Part 10

970 30 0
                                    

Hari-hari yang dilalui Vita rasanya tak tenang sejak pertengkarannya dengan Yu Naroh beberapa waktu yang lalu. Semua tetangga seakan ikut memusuhinya. Selalu mencibir dan memasang wajah sinis tiap kali berpapasan dengan Vita secara tak sengaja.

Diperlakukan seperti itu, Vita jadi uring-uringan. Wanita itu jadi malas ke luar rumah. Ujungnya, Bu Supiah lah yang selalu menjadi pelampiasan kekesalan menantunya.

Apa saja yang dilakukan oleh wanita sepuh itu selalu salah di mata Vita. Makanan keasinan lah, suara televisi berisik lah, menyapu lantai kurang bersih, dan segala macam lainnya.

Jika banyak dikisahkan menantu perempuan tak akur dengan ibu mertua karena menantu dizalimi maka yang terjadi antara Vita dan Bu Supiah adalah sebaliknya. Menantu yang menzalimi ibu mertua.

"Sumpek!" keluh Vita sembari menghempaskan bokong di atas sofa yang mengelupas kulitnya di sana-sini.

Di sebelahnya, Yadi terlihat asyik menyaksikan acara dangdut favoritnya di televisi. Laki-laki itu melirik sekilas istrinya yang berwajah masam, lalu kembali abai karena lenggak lenggok biduan berpakaian ketat yang tampak di layar kaca lebih menarik baginya ketimbang wajah cemberut sang istri.

Plak!

Paha kiri Yadi dipukul keras oleh Vita, membuat laki-laki itu terkaget hingga remote televisi di tangan pun terlepas dan jatuh ke lantai.

"Apa-apaan sih kamu, Vit? Ngagetin aja!" Yadi terlihat kesal dengan ulah istrinya barusan.

"Kamu tuh nggak peka emang, ya! Istri ngeluh tuh mbok ya tanyain kenapa, kek. Bukannya malah asyik nonton TV!" sembur Vita garang. Menciutkan nyali Yadi dalam sekejap.

"Kamu sendiri yang marah-marah, orang lain yang disuruh tanya. Sudahlah, nanti cepat tua kamu kalo marah-marah terus." Yadi berseloroh pelan.

"Aku tuh sumpek. Duit udah menipis, belum lagi tetangga-tetangga pada rese'." Vita kembali mengeluh. Kedua tangannya terlipat di dada dengan bibir manyun cemberut.

"Emangnya, uang yang dikirim sama Riris kemarin, udah habis?" selidik Yadi.

"Ya masih, tapi itu tadi tinggal dikit. Nggak bakal cukup sampe akhir bulan ini kayaknya. Kamu tuh coba cari kerjaan tambahan, Mas. Gaji cuma dua juta sebulan aja pasrah. Ini aku juga perlu duit loh, buat bikin gigi palsu!"

Vita menatap suaminya yang hanya menghela napas pelan.

"Kamu pikir cari kerjaan tuh gampang? Coba kalo kamu lebih hemat, pasti cukup lah buat memenuhi kebutuhan kita. Apalagi, ada uang tambahan yang rutin dikirimin sama Riris," ujar Yadi.

"Apa kamu bilang tadi, Mas? Hemat? Enak aja kamu ngomong, ya. Harusnya kamu mikiiirrrr ...." Vita mendorong pelipis suaminya menggunakan jari telunjuk.

"Jangan malah istri yang disuruh hemat. Kerja sana kamu mati-matian!" Vita berdiri, lalu melempar wajah Yadi dengan bantalan sofa dan langsung masuk ke dalam kamar.

Selalu begitu pelarian Vita jika sedang marah. Masuk kamar dan mengunci diri.

***

Menatap cermin, Vita meringis melihat celah di antara deretan gigi depannya. Dalam hati, perempuan itu tak hentinya mengutuk Yu Naroh yang telah membuat dua buah gigi depannya copot.

"Benar-benar merusak penampilan! Masa tiap ke luar aku mesti pake masker terus. Mau pasang gigi palsu duit nggak punya." Vita berbicara pada dirinya sendiri.

Wanita bertubuh sedang itu tengah menghitung hari dengan jarinya. Masih kurang lebih seminggu lagi adik iparnya, Riris, mengirim uang bulanan.

