tangan Riris.

Riris mencuci tangannya cepat di wastafel, kemudian mengeringkannya dengan kain handuk kecil yang tergantung di atasnya. Baru setelah itu Riris pergi menemui Oma Eliz yang tengah berada di ruang perpustakaannya.

Wanita sepuh itu memang punya hoby membaca sejak jaman masih belia. Namun sekarang, mata beliau sudah tidak bisa lagi diajak kompromi untuk membaca tulisan dengan huruf kecil-kecil. Karena itu ia biasanya akan meminta bantuan Riris untuk membacakan sebuah buku untuknya.

Tadinya, Riris pikir Oma Eliz akan memintanya membacakan buku seperti biasa. Namun ternyata ia salah. Wanita itu hanya meminta Riris merapikan kamar tamu karena nanti sore cucunya yang baru kembali dari luar negeri akan datang menginap bersama istrinya di rumah Oma Eliz.

"Baik, Oma. Saya kerjakan sekarang," ucap Riris santun.

"Riris, tunggu sebentar," ujar Oma Eliz menahan langkah Riris.

"Iya, Oma."

"Ini, ambil lah." Tangan Oma Eliz terulur, menyerahkan sehelai amplop yang entah apa isinya kepada Riris.

"Apa ini, Oma?" Riris bertanya sambil menerima amplop tersebut ragu-ragu.

"Saya tahu uang kamu telah habis karena semua kamu kirim untuk ibumu di kampung. Itu ada sedikit dari saya. Peganglah, gunakan untuk keperluan kamu sehari-hari selama di sini sambil menunggu bulan depan."

Lidah Riris terasa kelu mendengar ucapan wanita berhati malaikat yang duduk di kursi roda di depannya. Kedua mata Riris terasa panas saking terharu atas kebaikan Oma Eliz.

"Terima kasih, Oma. Tapi, ini nanti potong saja dari gaji saya bulan depan, Oma. Saya nggak enak ...," ucap Riris lirih.

"Gampanglah itu, Ris. Yang penting kamu pegang saja dulu uang itu. Dan lain kali, pinter-pinterlah dalam mengelola gajimu, Nak. Oma tidak melarangmu untuk berbakti kepada orangtua, tapi pastikan dulu kalau memang benar ibumu yang menikmati jerih payahmu." Oma Eliz tersenyum di akhir kalimatnya.

"Iya, Oma. Terima kasih atas nasehatnya. Bulan depan saya ijin pulang kampung boleh ya, Oma. Nggak lama, kok. Palingan cuma dua hari saja," balas Riris.

"Iya, Oma ijinkan. Sudah sana, kerjakan perintah Oma yang tadi. Ares nggak suka tempat yang berantakan, apalagi kamar. Jadi tolong pastikan kamu membersihkan kamar tamu dengan benar ya, Ris," ujar Oma Eliz yang langsung diiyakan oleh Riris.

Gadis itu kemudian pamit keluar. Perasaannya masih dipenuhi oleh haru atas kebaikan Oma Eliz kepadanya. Sebelum membersihkan kamar tamu terlebih dahulu Riris menyimpan amplop berisi uang pemberian Oma Eliz tadi di lemari pakaian dan menguncinya.

Bukan karena Riris tidak percaya pada Mbak Sumi, rekan kerjanya. Tapi Riris teringat pesan ibunya untuk selalu berhati-hati. Mencegah lebih baik, begitu bunyi nasehat ibu.

***

"Kamu kenapa sih, Vit, marah-marah terus sama ibuk? Kalau tetangga tahu, itu bukan karena ibuk, melainkan karena kamu sendiri yang suaranya kemana-mana. Jadi pada denger sekampung," omel Yadi begitu Vita kembali ke kamarnya.

"Apaan sih, Mas? Bela terooss ... sana ibumu itu." Vita merasa tak senang dengan ucapan suaminya barusan yang terkesan lebih membela ibu mertua ketimbang dirinya.

"Bukannya belain, tapi kamu juga mestinya kontrol suara dan sikap kamu. Gimana nanti kalau ada tetangga yang cerita ke Riris saat dia pulang nanti? Bisa berabe," ujar Yadi membalas ucapan istrinya.

"Nanti ya nanti, dipikirinnya nanti. Ngapain dipikirin sekarang? Ribet amat hidup kamu. Lagian, aku nggak takut sama adik kamu. Yakin aku kalau si Riris itu nggak akan berani marah. Coba aja dia berani marah, memangnya siapa yang akan mengurusi rumah ini sama ibumu yang sakit-sakitan itu?"

Vita mengoceh panjang lebar, sedangkan Yadi yang memang sejak dulu tergolong suami takut istri, hanya bisa diam. Semakin diladeni, istrinya akan semakin menjadi, dan Yadi adalah tipikal orang yang malas ribut.

"Mau ke mana?" Yadi bertanya ketika Vita berbalik dan hendak ke luar kamar.

"Mau ke depan gang. Jajan bakso. Di rumah ini empet aku. Nggak kamu, nggak ibumu, bikin aku darah tinggi terus!" Vita mendengkus, kemudian keluar tanpa mempedulikan lagi suaminya.

"Sendirian aja, Mbak?" Mas Karyo, si pemilik warung bakso menyapa Vita yang baru tiba di kedai baksonya.

"Iya, sendiri. Pesen kayak biasa, Mas. Banyakin daging cincangnya, ya," sahut Vita, lalu mengeluarkan ponselnya, melarutkan diri dalam dunia maya melalui jejaring medsosnya.

Tak sampai lima menit, semangkuk bakso dengan aroma yang menggoda, tersaji di hadapannya.

"Minumnya apa, Mbak?" tanya Mas Karyo lagi, karena Vita belum memesan minuman.

"Teh es aja, Mas." Vita menjawab cepat. Perutnya yang sejak tadi menahan lapar, langsung gemuruh melihat penampilan bakso yang begitu menggugah selera.

Diletakkannya ponsel, lalu menuang saos, sambal, dan kecap ke dalam mangkok baksonya. Liur Vita hampir tumpah-tumpah saat mengaduk baksonya.

Tanpa membaca doa lebih dulu, perempuan berambut panjang itu langsung mengeksekusi makanannya.

"Permisi, Mbak," ucap Mas Karyo sopan saat meletakkan segelas teh es di meja Vita.

Entah karena terlalu terburu-buru saking laparnya, atau karena terlalu bersemangat menikmati baksonya, tiba-tiba seluruh gerakan tubuh Vita terhenti.

Kedua mata perempuan itu melotot dengan ekspresi terkejut ketika merasakan sesuatu menyumbat di tenggorokannya. Rupanya Vita keselek bakso urat yang tadi langsung ditelan tanpa dikunyah terlebih dulu.

Tangan perempuan itu menggapai-gapai, seolah ingin memanggil Mas Karyo yang tengah sibuk mencuci mangkok bakso bekas pelanggan yang lain makan tadi, sementara mulutnya megap-megap, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Wajah Vita memerah, ia mulai kesulitan bernapas karena bakso yang menyumbat di kerongkongannya masih belum bisa ia keluarkan.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now