6 || and, she fought (2)

6K 784 87
                                    

| 6 |

and, she fought



BUTUH WAKTU TIGA bulan hingga Bening akhirnya mau berhadapan kembali dengan Nicholas.

Tak ada yang memaksanya. Anika berkali-kali meminta Bening untuk berpikir ulang, sebab Nicholas tak sedang dalam kondisi yang tepat untuk diajak berbicara. Namun, tak akan pernah ada kondisi yang tepat untuk berbicara dengan Nicholas, hanya ada kondisi yang 'agak aman' dibanding kondisi-kondisi lain ketika Nicholas emosi.

Balwana mengurung Nicholas di suatu tempat. Tempat yang pastinya bukan penjara dengan penjagaan polisi. Dia sudah mendapat izin untuk menemui pria itu. Untuk pertama kali, Bening ingin melihat sendiri bagaimana kondisi penyekapnya itu sekarang. Dia hanya berniat untuk melihat, lalu pergi.

Ditemani Bells, seorang Letnan Balwana dengan rambut dicat ungu dan blonde ash, Bening dibawa ke markas Balwana, lalu dituntun ke rubanah letak penjara dengan pengamanan ketat. Di lantai yang lebih bawah, ada ruang terkunci yang hanya bisa dimasuki oleh petinggi Balwana. Bells masuk bersamanya, ada yang berkilat dari kakinya saat dia berjalan; mata pisau. Bells mengantungi beberapa yang hanya disarung bagian ujung saja.

"Cuma mau lihat?" tanya Bells, berjalan hingga sampai ke meja yang terdapat beberapa tombol. "Nggak apa-apa loh kalau mau nyiksa dia. Nggak akan ada yang protes juga."

Bening melihat Bells, lalu ke tabung sel kaca di tengah ruangan. Ada beberapa tabung sel, tapi hanya satu yang dinyalakan, sisanya gelap. Nicholas terlihat sedang tak sadarkan diri, telanjang, dan diikat sambil berdiri dengan rantai tergantung sisi atas.

Untuk kali pertama, Bening merasa kasihan. Bukan kasihan yang membuatnya ingin menolong Nicholas. Ini justru rasa kasihan yang karena melihat betapa menyedihkannya pria itu. Nicholas adalah pecundang menyedihkan. Pantas saja dia mendapat perlakuan seperti ini.

Tubuh Nicholas bergerak, seperti terbangun. Dia mendongak ke depan dan menyipitkan mata. "Siapa?" suaranya sangat serak, seperti tak minum berhari-hari. "Mau apa lagi?"

Ada sedikit rasa iba yang menggerayangi hati Bening. Bagaimana pun juga, Bening masihlah seorang manusia dengan empati. Walau jika mengingat lagi apa yang sudah Nicholas lakukan kepadanya, kepada wanita-wanita lain, Bening merasa empatinya hanya akan berakhir sia-sia. Tak semua orang layak diberi empati. Nicholas adalah salah satunya.

Bening menarik napas. Dia meminjam pisau milik Bells, lalu membuka pintu menuju tabung sel pria yang selama ini menyekapnya. Dia tahu Nicholas terikat dan tak bisa kabur, tahu pria itu takkan bisa menangkapnya—toh ada seorang Letnan Balwana juga di sini—tapi masih ada rasa takut merayap, entah mengapa. Mungkin karena selama ini, dia tak hanya disekap, diperkosa, atau diperlakukan buruk secara fisik, melainkan juga secara verbal. Nicholas masih punya senjata untuk melawannya selain pemaksaan: kata-kata, yang meski sudah berkali-kali Bening berusaha enyahkan dan anggap tak penting, tapi terkadang kata-kata tersebut bisa menusuk di saat yang tepat.

"Apa ini ... mimpi?" ujar Nicholas, memandangi Bening dengan tak percaya. "Bening? Ini kamu, kan, Sayang?"

Bening mengernyitkan hidung, jijik oleh ucapan itu, serta oleh aroma di dalam tabung sel ini. Sebab saat dia sedikit membenarkan maskernya, dia mencium aroma urin, keringat, dan sperma bergabung satu. Apa pria ini klimaks dari mesin dildo yang dimasukkan paksa ke dalam tubuhnya? Jika iya, Bening tidak terlalu kaget dengan selera hardcore Nicholas.

"Berhenti bicara seolah aku adalah kekasih kamu. Kamu itu pemerkosa," balas Bening dengan dingin. "Kamu menangkap aku dan melarangku keluar rumah, menyiapkan penjaga supaya aku dan perempuan-perempuan lain yang kamu tawan nggak bisa keluar. Kamu memperkosa aku, Nicholas. Nggak usah bicara manis. Kamu menjijikan."

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Where stories live. Discover now