"Ah, kelamaan!" Vita mendecak sebal. Tak tahan rasanya melihat penampilan sendiri di cermin.

Perempuan itu kemudian memutuskan ke luar kamar. Ia merasa sedang butuh udara segar. Saat menutup pintu kamar, tanpa sengaja mata Vita melirik ke dalam ruang tidur ibu mertua yang bersebelahan dengannya.

Ruangan itu tampak kosong. Entah ke mana ibu mertuanya, Vita tak terlalu peduli. Ia kemudian berjalan memasuki kamar Bu Supiah, diam-diam layaknya seorang pencuri.

Vita kini berada di depan sebuah lemari kayu usang yang digunakan sebagai lemari pakaian milik ibu mertuanya. Lemari jati itu memang sudah tua, tapi tidak lapuk termakan usia.

Perlahan tangan Vita terulur meraih handel pintu lemari, lalu membukanya perlahan. Rak-rak berisi tumpukan pakaian yang terlipat rapi tampak oleh Vita.

Melihat ke arah pintu, dan merasa aman karena tak ada tanda-tanda ada orang lain selain dirinya di sini, Vita pun mulai menggeledah isi lemari ibu mertuanya. Berharap bisa menemukan sesuatu yang berharga yang bisa ia jadikan uang.

Satu per satu rak pakaian Vita periksa bagian bawahnya. Hingga tiba giliran rak teratas yang diperiksa, tangan Vita terasa meraba sesuatu di dasar rak tersebut. Pelan ia menariknya ke luar, ternyata sebuah kantung kain dengan serutan di bagian atas.

"Apa ini?" gumam Vita sendiri.

Tangannya bergerak membuka kain serut tersebut, dan terpelongo kaget melihat isinya. Tampak beberapa perhiasan emas di dalam kantung serut tersebut.

Saat Vita hendak mengeluarkan isinya agar dapat dilihat dengan jelas, tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menahan tangan Vita sekaligus mengagetkan perempuan itu.

"Apa yang kamu lakukan di kamar Ibuk?" Bu Supiah menatap menantunya dengan tatapan tajam yang menghujam.

Tak pernah melihat ibu mertuanya bersikap berani seperti itu, membuat Vita sedikit merasa was-was.

"Eh ... aku cuma lihat-lihat saja, kok. Memang nggak boleh?" Vita berkata dengan nada sedikit keras sekadar untuk menutupi gugup di hatinya.

"Tolong hargai batasannya, Vita. Kamar ini bukan wilayah kamu," tegur Bu Supiah.

Tangan wanita paro baya itu kemudian merebut kantung serut dari tangan Vita, membuat menantunya sampai terpelongo bengong tak percaya ibu mertuanya punya nyali sebesar itu untuk melawan dirinya.

"Emang apa isinya sih, Bu? Ibu diem-diem rupanya punya tabungan, ya?" Vita menatap sinis Bu Supiah yang tengah menahan geram dalam hati atas kelancangan sang menantu.

"Keluar dari kamar Ibuk, dan jangan pernah kamu masuk ke rumah ini tanpa ijin," usir Bu Supiah dengan suara pelan.

Vita mendengkus kesal, namun akhirnya mengalah dan ia pun segera keluar dari kamar ibu mertuanya.

"Awas saja nenek tua itu. Lihat saja, nanti tak ambil semua itu mas-masannya. Habis itu kujual ke pasar toko mas. Dasar pelit. Udah tua juga masib mau nyimpen-nyimpen. Paling bentar lagi juga mati!" Vita mengumpat sendiri di dalam kamarnya dengan perasaan jengkel.

***

"Sudah siap semua barangmu, Ris?" Suara dari ambang pintu membuat Riris menoleh.

Gadis berlesung pipi itu mengangguk seraya tersenyum kepada Oma Eliz. Tak hentinya Riris berterima kasih sebab majikannya itu memberi gajinya lebih awal supaya Riris bisa pulang lebih cepat ke kampung halaman.

"Insya Allah sudah, Oma," jawab Riris lembut.

Tas hitam berisi pakaian miliknya telah siap. Sebentar lagi juga taksi yang akan mengantar Riris ke terminal bus antar kota akan segera tiba.

Tak sabar rasanya Riris ingin pulang. Kembali menjejakkan kaki di kampung halaman, tanah kelahirannya.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now