Part 9

1K 29 0
                                    

Yu Naroh menatap puas saat Vita masuk ke dalam rumah, meninggalkan cucian kotornya di dalam baskom.

"Bu Supiah, jangan dicuciin itu bajunya si mantu kurang ajar. Biar dia cuci sendiri. Enak aja udah numpang tinggal, numpang makan, numpang ngembat duit kiriman Riris, masih aja dimanjain. Bu Supiah mesti tegas biar ndak diinjak-injak sama menantu sendiri."

Yu Naroh berkata panjang lebar pada Bu Supiah yang hanya tersenyum tak nyaman. Meskipun ucapan Yu Naroh terdengar menyakitkan, tetapi memang begitu kenyataannya.

"Kalau saya punya menantu kayak si Vita itu udah tak pites, tak bejek-bejek. Biar kapok!" lanjut Yu Naroh seakan belum puas meluapkan kekesalannya pada menantu Bu Supiah itu.

"Inggih, Yu. Matur nuwun sarannya. Doakan saja supaya Vita bisa berubah. Kulo (saya) ijin masuk ke dalam sek, Yu," ucap Bu Supiah sembari melempar senyum tak nyaman pada tetangganya tersebut.

Yu Naroh mengangguk mengiyakan, lalu menghela napas ketika punggun yang sudah agak bungkuk milik Bu Supiah menghilang di balik pintu belakang rumahnya.

"Mas, cuci tuh baju kotor di belakang!" Vita memberi perintah pada suaminya yang sedang asyik rebahan sambil memainkan gawainya.

"Biasanya juga ibuk yang nyuciin," sahut Yadi malas.

"Ibukmu sekarang udah ada herdernya, Mas. Udah nggak bisa lagi disuruh-suruh!" sahut Vita ketus.

"Herder? Maksudnya gimana, Vit?" Yadi bangkit dan menghentikan sejenak permainan game di ponselnya.

"Itu, si Munaroh! Udah kayak demit aja dia nongol di mana-mana. Tadi dia marahin aku waktu nyuruh ibuk nyuciin baju kotor kita. Dasar tetangga rese'!" adu Vita kesal.

"Udah sana, kamu yang cuci. Kalau ibumu udah nggak bisa disuruh buat nyuci, ya kamu lah yang harus melakukannya!" lanjut Vita.

Ditariknya tangan Yadi hingga laki-laki itu berdiri, lalu mendorongnya ke luar kamar. Mau tak mau, dengan terpaksa Yadi pun mencuci semua pakaian kotor miliknya dan Vita, termasuk pakaian dalam istrinya tersebut.

***

"Buatkan aku bubur, Buk. Mulutku masih sakit ini, nggak makan yang keras-keras." Vita berkata pada Bu Supiah yang tengah melipat pakaian kering yang baru diangkat dari jemuran.

Wajah tua yang dipenuhi gurat lelah itu menatap menantunya. Tapi seperti biasa, Vita sama tak pernah memiliki belas kasih pada ibu mertuanya tersebut.

"Kenapa Ibuk melotot-lotot gitu ke aku? Nggak terima, dimintain tolong bikinin bubur?" sentak Vita garang.

"Apa lagi, Vit?" Yadi yang baru saja keluar dari kamar, menatap ibu serta istrinya bergantian.

"Ini, ibukmu. Orang aku cuma minta tolong buatin bubur buat aku, kok, malah melotot nggak terima gitu. Ini mulut sama gusi aku masih sakit, jadi nggak bisa makan nasi atau makanan yang keras-keras dulu," lapor Vita, berharap pembelaan dari Yadi, suaminya.

"Sudah, jangan suruh ibuk. Kamu lihat, lipatan cucian aja belum selesai. Biar aku beliin aja buburnya di gang depan," ujar Yadi. Ada rasa tak tega yang mendadak muncul di hatinya ketika melihat raut wajah sang ibu yang tampak begitu lelah.

"Hmm ... ya udah, terserah kamu, lah!" tukas Vita kemudian berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar.

***

"Mas, buburnya satu," pesan Yadi pada penjual bubur yang selalu mangkal di depan gang.

"Siap, Mas," jawab Mbak Mirah, si penjual bubur dengan nada ramah.

