Prolog

1.8K 294 9
                                    

Harusnya aku nggak pernah jatuh cinta padanya.

Bayangkan, di tengah riuh ucapan selamat dan tawa canda banyak keluarga di hari aku wisuda, aku justru sibuk mencari – cari sosoknya. Selama acara, dia berada di jejeran para dosen. Dirinya juga turut memberikan ucapan selamat dan 'melepaskan' kami untuk menempuh Dunia sesungguhnya dan sekarang kedua mataku tidak berhasil menemukan dirinya di tengah lautan manusia yang sedang bersukacita.

Meski aku dikelilingi oleh keluarga juga teman – teman, aku menunggu ucapan selamat darinya secara pribadi. Bukan sebagai dosen pada salah satu mahasiswanya. Tapi sebagai Elnusa untuk aku.

Di antara semua orang, sosok mas Nusa lah yang akan paling aku rindukan.

Rindu mengikuti mata kuliahnya, rindu berlomba – lomba untuk menjadi mahasiswa favoritnya, rindu dipanggil olehnya untuk menjawab segala pertanyaan dari bibirnya. Suara yang khas, senyum ramah yang meneduhkan dan aroma parfumnya yang tidak pernah berubah sejak pertama kali aku diajar oleh mas Nusa.

Aku bahkan masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Bukan di kelas, melainkan di tempat parkir dosen.

Hari itu, aku berangkat kuliah bareng dengan ayah yang sedang ada janji temu dengan salah satu pejabat kampus dan dipersilakan memarkirkan mobil di parkiran khusus dosen dan tamu.

Kejadiannya mungkin bisa dibilang sangat klise dan cukup drama, tapi itu lah yang terjadi. Tote bag yang kusampirkan di tangan kanan, putus talinya dan membuat berbagai perlengkapan yang kubawa di dalamnya jatuh berhamburan di lapangan parkir dosen. Di jam setengah delapan pagi yang sibuk. Saat mencoba mencari pertolongan pada ayahku, beliau sudah menaiki undakan tangga bangunan menuju kantor pejabat kampus dan menghilang dari pandangan tak berapa lama.

Di saat yang sedikit memalukan itu (beberapa kali para dosen yang baru datang memberi klakson tidak sabar karena aku menghalangi jalan), tiba – tiba seorang pria yang juga sedang membawa tas cukup besar dengan gulungan karton dalam tabung hitam menghentikan langkahnya. Dia membantuku mengambil berbagai barang yang jatuh dan tersebar sambil membercandai 'kesialanku' di pagi hari itu.

"Biasanya begini memang, dibuat tergesa – gesa malah kacau semuanya." Ucapnya, saat itu.

Aku meminta maaf sambil berterima kasih dan mengumpulkan semua barangku ke dalam tote bag lagi dan pria itu bahkan mengikat tali tote bag yang telah putus agar dapat kutenteng.

"Saya nggak ada tas ekstra, begini saja ya. Nanti cari solusi kalau sudah sampai di kelas."

Sekali lagi aku menganggukkan kepala seraya berterima kasih, bonusnya, pria itu juga membantuku berdiri dan menuntun lenganku agar menyingkir dari tengah jalan yang masih dilalui banyak mobil. Kemudian memberi tepukan ringan di bahu sambil memberi semangat agar aku tidak bad mood meski mengawali hari dengan berantakan.

Setelah itu, aku terpaku memandangi punggungnya yang menyampirkan tas ransel hitam, bergerak menjauh dari tempatku berdiri. Ia menaiki undakan tangga menuju gedung yang kutahu adalah kantor staf dan dosen, hingga dirinya menghilang di balik dinding putih bangunan tersebut aku pun tergerak untuk meneruskan langkah menuju kelas.

Kuketahui setelahnya, dia adalah salah satu dosen yang akan mengajar di kelasku juga. Bernama Elnusa Malik Fawwaz, mengajar mata kuliah arsitektur dan lingkungan, dan sudah menikah. Aku menyadari itu ketika mulai diajar olehnya, di jari manis tangan kanannya tersemat sebuah cincin kawin polos yang seolah dia kenakan dengan bangga.

