Part 14

938 31 0
                                    

Riris menutup pintu rumah setelah abang dan kakak iparnya akhirnya pergi. Para tetangga pun juga ikut membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing.

"Ibuk istirahat, ya. Riris mau bersih-bersih dulu, terus salat isya." Riris berkata pada ibunya yang terlihat lelah.

"Iya, Nduk," jawab Bu Supiah singkat, lalu berlalu ke kamar.

Di dalam kamarnya yang bekas ditempati Yadi dan istrinya, Riris menunaikan salat isya yang tertunda. Wajahnya masih terasa perih sewaktu terkena siraman air ketika berwudhu.

Usai salat, Riris menatap sekitar kamarnya yang terasa sepi. Gadis bertubuh langsung itu duduk di tepian ranjang dengan tatapan menerawang. Sungguh tidak disangka ternyata firasat Oma Eliz waktu itu ternyata benar. Jika tidak karena ucapan Oma waktu itu, tentu Riris akan mengira semuanya baik-baik saja.

Dalam bayangan Riris, selama ini ibunya hidup berkecukupan dengan uang kirimannya setiap bulan. Nyatanya, hanya secuil yang bisa dinikmati oleh ibu. Sisanya, orang lain yang menikmati.

Riris mendesah pelan. Tubuh dan jiwanya lelah. Ia pun kemudian berbaring dan tanpa sadar jatuh tertidur.

***

Sinar matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit Riris yang sedang mendedai pakaian di jemuran belakang rumah.

Sejak subuh tadi ia sudah bangun dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah.

Membersihkan setiap sudutnya, lalu dilanjutkan dengan mencuci pakaian miliknya dan ibu, juga pakaian kotor milik Vita serta Yadi yang masih tertinggal di rumah mereka.

Dari depan pintu dapur, Bu Supiah menatap putri bungsu sekaligus satu-satunya itu dengan perasaan bahagia. Rasanya seperti mimpi, bisa melihat Riris di rumah ini. Semua luka hati akibat perbuatan Yadi dan istrinya, seakan menguap. Berganti kebahagiaan dengan kehadiran Riris.

Setelah selesai menjemur pakaian, Riris lalu masuk ke dalam. Pandangannya dan sang ibu saling bertumbukan sejenak, sebelum keduanya akhirnya saling bertukar senyum.

Riris mendekat, lalu mengambil tangan ibu yang mulai keriput. Gurat lelah terpancar di wajah ibu, menggambarkan betapa berat penderitaan batin yang selama ini dialaminya.

"Harusnya Ibuk kasih tahu Riris yang sebenarnya waktu Riris menelepon waktu itu, Buk," ujar Riris setelah mereka sama-sama duduk menghadap meja makan di dapur.

"Ibuk ndak mau membebani pikiranmu, Nduk. Lagipula, Ibuk diancem waktu itu, Ris ...." Bu Supiah menjawab lemah. Wajahnya berubah murung kala mengenang kejadian waktu itu.

"Apakah Mbak Vita bersikap begitu sejak awal kepindahannya ke rumah ini, Buk?" Riris menatap sang ibu penuh selidik. Bu Supiah mengangguk lemah sebagai jawaban.

Riris menghela napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Rasa bersalah menghantam dadanya. Tak disangka, kepergian yang tujuan awalnya adalah untuk membahagiakan ibu, justru menjadi awal penderitaan ibunya yang terzolimi.

"Ibuk," panggil Riris pelan.

"Iya, Nduk." Bu Supiah menjawab. Sepasang netra tuanya menangkap gurat resah di wajah Riris.

"Ibuk ikut Riris pindah ke Jakarta, mau?" tanya Riris hati-hati. Namun tetap saja, membuat sang ibu langsung terkejut.

"Pindah ke Jakarta, Nduk?" Bu Supiah jelas merasa berat hati.

Seumur hidupnya, ia habiskan di kota ini. Tempat ia lahir dan menemukan belahan jiwa, kemudian melahirkan kedua putra putrinya, Yadi dan Riris. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika harus ikut Riris ke ibukota.

"Apa kamu ndak bisa berhenti kerja aja, Nduk? Ibuk ndak perlu kiriman uang banyak asalkan bisa terus sama kamu, Ris. Biarlah hidup apa adanya, makan pake garam yo ndak apa, asalkan Ibuk ndak kamu tinggal," mohon Bu Supiah dengan tatap penuh harap.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now