9 || and, he looks

3.8K 721 39
                                    

| 9 |

and, he looks



"BENING, kamu udah siap?"

Pertanyaan Anika itu menggantung untuk sesaat. Bening menarik napas, lalu menjawab dengan anggukan. Hari ini berbeda dari hari-hari biasanya. Bening selama beberapa bulan belakangan selalu merias wajah sendiri. Namun khusus hari ini, Anika yang meriasnya. Bening jadi merasa agak canggung. Apa tamunya ini seseorang yang sangat penting?

"Mami bakal nemenin, kan?" tanya Bening. Mereka berjalan menuju ruang tamu khusus di Rocket Pop. Hari ini sedang libur, jadi koridor lengang, tak banyak orang datang. Anika membuka pintu ruangan untuk Bening. Dan dia langsung dihadapkan oleh pria yang pernah dia temui setahun lalu.

Bening ingat namanya. Kadangkala, Mami Anika atau para wanita pemandu karaoke menyebut nama Tama. Jarang ada hal buruk yang keluar dari mulut orang-orang terkait pria itu. Namun, mereka semua sama-sama tahu bahwa Tama adalah petinggi di Balwana, organisasi yang mengelola Rocket Pop dan banyak bisnis hiburan lain, serta membuat dan mengedarkan narkoba. Para pekerja lain jarang ada yang menggunakan narkoba di depan mata Bening—sepertinya atas perintah Anika. Tapi, Bening tidak buta dan tidak tuli. Dia tahu apa yang terjadi. Dia bisa saja mendapat obat-obat yang dia inginkan, tapi dia tak ingin sembuh dengan hal itu. Dengan kondisinya setelah disekap Nicholas, apabila dia mengakses obat-obatan terlarang, dia takut dia justru jadi kecanduan.

Tama berdiri saat melihat Bening dan Anika masuk.

Pria itu tinggi. Tinggi sekali. Mungkin orang tertinggi yang pernah Bening temui secara langsung—dia belum bertemu Snow, walau sudah mendengar rumor soal Komandan Balwana berambut putih dengan tinggi dua meter itu. Tinggi Tama pasti mungkin mencapai 190 senti. Kepalanya bahkan hampir menyentuh lampu gantung di ruang tunggu ini. Tubuh Tama terlihat berisi oleh otot, dilapis oleh kemeja kelabu tanpa kerut dan celana formal. Rambutnya tertata rapi. Sepasang iris di balik kacamatanya terasa seperti bunga es. Penampilannya bersih, klimis, profesional. Mungkin satu-satunya yang membuat Bening janggal hanya sarung tangan yang pria itu pakai.

Dulu, Tama juga memakainya. Sarung tangan tersebut dilepas saat dia berjabat tangan dengan Bening.

Saat jarak mereka hanya satu langkah, Bening bisa mencium wewangian pria itu. Aroma parfumnya agak menguar saat tadi pria itu bergerak untuk mempersilakannya duduk. Wanginya terkesan ... sedikit menyejukkan dan maskulin, tapi ada kedalaman bunga lily yang ringan, manis, dan memikat.

Saat Bening duduk, dia masih bisa mengingat aroma parfum Tama. Dan dia agak terkejut karena merasa ingin duduk di sebelah pria itu. Sepertinya alam bawah sadarnya menginginkan hal tersebut untuk menghirup parfum Tama lebih lama. Tapi, tetap saja Bening tak menduga bahwa tubuhnya ingin berdekatan dengan seorang pria.

Mungkin ini sebuah kemajuan, pertanda bahwa ketakutannya berdekatan dengan laki-laki perlahan kian sirna.

"Selamat siang, Bening, dan Mami Anika." Tama menyapa dan mengangguk, lalu menatap Bening. "Gimana kabarmu, Bening? Betah kerja di sini?"

Bening mengangguk. "Kabar saya baik, Pak Tama. Saya betah kerja di sini."

Tama terpaku dengan alis terangkat, begitupun Mami Anika.

"Nggak usah panggil pakai 'Pak'," ujar Anika. "Tama nggak setua itu, kok."

"Ah, iya. Maksudku panggil 'Pak' bukan karena ketuaan, tapi karena dia adalah atasan saya, Mami."

"Panggil 'Tama' aja," ujar Tama. Sebelum Bening protes, Tama melanjutkan, "Barangkali kamu memang harus membiasakan diri memanggil nama saya seperti itu."

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Where stories live. Discover now