12 || and, they take pictures (2)

4K 756 116
                                    

| 12 |

and, they take pictures


SEJAK DUA HARI lalu, Tama tak lagi mengenakan sarung tangannya. Bekas luka bakar yang pernah Bening lihat pun sudah mulai hilang. Bening belum sempat bertanya kenapa bisa memudar secepat itu. Apa karena Tama adalah mutan? Atau, apa Balwana punya teknologi canggih untuk menyembuhkan luka? Dia akan menyimpan pertanyaan itu nanti, sekalian bertanya soal Bells.

Lorent akan mengambil foto pernikahan mereka di sisi taman yang rindang dengan sudut cahaya matahari yang tepat. Sementara yang lain sedang mengambil makan dan minum yang tersaji di meja panjang.

"Ternyata ada prasmanan juga, ya," ujar Bening. "Udah kayak pernikahan beneran."

"Saya pesan biar mereka makan. They eat a lot," ujar Tama. "Kalau nggak makan, mereka pasti bakal ribut."

Bening tertawa. "Kamu udah sarapan?"

"Udah. Kamu sendiri?"

"Udah kok. Tadi sebelum berangkat ke sini, udah sarapan sama Mami Anika." Bening lalu terdiam memandangi taman, tak merasa perlu bicara lagi. Wajahnya terlihat tenteram.

Saat meihat Lorent masih sibuk dengan laptop yang tersambung dengan kameranya, Tama kembali berkata, "Kamu cocok pakai gaun ini." Dia agak menahan napas saat Bening menatapnya. Barangkali wanita itu tak sadar betapa memukaunya dia dengan gaun pengantin yang dia kenakan. "Mau sekalian dibeli aja gaunnya?" Tama menawarkan, sebab Bening hanya menyewa gaunnya.

Bening tak merasa perlu untuk membelinya, karena toh ini bukan pernikahan sungguhan. "Enggak usah," jawab Bening. "Lagian aku nggak tahu mau disimpan di mana."

"Simpan aja di lemari. Walk-in-closet kamarmu cukup besar, kok."

"Walk-in-closet? Kamarku di Perumahan Swarga Elok nanti ada walk-in-closet-nya?"

"Iya, ada. Di kamar saya juga ada. Tapi untuk menyimpan barang yang berbeda."

Pasti senjata, batin Bening. "Oh, begitu. Tapi, kamunya nggak keberatan kalau saya beli gaun ini pakai uangmu?"

"Saya nggak keberatan."

"Ahh." Bening mengangguk-angguk. "Ternyata bener kata anak-anak. Kamu memang cocok buat diporotin hartanya."

Tama tertawa tanpa suara. Binar matanya menatap Bening dengan geli. Bening jadi ikut geli mendengar leluconnya sendiri. Dia tersenyum menatap Tama, dan kilat kamera muncul hampir membutakan pandangannya sesaat.

Tama memejamkan mata, lalu menatap fotografer mereka dengan dingin. "Aba-abanya, Lorent."

"Momentumnya cocok, Mas Tama. Nggak ada foto yang lebih baik daripada foto candid natural." Lorent tersenyum lebar. "Nah, sekarang ayo mulai pose. Mbak Bening taruh tangan di pundak Mas Tama—ya, betul begitu. Mas Tama tolong tatap wajah Mbak Bening, oke, tahan."

Setelah lima belas menit mereka berfoto di depan kerindangan taman, Lorent mengarahkan mereka untuk berdiri di altar. Di atas mereka, terdapat rangka melengkung yang dililit tanaman rambat dan dekor bunga-bunga putih. Tempat duduk tamu terpisah oleh karpet bertabur bunga yang akan dilalui para mempelai dari pintu hingga altar. Tentu tak ada prosesi pernikahan sungguhan. Bening hanya perlu berjalan dengan bunga di tangan dan berpose di atas altar untuk difoto.

Ternyata, tidak sesederhana itu. Lorent mengarahkan agar Bening berjalan menuju altar, saling bertukar cincin, bertatapan, lalu membuka veil dan berciuman.

Tama tak terlihat protes saat Lorent mengatakan hal itu. Jadi, Bening pikir mungkin mereka memang sudah seharusnya berciuman—seperti pengantin pada umumnya.

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Where stories live. Discover now