"Beli bubur juga, Yad?" Seseorang menyapa Yadi dari arah belakang, membuat laki-laki itu segera berbalik.

Punggung Yadi menegang seketika ketika tahu siapa sosok yang menyapanya barusan. Mas Tomo, suaminya Yu Naroh sekaligus tetangga rumahnya. Tampak Yu Naroh juga menyertai suaminya.

"Inggih, Mas. Beli buat istri saya," jawab Yadi. Tampak segan terhadap lelaki bertubuh tinggi tegap di hadapannya meskipun usia Mas Tomo sudah menginjak angka lima puluh.

"Belinya cuma satu aja? Buat ibukmu ndak sekalian, Yad?" Yu Naroh menyeletuk. Membuat Yadi merasa makin tak nyaman. Menghadapi pasangan suami istri ini, membuat Yadi rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat ini.

"Bu ...." Terdengar Mas Tomo memperingatkan istrinya untuk mengontrol ucapan.

"Ndak apa-apalah, Mas. Orang salah ya kita bantu ingatkan. Eh Yadi, kamu tuh mbok ya jangan mentang-mentang takut sama istrimu, kamu jadi kehilangan kasih sayang terhadap ibu kandung kamu.

Ingat, tanpa ibumu, kamu juga ndak akan jadi apa-apa. Sayang istri itu memang kewajiban setiap suami. Tapi lihat-lihat dulu, Yadi. Jangan terlalu buta seolah kamu ndak melihat apa yang sudah dilakukan sama istrimu!"

Yu Naroh mencerocos tanpa mempedulikan perasaan orang yang diajaknya bicara barusan.

Baginya Yadi memang harus diingatkan. Mereka bertetangga sudah belasan tahun, dari sejak ia baru menikah dengan suaminya dan menempati rumah yang mereka tempati sekarang.

Yadi merasakan wajahnya tiba-tiba memanas. Malu, itu yang dirasakannya saat ini. Yu Naroh memang benar, harusnya Yadi tidak terlalu lembek terhadap Vita. Tak seharusnya ia membiarkan istrinya itu berbuat semaunya, terutama terhadap ibunya.

"Yadi, surga istri itu ada pada suami. Sedangkan surga suami, terletak pada ibunya. Jangan keliru kamu," Mas Tomo ikut berbicara, namun nadanya terdengar lebih santai.

"Inggih, Mas," jawab Yadi pelan.

"Nyuwun sewu, Mas, ini buburnya udah jadi." Mbak Mirah menyela pembicaraan ketiga orang di depannya takut-takut.

Namun bagi Yadi, hal itu bagai sebuah penyelamat untuknya. Penyelamat dari situasi yang membuatnya merasa tak enak karena merasa dipojokkan oleh Yu Naroh serta Mas Tomo.

"Saya pamit dulu, Yu ... Mas," ucap Yadi sopan dan langsung buru-buru pergi.

***

"Permisi, Tuan," ucap Riris pelan seraya mengetuk pelan pintu kamar yang ditempati Ares.

Tak lama, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok wajah yang terpahat nyaris sempurna di hadapan Riris.

"Ada apa?" Ares bertanya. Sepasang mata tajamnya menyorot datar pada gadis di hadapannya yang terlihat gugup.

"Maaf, Tuan. Saya cuma ingin mengantarkan ini," jawab Riris pelan. Mununjukkan nampan dengan gelas berisi susu hangat yang dipegangnya.

Alis Ares yang tebal nan hitam terangkat sebelah saat memandang gelas berisi susu di tangan Riris. Detik berikutnya, pria itu pun paham apa yang terjadi.

"Oma yang menyuruhmu?" tanya pria itu dengan suaranya yang dalam. Riris mengangguk pelan.

Terdengar desahan napas pelan dari mulut pria itu. Ares kemudian mengambil gelas berisi susu tersebut, lalu berkata pada Riris, "lain kali kamu tidak perlu lagi repot-repot membuatkan saya susu hangat. Katakan pada Oma, seleraku bukan lagi seperti ini. Aku bukan anak kecil."

Andai Ares tahu, bagaimana kedua kaki Riris gemetar ketika sorot tajam matanya menghujam gadis itu saat mereka saling bertatapan.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now