Part 2

1.2K 33 0
                                    

Setelah menyuapi makan Oma Eliz, Riris pun langsung pamit ke luar untuk pergi ke ATM. Kebetulan, tak jauh dari gerbang komplek ada mini market yang di dalamnya juga terdapat gerai ATM.

Dengan terpaksa, gadis berambut panjang sebahu itu mengirim sisa uang yang ia punya ke rekening abangnya, Yadi, dan hanya menyisakan lima puluh ribu rupiah saja di dalam tabungan agar saldonya tidak nol sama sekali.

Pikir Riris, biarlah bulan ini gajinya habis dulu ia kirim ke kampung. Sebab, tidak mungkin juga dia pulang kampung sekarang. Sisa uang lima puluh ribu tadi, mana cukup untuk ongkos ke Jogja.

Nantilah, pada saat ia gajian. Sekalian Riris ingin membuktikan kecurigaan Oma Eliz yang disampaikannya tadi.

Setelah selesai mentransfer uang, Riris langsung pulang ke rumah majikannya. Gadis berkulit langsat itu mengangguk sopan seraya tersenyum kala melewati pos jaga satpam depan komplek.

Para security tersebut saling sikut mendapat senyum manis dari Riris. Gadis itu memang ayu, kerap menjadi sorotan tiap kali ia ke luar melewati gerbang pengamanan.

Sesampainya di rumah, Riris pun segera memberi kabar kepada kakak iparnya, Vita, bahwa ia telah mentransfer sejumlah uang untuk pengobatan ibunya melalui sambungan telepon.

"Iya, Ris. Makasih, ya. Nanti sore setelah Mas Yadi pulang kerja, kami akan membawa ibu pergi berobat ke dokter." Suara Vita terdengar ramah lagi riang di ujung sana. Sungguh jauh berbeda dengan tadi ketika menghubungi Riris meminta uang.

"Mbak, kalau boleh, bisa aku bicara dengan ibu? Aku kangen ibu, Mbak. Pengen denger suaranya," pinta Riris penuh harap.

"Oh ... ehm, itu, Ris. Ibu sedang tidur di kamarnya. Mbak nggak enak loh, mau bangunin. Wong baru aja istirahat, kok," jawab Vita sedikit gugup, membuat Riris sedikit mengerutkan keningnya.

"Gitu ya, Mbak? Ya sudah, nanti sore aku telepon lagi. Bilang ibu kalau aku mau ngomong ya, Mbak," ujar Riris mengalah.

"Hmm ... ya, Ris. Oke," jawab Vita. Hati Riris sedikit lega. Barangkali benar kalau saat ini ibunya sedang tidur. Yang penting nanti sore Riris bisa bicara dengan ibunya.

Gadis itu kemudian menutup telepon, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Habis ngomong sama siapa, Vit?" Yadi yang baru saja pulang dari warung depan membeli rokok, bertanya pada istrinya.

Vita sedikit terjingkat kaget, kemudian mengusap dada yang terasa berdebar kencang karena kaget tadi.

"Ngagetin aja kamu, Mas. Barusan aku ngobrol sama Riris, dia bilang udah transfer uang untuk ibu. Yok, anterin aku ke ATM buat ambil uangnya," jelas Vita dengan wajah riang.

"Riris kirim uang lagi? Bukannya minggu kemarin dia baru kirim?" Yadi tampak heran.

"Udah, deh, jangan banyak tanya. Sono, siapin motornya, aku ganti baju bentar. Sekalian kita ke pasar," ujar Vita.

Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Yadi hanya menuruti perintah sang istri. Pria berusia dua puluh enam tahun tersebut kemudian mengambil kunci motor yang tergantung di atas cantolan di dinding, lalu ke luar rumah untuk memanaskan mesin motor.

Tak berapa lama, Vita pun keluar. Daster batik yang ia kenakan tadi, kini sudah digantikan dengan kaos ketat serta celana pendek di atas lutut. Riasan wajah juga tampak dikenakan oleh perempuan berkulit hitam manis tersebut.

"Ayo, Mas, kita berangkat!" Vita berseru riang sambil naik ke atas boncengan motor suaminya.

"Kita cuma mau ke ATM aja kan, ini? Kok kamu pakai dandan segala, sih?" Yadi tampak heran.

"Makanya, ish, kalau orang ngomong tuh dengerin! Tadi kan aku sudah bilang, kita sekalian ke pasar." Vita terlihat gemas pada Yadi yang sering dijulukinya tulalit tersebut.

"Emang ada duitnya mau ke pasar? Baru juga kemarin kamu belanja di Beringharjo, Vit?" tanya Yadi lagi. Makin bingung, sebab ia juga masih lama gajian, dan tak punya banyak uang untuk membelanjai Vita yang banyak maunya.

"Kan ada uang dari adik kamu, si Riris. Dia kirim lima ratus ribu, tadi. Ada notifikasi m-bangking tadi masuk. Ya pakai uang itu, lah. Udah ayok berangkat, sebelum ibumu keluar dan banyak tanya!" Vita memberi perintah sambil menepuk pelan pundak suaminya.

Sepasang suami istri itu pun langsung meluncur meninggalkan rumah. Mereka tidak menyadari, sejak tadi ada sepasang mata senja yang mengintip dari balik jendela dengan tatapan nelangsa.

Bu Supiah menghela napas, lalu mengurut dada melihat tingkah laku menantunya. Vita memang memegang kendali keuangan di rumah ini sejak Yadi membawa istrinya itu tinggal di sini dengan dalih untuk merawat serta mengurus dirinya, sementara Riris pergi bekerja di kota.

Nyatanya, ucapan tidak sesuai dengan praktiknya. Setiap kali Riris mengirim uang hasil kerja kerasnya di kota, selalu digunakan Vita untuk membeli kebutuhan pribadi dan jajannya sendiri.

Andai saja Bu Supiah sedikit saja melek teknologi, ingin sekali rasanya ia menghubungi Riris dan meminta anaknya itu untuk berhenti mengirim uang. Sebagai ibu, tak ikhlas rasanya Bu Supiah melihat menantunya menghamburkan uang hasil keringat Riris.

"Habis mborong, Vit?"

Munaroh, tetangga sebelah rumah Bu Supiah yang biasa dipanggil dengan sebutan Yu Naroh itu menyapa ketika Vita dan suaminya di depan rumah setelah pulang berbelanja.

Melihat banyaknya kantong belanjaan yang dicantolkan di motor, sudah jelas jawabannya.

"Iya, Yu. Biasa, untuk kebutuhan ibuk," jawab Vita sambil melempar senyum pada tetangganya itu.

"Ah, buat kamu atau mertuamu, Vit?" Yu Naroh tersenyum penuh cibiran.

Ya, bukan rahasia lagi jika para tetangga sudah mengetahui perilaku Vita selama ini. Terutama, setiap awal bulan, di mana Riris mengirim uang untuk sang ibu.

Wajah Vita terasa memanas seketika. Ia jengkel terhadap tetangga yang dianggapnya usil itu. Tak lagi sudi berbasa-basi, perempuan itu langsung masuk ke dalam rumah.

"Ibuuuuukkk ...!" Terdengar gelegar suara Vita memenuhi rumah, memanggil ibu mertuanya.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang