13

170 48 1
                                    

Benar saja, di jam sembilan tepat baru lah berdatangan orang – orang yang bekerja di Matahari Nusantara, salah satunya laki – laki yang kemarin menyapa Nadia dan memintaku menunggu mbak Debby.

Ia menyapa Kezia dan tampak mengingatku, dia tersenyum lebar sambil berlalu menuju meja kerjanya.

Kemudian, sosok yang paling kutunggu dan berhasil membuat detak jantungku kembali bertalu – talu itu, tiba. Mas Nusa datang dan menyapa semua orang yang berada di ruangan ini, senyumnya menular dan semangatnya membakar semua orang yang menjawab sapaan itu dengan penuh tekad. Baru kali ini, aku merasakan getaran positif yang nyata dari orang sekitar. Tanpa kusadari, aku tersenyum sendiri melihat bagaimana mas Nusa berinteraksi dengan seluruh stafnya.

Ia melarikan pandangan hingga netranya menatapku, senyumnya yang sejak tadi terukir lebar, kini menjadi lebih hangat saat bersitatap denganku. Memberikan efek debar lain yang lebih hebat dari debaran sebelumnya.

"By the way, Teman – Teman, kita kedatangan personel baru. Boleh berdiri, Zora?" Ia mengarahkan tangannya padaku, aku pun mengangguk dan berdiri di tempatku sambil menyapa semua orang dengan anggukkan kecil. "Ini Zora, Guys, mulai hari ini akan nambah manpower di tim kita. Semoga dengan bertambahnya personel, membuat tim kita makin solid dan berdaya. Welcome Zora, semoga betah berkarir di Matahari Nusantara."

Aku mengucapkan terima kasih dan melakukan bow pada semua orang yang ada di ruangan ini. Tanpa aba – aba, satu persatu dari mereka mendekat untuk memperkenalkan diri padaku.

Laki – laki yang kemarin menyapa Nadia bernama Timo, kemudian ada dua laki – laki lainnya yang bernama Chris dan Aldi, dan dua orang perempuan bernama Mimi dan Endah. Kemudian datang lagi dua orang yang langsung berkenalan juga denganku, bernama Romeo dan Jamal.

Mas Nusa memintaku ke dalam ruangannya, meski senang setengah mati, tapi aku gugup juga. Aku mengikuti langkahnya yang panjang dengan hati berdegup riang.

"Duduk, Zora." Ia menunjuk kursi biru di seberang kursi miliknya.

Aku duduk setelah merapikan lipatan celana di bagian belakang pahaku dan menunggu apa yang ingin disampaikan mas Nusa. Ia membuka laptop, matanya terfokus pada layar yang berkedip kemudian menyala terang.

Tidak pernah aku berani membayangkan duduk di hadapan mas Nusa seperti ini, sedekat ini. Tidak pernah. Apalagi, setiap mengingat keluarga bahagianya. Tidak mampu aku memiliki harapan merusak rumah tangga yang harmonis itu. Bahkan kini, meski mendengar dari anaknya sendiri bahwa mbak Alisa sudah tiada. Bermimpi memiliki seorang mas Nusa saja, aku tidak berani.

"Langsung dikasih proyek, nggak kaget kan?" Tiba – tiba mas Nusa mengalihkan tatapan dari layar laptop ke wajahku.

Tapi, aku belum siap dengan pertanyaannya dan sejak tadi sibuk menikmati wajah yang pernah menghiasi malam – malam panjangku saat masih menjadi mahasiswa dulu. Aku tergagap dan mengangguk seraya tersenyum malu.

Malu karena terpergok sedang menatapnya sedemikian intens. Duh.

"Kok malah kaget dengan pertanyaan saya? Kamu melamun ya? "

Diam – diam aku menghembuskan napas saat mas Nusa kembali melihat layar laptop sambil bertanya. Bibirnya tersenyum sekilas, aku melihatnya sungguhan.

"Nggak kaget kok, Mas."

"Nggak kaget dapat proyek langsung atau nggak kaget dengar saya bertanya?"

"Dua – duanya."

Mas Nusa menyingkirkan laptopnya ke samping dan menatapku fokus.

"Saya akan tempatkan kamu di bawah Endah, kita sedang dapat proyek pembangunan Hotel. Nanti detailnya biar Endah yang menjelaskan, tapi yang lagi kita butuhin untuk proyek ini sekarang drafter. Kamu masalah nggak?"

Aku memang nggak expect akan langsung menjadi arsitek perencana dalam proyek besar, tapi menjadi drafter sangat di luar dugaan.

"Uhm, iya nggak apa – apa, Mas."

"Sementara kok, di proyek ini saja."

Aku mencoba memberikan senyuman meyakinkan pada mas Nusa. Diterima di perusahaan ini saja aku sudah sangat bersyukur, ditambah menjadi bawahannya yang otomatis akan menerima mentoring darinya juga.

"Oke itu saja, berkas kamu akan saya transfer ke HR. Serahkan dokumen yang nanti diminta Debby ya."

"Baik, Mas." Aku mengangguk dan pamit untuk menuju mejaku.

Hari pertama aku bekerja, aku tergabung dengan tim yang berisikan Endah sebagai Project Manager sekaligus Arsiteknya, aku yang akan membantunya sebagai drafter atau kalau orang awam bilang asisten arsitek. Dibantu Timo sebagai manager site merangkap QC dan Mimi sebagai staf admin. Kami mengadakan pertemuan membahas proyek yang disebutkan mas Nusa tadi, pembangunan sebuah hotel di kawasan pariwisata Jawa Barat.

Endah, yang aku yakin usianya lebih senior dariku, adalah sesosok wanita dengan tubuh kecil namun berahang tegas. Ia memiliki rambut sebahu berwarna hitam berkilau, mengenakan kacamata kotak dengan frame hitam. Kemeja dan celana bahan skinny nya lah yang membuat penampilannya terlihat dewasa, jika tidak, aku yakin ia masih bisa disangka anak SMP dengan tubuh kecil kurusnya apabila dilihat dari belakang. Tingginya hanya sebahuku, meski ia memakai sepatu berhak saat ini.

Aku mencatat berbagai poin penting yang disampaikan Endah untuk mengerjakan permintaannya.

"Dua hari cukup nggak, Ra, untuk kasih draft ke gue?"

"Bisa, Mbak."

"Oke."

Meeting selama empat jam pun diakhiri, aku kembali ke mejaku untuk memulai mencari ide untuk mengerjakan yang sudah jadi tugasku hari ini.

Saat di ruangan meeting tadi, aku sempat mengobrol dengan Mimi. Semua tim arsitek di sini adalah lulusan kampusku, kecuali Endah. Dirinya sudah kenal mas Nusa sejak lama, infonya kakak dari Endah adalah teman mas Nusa. Jalur ordal istilahnya, kami juga sih. Bedanya, mas Nusa melihat kami sebagai satu almamater plus mantan mahasiswanya. Sedangkan Endah karena hubungan kekerabatan.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now