20 || and, they go to a party

4.1K 553 36
                                    

| 20 |

and, they go to a party



ADA BANYAK PRODUK bibir dengan berbagai macam tekstur, kelembapan, warna, dan hasil akhir. Bening suka warna merah jambu yang lembut. Tapi malam ini, mungkin dia harus menggunakan warna yang lebih berani.

Bibirnya kini terpulas dengan warna merah yang sedikit kecokelatan, warna merah yang lebih kalem, menyatu dengan kulit Bening yang putih. Dia mengenakan gaun satin biru kobalt dengan potongan yang membelah dari pertengahan paha kanan hingga betis. Rambutnya digelung dengan anak-anak rambut yang dicatok hingga bergelombang. Bening merasa penampilannya sudah cocok dengan acara malam ini, tetapi kurang aksesoris di leher. Jadi dia membuka laci-laci berisi perhiasan di dalam walk-in-closet miliknya. Setelah dia menemukan kalung yang pas, sebuah ketukan muncul di pintu.

"Masuk!" seru Bening, membawa kalung pilihannya ke depan cermin tinggi. Tama pasti hanya ingin memastikan bahwa dia sudah siap.

Sesuai dugaan, langkah pria itu terdengar memasuki kamar. Suaranya menyusul bertanya, "Udah siap?"

"Belum! Tapi tinggal pakai kalung kok." Bening membuka pengait kalung dan memasangnya di leher. Dia kira Tama akan menunggu di luar, tetapi pria itu ternyata memasuki walk-in-closet, terlihat dari cermin besar yang sedang merefleksikan mereka. Semakin dekat, semakin Bening sadar betapa sempurnanya kemeja hitam dan setelan jas biru gelap yang Tama kenakan; terlihat berkelas dan menyesuaikan tubuh Tama yang tinggi dan bagus.

"Ah." Tama terlihat agak terkejut melihat Bening di cermin. Pria itu mengerjap-ngerjap, tak berbicara beberapa saat sampai Bening menoleh ke arahnya. Sejenak, Tama ingin melarikan jemari ke sepanjang punggung Bening yang terbuka, menelusuri tulang belikat dan garis tengah punggung dari leher hingga pinggang sambil melihat reaksi Bening lewat cermin. Pria itu pun segera menarik napas dan mengendalikan diri sebelum bertanya, "Perlu bantuan?"

"Ehm." Sebenarnya Bening tak perlu bantuan, sebab dia sudah biasa memakai kalung sendiri. Tapi dia senang dengan atensi Tama. "Boleh. Tolong pasangin kalung, ya."

Tama segera melangkah ke belakang Bening. Napas Bening hampir tercekat saat tubuh pria itu hanya sejengkal di belakangnya. Mereka sempat berpandangan dari refleksi cermin, merasakan canggung yang mendorong rasa ingin membuang muka oleh malu. Bening pun langsung memberikan kalungnya ke Tama tanpa melihat pria itu.

Tama membuka dua ujung kalung, melingkarkannya di leher Bening. Hangat napas pria itu menyapu kulit. Rasanya Bening jadi agak menggigil oleh antisipiasi dan kegugupan. Secara rasional, Bening tahu bahwa takkan ada apa-apa yang terjadi setelah Tama selesai memasangkan kalung. Namun di detik itu, Bening sadar: dia ingin dicium oleh Tama.

Bening pun tak kuasa bertanya-tanya. Jika sentuhan seperti ini saja sudah membuatnya sebegitu gelisah, bagaimana ketika Tama menyentuhnya lebih banyak dan menciumnya lebih dalam? Bagaimana jika mereka melakkan kontak fisik yang lebih?

Tak ingin imajinasinya meliar, Bening segera menjauh begitu Tama selesai memasangkan kalung.

"Makasih, Tama," ujar Bening dengan senyum, hanya mengangguk, tak berani menatap wajah pria itu lama-lama.

Tama tak menjawab. Alih-alih, dia bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

"Ehh, nggak apa-apa kok. Aku kelihatan gugup ya?"

"Iya. Kamu nggak perlu khawatir. Saya dan yang lain pasti bakal menjaga kamu."

Bening tak mengkhawatirkan itu. Tentu saja dia percaya bahwa Tama akan melindunginya. Namun dia tak mungkin berkata bahwa dia gugup oleh kedekatan Tama alih-alih pesta Ishtar.

Tergenggam dalam Nyaris | ✓Where stories live. Discover now