7

120 38 0
                                    

Hampir setahun kutinggalkan, tidak ada yang berubah di rumah kami kecuali halaman depan yang semua menjadi lahan hidroponik ayah kini berubah menjadi lapang. Hanya ada 1 mobil dan 1 motor adikku yang terparkir di sana.

Untung aku tidak membawa semua baju – baju ke kampung saat pertama kali pindah ke sana, sehingga tidak perlu repot – repot membawanya kembali. Masih banyak baju di dalam lemariku dan kutinggalkan di kampung yang resmi menjadi rumah kedua, aku pasti akan sangat sering bolak balik ke sana untuk menemui ibu.

Adikku meletakkan kunci mobil di gantungan kunci, dia menjemputku di stasiun setelah selesai shift. Usianya dua puluh tujuh, tapi masih jomlo. Tiap kutanya kenapa nggak pacaran, alasannya hampir tidak punya waktu untuk berkenalan dengan orang baru. Tiap libur, dia justru lebih suka melepaskan penat dengan menjalani hobinya atau berkumpul dengan teman – teman genknya semasa SMA yang masih akrab hingga sekarang.

Ibu dan ayah memang sejak dulu tidak pernah menuntut anak – anaknya untuk segera menikah sih, paling mereka hanya ngecek dengan bertanya apakah kami berdua normal. Yang dahulu, selalu kami jawab dengan kesal bahwa tentu saja kami normal. Hanya saja sangat pemilih dalam mencari pasangan, sepertinya itu juga alasan Zayn, adikku.

"Makan apa, Kak? Gue jarang belanja. Seringnya beli online."

"Makan di luar aja yuk."

"Capek gue. Elo aja beli naik motor deh."

"Ih males, gue juga capek naik kereta."

Zayn tertawa, "tapi lo kan penumpang. Duduk manis doang. Lha, gue yang bawa."

Iya sih, tapi tetap saja melelahkan naik kereta selama lima jam meski hanya duduk manis.

"Yaudah pesen aja deh."

Hal pertama yang kulakukan sambil menunggu pesanan makan malam kami adalah mencari lowongan kerja di berbagai situs job hunter. Diiringi backsound musik yang diputar adikku, aku memperbaiki CV sambil bertukar pesan dengan Kezia dengan memberitahu bahwa aku sudah di Jakarta lagi. Responnya antusias untuk mengajakku hangout dan janjinya untuk merekomendasikanku di kantornya yang sekarang. Aku belum tahu di mana Kezia bekerja, dia hanya bilang bahwa perusahaan ini adalah main kontraktor di tempat dia sebelumnya.

Dia juga bilang bahwa salah satu senior kami lah pemiliknya, tapi dia yakin aku tidak akan mengingat senior itu katanya. Meski yah mungkin saja, tidak banyak senior kampus yang kukenal memang. Akhirnya aku pun memilih menelpon bestieku itu. Sambil kepoin kantornya Kezia, aku meminta clueclue agar bisa lolos di sana.

"Gampang. Bilang saja alumni kampus kita, pasti lolos. Hohoho."

"Segampang itu?"

"Iya segampang itu. Katanya mau bantu alumni sih. Sayang banget banyak yang banting stir kemana – mana kan abis covid tuh, sepi kan sektor ini."

"Huum. Gue bold deh di bagian pendidikan."

Saat pesanan makan kami datang, aku memutuskan telepon Kezia dan janjian untuk bertemu keesokan harinya.

"Gimana penumpang commuter line, udah normal banget ya?"

Zayn menaikkan sebelah alisnya, menanggapi pertanyaanku yang mungkin terdengar bodoh. Jadi, aku menertawakan pertanyaanku sendiri.

"Maksud gue, orang kan udah pada WFO lagi."

"Udah lama kali. Eh lupa, lo kan di kampung ya kemarin." Dia terkekeh sendiri, aku berlagak hendak memukulnya pakai pantat sendok. "Gimana semua orang di kampung?"

"Sehat."

"Gitu doang?"

"Lo mau jawaban gimana lagi memang?"

"Ibu gimana?"

Padahal kami sudah membicarakan ibu selama di perjalanan dari stasiun ke rumah.

"Mau ikut jualan ikan katanya sama paman."

"Kok? Lo kasih? Ntar kalau kecapekan gimana?"

"Mending capek karena jualan daripada capek hati berduka. Ibu sendiri yang mau biar nggak bengong terus katanya."

"Huumm. Yaudah nanti ingetin gue kiriman vitamin buat ibu."

"Besok lo kerja bawa apa? Gue mau ngelamar kerja."

"Secepat ini?"

"Eh gue nganggur hampir setahun ya."

"Ya kali masih mau rebahan dulu lo." Ucap adikku.

"Udah kenyang rebahan gue di kampung." Sahutku ketus, dia tergelak sendiri sambil menjilati tangannya yang berlumuran sambal ayam bakar.

"Pedes nih tangan gue nantinya."

"Lo barbar banget sih makannya."

Kami berbincang seputar issue – issue terkini dan baru kusadari, aku ketinggalan banyak banget ternyata. Off dari sosial media memang menenangkan sekaligus membingungkan di era digital ini. Tapi aku menyukai 'ketinggalanku' ini. Biasanya sepanjang perjalanan di manapun, aku akan menghabiskan waktu dengan scroll laman instagram, kali ini aku memilih buku untuk kubaca sampai tuntas. Seperti di perjalanan tadi siang pun, aku membawa Norwegian Wood milik Haruki Murakami dan berhasil menuntaskannya.

Dan kini, aku keranjingan membaca karya – karyanya yang lain. Sayangnya, aku harus berpenghasilan terlebih dahulu untuk kembali berburu berbagai bacaan yang ingin kubaca karena adikku pasti akan protes kalau aku terlalu demanding untuk hal yang sifatnya memuaskan hobi.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now