22 || and, they confess [END]

7.1K 516 153
                                    

| 22 |

and, they confess



TAMA TAK MENGIZINKANNYA pergi sebelum Willy datang menjadi asisten pribadinya. Jadi untuk sementara, Bening tak bisa ikut pergi bersama Leoni atau Dhyan. Ishtar sudah menghubunginya soal rencana mereka mendatangi kafe dan resto Ishtar. Bening membalas bahwa dia mungkin baru bisa saat akhir pekan.

Setelah rapat pagi, Bening hanya menyampaikan laporan, lalu menghindari Tama karena selalu mengingat apa yang Tama lakukan kepadanya kemarin malam. Tak salah lagi, pria itu sempat ingin menciumnya. Dia yakin dia tak salah kira. Apa pria itu hanya terbawa suasana? Merasakan pekatnya tekanan dan marabahaya dari operasi ini, lalu khawatir dan lantas ingin menciumnya?

Seharian ini, Bening merasa canggung berada di sekitar Tama. Dia selalu mengingat saat ketika Tama mendadak memeluknya dan hendak mencium. Apa pria itu memiliki ketertarikan lebih terhadapnya, atau apa Tama hanya ingin memeluk dan mencium wanita yang kebetulan hadir saja? Tapi, kemungkinan kedua itu terasa sulit dinalar. Tama adalah pria yang sangat bisa mengendalikan diri. Bening tak bisa membayangkan Tama melakukan itu dengan Mia hanya karena terbawa suasana.

Apa Tama hanya melakukan ini dengannya? Atau, apa dulu Tama pernah seperti ini dengan rekan kerjanya di Balwana?

Memikirkan beragam kemungkinan membuat Bening pusing. Jadi, dia akan meminta kejelasan nanti ketika Tama sudah luang. Pria itu kini sudah kembali ke ruang kerjanya untuk rapat harian bersama Snow dan anak buah lain.

Hari ini selagi menunggu kedatangan Willy, Bening mengecek video lain yang dikirim Snow dari kamera tim spionase Balwana di JavaMedica. Makin lama, dia semakin yakin bahwa pria bertubuh buncit yang dia amati dari kemarin adalah salah satu bos Nicholas.

Saat sedang beristirahat dari menonton video, Bening mengecek ponsel dan ada pesan baru dari nomor tak dikenal. Dia membuka pesan tersebut dan terkejut melihat Ismael menghubunginya.

Hai, Bening. Ini Ismael.
Lo bisa jaga rahasia, gak?
Kalau lo luang, gue mau
ngobrol berdua sama lo,
tapi jgn bilang2 Ishtar.


Bening tak langsung membalas. Dia menangkap layarnya lalu mengirim tangkapan layar ke kontak Tama untuk mengabari. Tama pun membalas dengan cepat, meminta Bening untuk menemuinya di ruang kerja.

Segera, Bening mematut diri di cermin untuk memastikan pakaiannya tidak senonoh saat bertemu Tama, baru dia melangkah ke ruang kerja dan mengetuk pintu. Lalu, suara Tama yang mempersilakannya masuk terdengar. Bening masuk ke dalam, disusul dengan suara Tama yang berujar, "Willy, kamu nggak pakai lensa kontakmu ke sini. Lupa atau sengaja?"

Ada jeda sejenak dari sosok gadis mungil berkulit cokelat gelap itu. Kini rambutnya tak dikucir twintail, berganti dengan setengah bagian atas rambut diikat satu, membuat wajah baby face-nya terlihat sedikit lebih dewasa.

Willy terlihat cemberut. "Nggak lupa ... nggak lupa...." Dia mencebikkan bibir. "Mataku jadi pedih."

"Mungkin kamu keliru pas pasang soft lense-nya."

"Ganjel, ganjel." Willy menggeleng. "Kenapa pakai? Memang mataku kenapa?"

"Matamu biru, terlalu mencolok untuk jadi asisten pribadi Bening." Tama melirik Bening yang masuk. Ekspresi wajahnya melunak. "Bening, silakan duduk."

Bening duduk di kursi depan meja kerja Tama, tepat di sebelah kursi Willy. Gadis itu masih terlihat enggan mengenakan lensa kontak.

"Tama," panggil Bening. "Ishtar kan pakai lensa kontak biru, bisa aja aku bilang kalau Willy juga pakai lensa kontak biru, walau sebenarnya itu warna mata asli dia. Kayaknya, orang-orang kebanyakan juga akan mengira bahwa Willy pakai lensa kontak."

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Where stories live. Discover now