Part 6

1K 25 2
                                    

Bu Supiah tak mengatakan apa pun atas apa yang dilakukan menantunya barusan. Bahkan ketika anak lelakinya hanya diam pun, wanita paro baya itu tidak memberi reaksi apa-apa. Bu Supiah menelan semua perih dan sakit hatinya, dan kelak akan ia adukan pada Allah dalam setiap sujudnya.

Ketiganya makan tanpa suara. Namun sesekali Yadi menatap ibunya yang hanya makan dengan sayur penuh iba. Ingin rasanya membagi lauknya kepada sang ibu, namun hal itu hanya akan menjadi masalah baru antara ia dengan istrinya.

Akhirnya Yadi hanya memilih diam. Lelaki itu lebih takut tak diberi jatah malam oleh istrinya, ketimbang membela wanita yang melahirkan dan membesarkannya.

Usai makan malam, Vita pergi melenggang begitu saja. Yadi hendak membantu sang ibu membereskan meja. Tapi pekikan suara Vita yang memanggil dari arah kamar, membuat si kamseupay itu mengurungkan niat dan secepat kilat mendatangi istrinya bak seorang hamba sahaya.

Bu Supiah menghela napas dalam-dalam. Rasa hatinya telah tawar menghadapi sikap anak dan menantunya itu. Tak banyak bicara, wanita yang akhir-akhir ini agak susah berjalan karena penyakit rematik yang dideritanya itu, membawa semua piring dan gelas kotor sisa makanan mereka menuju dapur dan langsung mencucinya.

"Assalamualaiku ... assalamualaikum ...." Seruan suara yang berulang dari arah depan pintu membuat Bu Supiah terpaksa menghentikan kegiatannya sejenak.

Ia membilas tangan yang penuh busa dengan air, kemudian melapnya pada daster usang yang ia kenakan.

"Waalaikumsalam ...." Bu Supiah menjawab salam seraya membuka pintu.

"Eh, kamu, San? Masuk, Nduk," ujar Bu Supiah setelah mengetahui yang datang adalah Santi, anak dari Yu Naroh, tetangga sebelah rumah.

"Ndak usah, Bude. Santi ke sink cuma mau ngenterin bubur kacang ijo saja dari ibuk," tolak Santi sopan. Gadis yang masih duduk di bangku kelas dua SMP tersebut menyerahkan mangkok berisi bubur kacang hijau pada Bu Supiah.

"Sebentar, Bude salin dulu ya, San," ujar Bu Supiah hendak ke belakang untuk menyalin wadah.

"Iya, Bude." Santi menjawab sopan. Gadis itu kemudian memilih duduk di atas kursi kayu yang terletak di teras rumah Bu Supiah.

"Heh bocah, ngapain kamu di sini?" Vita tiba-tiba muncul, mengejutkan Santi yang tengah duduk menunggu Bu Supiah di dalam.

"Ngapain? Aku lagi nunggu Bude Supiah, kok," jawab Santi yang merasa kesal dipanggil bocah oleh Vita. Selain itu, sejak dulu Santi memang kurang suka dengan Vita yang selalu bersikap sombong pada tetangga sekitar.

"Ada urusan apa kamu sama mertuaku?" tanya Vita kepo.

"Yang pasti nggak ada hubungannya sama Mbak Vita," jawab Santi lalu membuang muka.

"Eh, dasar bocah kurang aj*r! Ditanya baik-baik jawabnya nyolot. Nggak diajarin ya sama ibumu, gimana harus bersikap sama yang lebih tua?!" Vita langsung naik pitam. Kedua matanya melotot lebar mengerikan.

"Vita, ada apa kamu marahin si Santi?" Bu Supiah yang mendengar suara ribut di depan, langsung terburu-buru keluar.

Firasatnya tak nyaman, dan benar saja, menantunya itu sedang membuat ulah dengan mengganggu Santi, anak Yu Naroh.

"Ini bocah kurang asem. Ditanya baik-baik malah nyolot. Nggak diajarin nih, sama emaknya!" Vita berkata dengan nada emosi.

"Santi nggak mungkin kayak gitu, Vita. Sudah, jangan bikin ribut. Nggak enak kalau sampai kedengaran sama tetangga. Santi ini datang ke sini buat nganterin bubur kacang," ujar Bu Supiah sambil menyerahkan mangkok Santi yang sudah dicucinya tadi.

"Bilang makasih sama ibukmu ya, Nduk," ujar Bu Supiah lembut pada Santi. Gadis remaja itu lalu pamit pulang walau dengan hati dongkol. Dalam hatinya gadis itu berjanji akan mengadukan Vita kepada ibunya.

Begitu sampai di rumah, Santi pun langsung mengadukan perbuatan serta ucapan Vita yang menyakitkan hati kepada ibunya. Mendengar hal itu, tentu saja Yu Naroh seketika menjadi berang.

Mengenakan hijab ala kadarnya, perempuan berusia empat puluh itu langsung mendatangi rumah Bu Supiah yang bersebelahan dengan rumahnya. Hanya dipisahkan oleh semeter tanah yang sengaja dikosongkan sebagai jarak.

Kebetulan, saat itu Vita hendak keluar bersama Yadi, suaminya untuk membeli cemilan. Melihat kedatangan Yu Naroh yang bak hendak mengajak berperang sambil meneriakkan namanya, membuat Vita yang sudah naik ke atas boncengan terpaksa turun.

"Ngomong opo kowe karo anakku, hah?!" serang Yu Naroh tanpa basa-basi.

"Oh ... udah ngadu anakmu?" balas Vita tanpa rasa takut.

"Jaga mulutmu ya, Vit. Jangan sampai tak sobek-sobek cangkemu!" Yu Naroh tak sekadar menggertak. Tangannya benar-bebar gatal ingin memberi tetangganya itu pelajaran.

"Memang kenyataan kalau Yu Naroh nggak bisa mendidik anak. Buktinya, si Santi kelakuannya kayak gitu. Kalau dididik dengan bener, nggak mungkin jadi anak kurang aj*r!" sahut Vita tak kalah emosi.

"Kamu nggak ngaca ya, jadi orang. Memangnya kelakuanmu sendiri gimana, Vita? Aku rasa dulu juga kamu nggak diajarin tata krama sama orangtuamu. Kamu sendirinya kurang aj*r sama mertua padahal cuma numpang!" balas Yu Naro sadis.

Amarah Vitas langsung naik ke ubun-ubun. Perempuan berambut sebahu itu langsung menarik jilbab yang dipakai oleh Yu Naroh hingga terlepas. Mendapat serangan, tentu saja Yu Naroh tidak mau tinggal diam.

Perempuan itu balas menja*b*k rambut Vita, menariknya kuat hingga banyak helai rambut yang tercerabut di tangannya. Perkelahian pun tak dapat dihindarkan. Jika Vita mengira tubuh kecil Yu Naroh akan mudah ditaklukan, maka dia salah besar.

Nyatanya, Yu Naroh lebih gesit dan beringas. Tak hanya membuat kepala Vita nyaris botak, wanita itu juga menc*k*r wajah lawannya, mengenai pipi Vita. Perempuan itu menjerit kesakitan, tapi suaminya hanya bisa menonton, bingung harus berbuat apa.

Mendengar suara ribut-ribut, para tetangga pun berkeluaran, dan segera berusaha memisahkan Yu Naroh serta Vita. Namun sebelum dipisahkan, Yu Naroh sempat menabok mulut Vita berkali-kali hingga dua buah gigi depannya pun tanggal.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang