8

113 38 0
                                    

Kami berpelukan. Aku dan Kezia, setelah sekian purnama tidak bersua. Aku mengomentari banyak perubahan baik pada dirinya, seperti bobotnya yang bertambah dengan baik. Oh ya, dia struggle banget untuk menambah berat badannya karena sejak kuliah dirinya memang bertubuh kurus dan dia tidak menyukainya. Jadi, aku bisa bilang kali ini dia sukses menambah bobot dengan berolahraga.

Sedikit banyak dia bercerita soal pacar barunya yang berprofesi sebagai trainer di sebuah Gym yang cukup populer. Pacarnya memberikan pengaruh baik karena akhirnya anak malas ini mau juga disuruh bergerak untuk menambah massa otot.

"Tapi lo kok malah makin kurus sih, Ra." Dia menatapku sedih, sambil memegang rahangku yang hampir tidak lagi berdaging.

"Harusnya gue gemuk ya, secara jobless, Bok!" Aku memegang kedua pipi dengan gaya sok imut, Kezia mencubit pipiku dan berkata akan mentrakirku siang ini untuk perbaikan gizi katanya.

Dasar memang!

"Anyway, gue cuma bisa sampai jam 2 nih. Ada janji sama klien di kantor mereka. Uhhmm, lo bisa temui bagian HR –nya saja langsung, tadi gue buatin janji."

"Jam 2-an nggak apa – apa?"

"Nggak apa – apa selama masih jam kerja, Ceu. Dia pulang jam 5 pokoknya."

"Yaudah."

Kezia pamit setelah mendapatkan beberapa kali telepon dari kliennya yang memastikan janji temu mereka, aku pun tidak menahan Kezia dan janji akan menghubunginya setelah berhasil interview.

Kantor Kezia terletak di sebuah gedung yang menyatu dengan pusat perbelanjaan. Dia memang perencana terbaik, dengan menentukan tempat janjian di mall dekat kantornya yang membuat aku tidak perlu berkendara lagi untuk menuju kantor yang akan kukunjungi untuk mencoba melamar posisi yang disebut Kezia sedang kosong.

Selepas kepergian Kezia menuju kantor kliennya, aku beranjak menuju bangunan yang telah disebutkan bestie-ku itu. Lumayan jauh juga jika berjalan kaki dari mall tempat kami janjian, karena luasnya pusat perbelanjaan ini. Motorku di parkir dalam parkiran mall, agak effort saat mau pulang nanti. Hiks.

Nggak apa – apa lah, daripada harus keluar parkir dan masuk ke dalam parkiran gedung perkantorannya malah ribet. Mana puterannya jauh banget, ngabisin bensin.

Aku berbicara dengan resepsionis agar diberikan kartu pengunjung, ia meminta KTP dan langsung kuberikan untuk bertukar dengan akses memasuki gedung ini.

Mungkin karena sudah lewat jam makan siang, aku hanya bertemu beberapa orang saat menunggu lift. Ada anak sekolah juga, berseragam putih – putih namun aku bisa melihat emblemnya. Dia masih SMP. Pintu lift terbuka, aku dan dua orang lainnya termasuk siswi SMP itu memasuki lift yang sama.

Aku menekan tombol lantai 7 dan berdiri di pojok lift untuk menunggu. Pandanganku tertuju pada bagian belakang rok anak SMP yang berwarna putih, terlihat kontras sebuah noda berwarna merah yang agak besar. Spontan aku menyadari bahwa anak ini mungkin sedang datang bulan dan tidak menyadarinya. Aku pun menyentuh bahu anak itu, sambil sedikit berbisik.

"Dek, kamu sedang menstruasi. Darahnya rembes ke rok."

Anak itu spontan menoleh ke arahku dengan wajah pucat, ia melirik laki – laki yang berada di seberang kami dengan wajah takut. Aku menyentuh bahunya, ingin membuat dia tenang dan tidak khawatir.

"Jangan panik, kamu bawa pembalut?"

Pintu lift terbuka di lantai 3A, laki – laki yang bersama kami turun lebih dulu dan pintu menutup kembali. Anak pelajar di hadapanku menggelengkan kepala.

Aku pun mencari stok pembalut yang sering kubawa untuk situasi darurat di dalam tas dan menemukannya.

"Ini, Kakak punya. Nanti kamu pakai ya. Sekarang, jaket kamu dilepas saja untuk nutupi ini."

Ia mengikuti saranku, aku membantunya mengikatkan jaket itu di pinggangnya yang kecil untuk menutupi noda darah pada rok putihnya.

"Nggak bawa baju ganti juga?"

"Nggak, Kak."

"Humm. Kamu ada perlu apa di sini?"

"Mau ketemu papa aku."

"Humm. Sama – sama ke lantai 7?" Ia mengangguk lagi.

"Aku nggak tahu caranya pakai ini, Kak." Ia berbisik.

Aku terenyuh, apa ibunya tidak pernah memberitahu soal ini? Ini pasti menstruasi pertamanya.

"Nanti kamu coba telepon mama kamu saja, tanya ke mama ya."

Dia terdiam selama beberapa saat, kemudian seperti terisak ia menjawab.

"Aku sudah nggak punya mama, Kak."

Ya Allah, salah aku.

"Maaf, Dek, maaf ya. Kakak nggak tahu."

Ia mengangguk.

"Nanti aku tanya papa saja."

Namun, aku tahu rasa canggungnya membicarakan soal kewanitaan dengan laki – laki meskipun ayahmu sendiri. Jadi, aku berinisiatif untuk membantunya.

"Yaudah gini saja, nanti di toilet lantai 7, Kakak bantu kamu untuk kasih tahu cara pakai ini ya."

"Beneran, Kak?"

"Iya."

"Makasi ya Kak."

Pintu lift terbuka seiring aku menganggukkan kepala merespon ucapan terimakasihnya, kami melangkah keluar bersama. Aku melihat pintu kantor yang akan kutuju, namun memilih untuk menunaikan janjiku mengajarkan anak ini soal menggunakan pembalut.

"Nama kamu siapa ngomong – ngomong?" Dia menunjukkan name tag yang terjahit di seragamnya, sambil mengucapkan nama itu.

"Nadia, Kak."

Aku membaca namanya, Nadia Khairunnisa F.

"Aku Zora, Nadia kelas berapa?"

"Kelas tujuh, Kak."

Kami sudah berada di toilet, untung lah sedang sepi. Hanya ada kami berdua di dalam sini. Aku membuka jaket yang menutupi rok Nadia, rembesannya melebar. Aku pun membuka hape dan aplikasi youtube untuk mencari contoh visual cara memakai pembalut dan menunjukkannya pada Nadia. Ia cepat mengerti, ia menitip tasnya yang kuletakkan di marmer wastafel dan mempersilakan ia memasuki bilik toilet. 

Beautiful SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang