6

207 37 0
                                    

"Terus?"

"Ibu sudah terbiasa lagi tinggal di sini. Kamu bisa kembali ke Jakarta, temani adikmu dan bekerja lagi seperti dulu."

Aku menghembuskan napas, mengangkat wajah dan menatap mata ibu. Kupandangi setiap inci wajah Ibu. Wajah yang telah diubah oleh masa, yang menunjukkan betapa ibu telah melalui banyak hal dan tahun.

"Lebaran kita kumpul lagi di sini. Tapi sekarang, kamu bisa kerja di kantor seperti sebelum datang kesini."

Kemudian aku teringat jadwal kerja adikku yang tidak reguler seperti orang kantoran pada umumnya.

"Zayn mana bisa ambil cuti saat Lebaran sih, Bu."

"Ya kamu saja, Zayn bisa nyusul kalau itu sih."

"Ibu yakin, nggak apa – apa aku tinggal?"

"Nggak apa – apa. Ibu mau ikut jualan ikan nanti sama bibimu, biar nggak bengong terus."

"Iya. Ibu harus banyak gerak juga, biar badannya nggak kaku."

"Iya."

Ibu memelukku, aku mengusap punggung ibu dengan lembut. Ibu sudah berusaha merelakan ayah dan aku harus percaya bahwa ibu memang telah baik – baik saja. Hampir setahun juga aku tinggal di sini, jujur saja, aku bukan gadis desa.

Di sini cukup membosankan meski masih memiliki pemandangan yang indah. Aku juga sering bermain ke pantai dengan adik sepupuku sekedar untuk melihat matahari terbenam, tapi ya hanya itu hiburan yang bisa kulakukan.

Sesekali aku belanja di pasar ikan dan membuat acara sendiri dengan para adik sepupu di rumah seperti memanggang ikan atau merebus kerang. Tapi, aku sangat merindukan Jakarta dan hiruk pikuknya. Rindu bekerja dari jam delapan pagi hingga tujuh malam, kalau sedang senggang bisa kabur jam empat sore.

Meski harus bermacet – macetan setiap pagi, tapi rasanya semua itu termaklumi apabila malamnya bisa hangout bersama circle-ku di coffee shop atau sekedar menikmati acara live music di berbagai kafe.

Dan sekarang ibu sudah bisa kutinggal dengan tenang, kutitipkan pada pamanku yang tak lain adalah adik kandung ibu. Dengan dalih menemani Zayn, sesungguhnya aku hanya ingin keluar dari desa kecil ini.

Aku tidak sabar menghubungi Kezia dan langsung menekan nomor kontaknya segera.

"Zoraaaaaa.. Zoraa, Zoraa, Zoraaaaa...Lo udah jadi istri kapten mana sih sampe betah banget di sana?"

Aku tergelak mendengar tuduhannya yang tak berdasar itu. Yakaleee menikah tanpa mengundang – undang miss rempong satu ini. Paling nggak harus mendaulat dia menjadi salah satu bridesmaid-ku lah.

"Istrii, istrii.. masih is one gue nih!"

"HAHAHA. Eh eh, Raaa, ada kabar baik dan buruk nih yang harus lo denger. Lo mau yang mana dulu?"

"Yah ampun, harus banget balance gitu kabarnya setelah sekian lama gue mau kasih kabar baik?"

"HAH? APAAN KABAR BAIK DARI ELO? Tuh kan, diem – diem kewong lo yaaa?"

"Dasarrrr. Kawin mulu pikiran lo. Hahaha. Lo dulu lah, yang buruk dulu deh. Jadi kalau buruk banget, bisa ditutupi pakai yang baik."

"DIH!" Kezia terbahak di seberang sana, aku nyengir lebar di sini seraya mengoleskan aloe vera ke seluruh wajah. "Are you ready?"

"Yep."

"Kubus Creative kollaps."

"Serius?"

Kubus Creative adalah perusahaan tempatku bekerja dahulu, yang juga dimiliki Alex dan Edward. Aku benar – benar tidak pernah mendengar kabar tentang mereka sejak memutuskan off dari sosial media dan tidak lagi merespon Alex.

"Serius. Meskipun gue dengar Edward lagi coba cari pemodal lagi, tapi sudah banyak yang dirumahkan."

Aku ingin bertanya tentang kabar Alex, bagaimana dia sekarang. Meski aku tahu Alex akan bisa bangkit lagi jika Kubus Creative sungguhan tutup. Ayahnya adalah pengusaha kawakan yang sudah sering diulas dalam majalah – majalah kewirausahaan.

"Semoga mereka bisa bangkit lagi ya, Ceu."

"Alex sih gue yakin bisa, kalau Edward, mungkin paling pahitnya banting stir atau jadi employee lagi. Tapi sekelas dia minimal GM lah, paling nggak C level kali ya. Nggak mungkin jadi staf kan."

"Iya sih."

"Terus kabar baiknya nih. Gue nggak yakin ini baik atau buruk sih buat elo." Nada ragu Kezia mencuri perhatianku yang semula masih memikirkan Kubus Creative, kini semakin penasaran dengan kabar baik yang ia maksud.

"Apa kabar baiknya? Semoga mengobati kekagetan gue soal Kubus."

"Huummm... Are you sure?"

"Yeah...soal apa?"

"Alex."

"Iya?" Aku menunggu dengan jantung berdebar kencang.

Aneh. Nama Alex meninggalkan kesan seperti ini sungguh aneh. Iya aku merindukannya, tapi bukan berarti aku begitu ingin bersamanya. Hanya saja, ini terasa aneh. Aku khawatir kabar baik yang dimaksud Kezia justru buruk untukku.

"Alex engaged. Finally."

Aku terdiam selama beberapa detik. Entah bagaimana harus meresponnya. Tentu saja aku harus senang dan bahagia jika akhirnya Alex menemukan belahan jiwanya. Tapi, rasa apa ini?

"With who?"

"With her!" Suara excited Kezia memberikan clue yang sangat mudah kutebak.

"Leonnore?"

"Of course. Siapa lagi?!" Dia ikut senang mendengarnya, tapi mengapa aku tidak?

Bukan kah aku selalu berharap mereka berdua bisa menikah dan bahagia? Karena tentu saja aku dan Alex berbeda.

"Akhirnya yah, Ceu. Gue nggak nyangka waktu tahu – tahu lihat insta story Lenny udah tuker cincin ajeee. Gileee si Alex, nggak ada elo, nggak ada tuh nyenggol – nyenggol gue di wa sekedar kabarin soal ini."

Aku bergumam dan mengatakan pada Kezia bahwa ibu menyuruhku untuk kembali ke Jakarta menemani Zayn dan bekerja seperti dulu. Mendengar kabar itu, Kezia langsung semangat mengatakan akan membantuku mencari pekerjaan. Dia bahkan menyarankan aku untuk melamar di kantornya yang sekarang.

Selesai berteleponan dengan Kezia, aku melihat pesan terakhir Alex yang tidak kurespon sama sekali. Pesan yang menyatakan bahwa ia mencintaiku, sangat mencintaiku dan berharap aku memberinya kesempatan untuk menjadikannya kekasih. Sayangnya, aku enggan merespon karena aku tahu, aku pun demikian. Mencintai Alex sangat mudah, menyatukan perbedaan kami, itu lah yang membuatku enggan melangkah.

Semoga Alex dan Lenny bahagia selamanya, bagiku,Alex adalah pria sempurna yang jika saja kami memiliki keyakinan yang sama,tanpa ragu aku akan menyerahkan hatiku padanya.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now