Sial, aku bahkan terlambat tahu kalau dirinya adalah senior juga dosen di kampus ini. Aku terlebih dulu jatuh cinta padanya sejak pertemuan pertama dan penuh drama itu.

Konyol memang, tapi aku tidak bisa mengelak perasaan ini. Terlebih sejak kusadari dirinya adalah dosen favorit segala umat dan kerap menjadi teman curhat beberapa senior juga teman – temanku yang aktif dalam kampanye yang ia gerakkan sejak itu.

Tiap kelasnya berlangsung, aku selalu bersemangat menyimak apapun yang sedang dia sampaikan. Kelasnya tidak pernah membosankan, mas Nusa selalu mengadakan kuis dan berhadiah photocard beragam pemandangan yang ia foto dan cetak sendiri. Foto – foto itu sebagian masih menghiasi dinding kamarku hingga kini. Sebagian yang lain aku susun dalam scrapbook dan memberi tambahan keterangan pada tiap photocard yang aku dapatkan. Favoritku adalah foto pemandangan lingkungan Lauterbrunnen saat musim panas. Desa yang terletak di pegunungan Alpen ini memiliki tujuh puluh dua air terjun dan dinobatkan menjadi destinasi favorit wisatawan yang berkunjung ke Negara Swiss. Katanya, aku sih belum pernah kesana.

Dan selama tiga tahun empat bulan aku mengenalnya, beberapa kali mas Nusa kerap membawa istri dan kedua anaknya di banyak acara kampus maupun di luar kampus yang kami hadiri bersama.

Istrinya bernama Alisa, berprofesi sebagai Jaksa. Anaknya yang pertama bernama Fatih dan kedua bernama Nadia. Aku bahkan cukup akrab dengan kedua anaknya, Nadia yang kala itu masih berusia dua atau tiga tahun bahkan kerap kugendong – gendong saat sedang dibawa.

Selama mengenal mas Nusa, aku telah menjalani cinta yang sunyi seorang diri. Tanpa seorang pun yang tahu, kecuali Alex.

Iya si manusia tanpa aib itu justru yang mengetahui rahasia kecil dan menyedihkan ini. Sebenarnya aku cukup berhasil menyembunyikan perasaan rahasia ini kalau saja jiwa baperanku tidak terlalu blak – blakan aku tunjukkan. Sialnya, Alex yang hampir selalu mengekoriku justru teramat peka dan mampu mendeteksi semua perasaan yang bahkan tidak pernah kuutarakan. Salah satunya, perasaan cinta untuk mas Nusa.

Sejak saat itu juga aku selalu membuat Alex tetap dekat agar dia tidak memiliki kesempatan menceritakan tentang perasaanku yang jelas tidak tertolong karena mencintai suami orang.

Perasaanku untuk mas Nusa bukan hanya terlarang, namun haram terjadi. Dia adalah gebetan yang bahkan tidak dapat aku dekati meski dengan kemungkinan. Dia seorang suami dan ayah yang sangat bahagia dengan keluarganya, bukan tipe laki - laki genit yang suka mencari perhatian pada mahasiswa.

Kebucinan mas Nusa pada istrinya pun terkenal seantero jagat, mereka bahkan dapat julukan Galih & Ratna pada masanya. Konon, kisah mereka bermula di SMA dan tak terpisahkan hingga setelahnya.

Aku yang terlambat lahir ini harus rela menitipkan perasaan pada kenangan, karena memiliki mas Nusa adalah kemustahilan yang tak bisa terus aku dambakan.

Dan di momen wisuda yang bagiku justru adalah perpisahan dengannya, aku tidak cukup beruntung menemui mas Nusa untuk berfoto bersama. Alih – alih mas Nusa, justru Alex yang datang membawakan bunga dan kami pun banyak mengambil foto sebagai kenang – kenangan melepas masa kuliah.

©

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now