16

279 57 1
                                    

Aku sudah membuat draft kasar yang rencananya akan kuperhalus di rumah nanti, semoga hasil kerjaku tidak jauh dari ekspektasi Endah. Karena jika ia tidak cocok, bisa saja aku harus mengubah draft dari awal. Akan memakan waktu lagi dari tenggat yang sudah diberikan olehnya.

Sambil mencari cemilan di tas, aku mematikan laptop dan bersiap pulang. Kezia tidak kembali ke kantor sejak pagi, padahal kami janjian akan makan malam berdua tapi dia belum ada kabar sejak aku chat jam enam tadi. Dan sudah effort merogoh ke segala sisi tas, ternyata aku tidak punya camilan sama sekali, ugh.

"Mbak, Mimi pulang duluan ya." Aku terkejut dengan suara Mimi yang tiba – tiba berdiri di mejanya.

"Kaget aku, Mi." Ia nyengir kuda, tasnya sudah rapi tersampir di lengan kanan. "Yaudah hati – hati."

"Humm. Besok kita discuss soal bahan ya. Draft-nya gimana?"

"Draft kasar sudah oke kok. Bisa mempertimbangkan material, boleh kalau mau discuss besok."

"Oke. Dagh, Mbak."

Mimi melambaikan tangan sebelum berlalu dari hadapanku, tertinggal mbak Debby di ruangannya dan mas Nusa. Ternyata memang hampir mobile semua staf yang ada di sini, Jamal bahkan ikut ke lapangan juga hari ini.

Belum lama Mimi pergi, ia mengirim pesan. Mimi memberitahu bahwa di luar sedang hujan, otomatis aku mengedarkan pandangan mencari jendela dan kecewa karena tidak ada jendela sama sekali di semua dinding ruangan kantor ini.

Matahari Nusantara berada di antara dua kantor lainnya, pantas lah kami tidak kebagian jendela. Aku nggak yakin apa di dalam jok motor menyimpan jas hujan. Zayn sudah lama tidak pernah menggunakan motor itu untuk bekerja atau jalan jauh.

"Eh, masih ada lo, Zora." Mbak Debby juga sudah bersiap pulang, ia sedang mengunci pintu ruangannya.

"Mau pulang juga ini, Mbak."

"Iya, anak – anak sudah pada nggak balik kalau hujan begini. Macet katanya."

"Oh. Iya Mbak."

"Duluan ya." Mbak Debby berlalu, aku menganggukkan kepala padanya.

Sebaiknya aku coba lihat dulu deh, mudah - mudahan ada jas hujan. Kalau nggak, terpaksa aku harus beli. Untunglah Negeri ini sangat kreatif dalam bidang ekonomi, di momen seperti ini tidak perlu khawatir nggak menemukan jas hujan di luar. Penjual jas hujan plastik sepuluh ribuan sangat mudah ditemui hampir di setiap pinggir jalan maupun lampu merah.

Aku hanya memikirkan laptop ini, kalau nggak bawa sih bodo amat deh. Masalahnya, aku masih harus ngerjain draft lagi di rumah, kalau ditinggal takut nggak terkejar besok untuk ditunjukkan ke Endah.

Nggak nyangka juga akan hujan sore ini, tadi pagi Mataharinya terik sekali. Aku jadi nggak prepare bawa cover ransel. Terlalu semangat sih ketemu seseorang di dalam sana.

Aku bimbang antara pamit atau nggak pada mas Nusa. Nanti dia kaget nggak ya kalau lihat anak buahnya sudah pada pulang tanpa dia tahu? Mana aku tinggal sendirian di sini.

Demi kesopanan—dan alasan sekedar ingin melihat wajahnya juga sih—aku pun mengetuk pintu ruangan mas Nusa perlahan, ia memintaku masuk dan kudapati Nadia sedang terduduk di sofa dengan wajah ngantuk. Sepertinya dia tertidur tadi di sana.

"Mas, saya pamit pulang ya. Di luar sudah nggak ada orang."

"Oh ya? Debby sudah pulang?"

Aku pun menyadari bahwa mas Nusa sedang bersiap pulang juga. Nadia dengan santainya menguncir rambut dan meminum segelas air dari meja papanya.

"Iya, sudah, Mas."

"Kita juga sudah mau pulang kok, ayo, Sayang." Mas Nusa menggandeng Nadia yang dengan gontai meraih ranselnya dan menguap lebar, tentu saja hal itu tidak luput dari perhatian mas Nusa dan ia menutupi bibir putrinya sambil menegur pelan. "Lebar banget nguapnya, kalau kepala kak Zora tersedot, gimana?"

Tawa yang tidak ingin kukeluarkan tersembur tiba – tiba, membuat ayah dan anak itu ikut tertawa.

"Memang mulut aku vacuum cleaner?!" Nadia menggerutu lucu.

Kalau diperhatikan, Nadia banyak mewarisi wajah mas Nusa. Hidung mancung dengan tonjolan di tengah hidungnya, bibir tipis dan bulu mata yang lentik. Namun rambutnya keriting halus seperti mbak Alisa. Perpaduan paras kedua orangtuanya bak harmoni yang indah ketika menjelma menjadi Nadia, gadis itu memiliki wajah ayu khas Jawa dengan hidung mancung bak puteri dari Timur Tengah. Ketika tertawa, dua gigi kelincinya menambah keimutan gadis ini berkali – kali lipat.

Nadia pasti sudah memiliki banyak penggemar di sekolahnya, dengan wajah secantik itu, mustahil jika tidak ada yang menyukai dia.

Kami berjalan menuju keluar kantor, aku ikut mematikan AC ruangan saat melihat mas Nusa mematikan AC ruangannya lebih dulu. Dan mematikan beberapa lampu kantor juga. Di dalam lift, Nadia bertanya pada papanya tentang main denganku di akhir pekan.

"Kamu tuh, Nad. Jangan gangguin kak Zora juga dong di weekend."

"Kak Zora saja ngebolehin kok, Papa malah larang."

"Kamu biasanya juga main dengan abang, kita juga sering jalan."

"Tapi kalau Papa sama abang sibuk, aku sendirian di rumah." Dengan polosnya Nadia berkata, tangan bersidekap di depan dada dan wajah cemberut menatap papanya.

Mas Nusa merangkul Nadia sambil menggodanya agar gadis itu tersenyum lagi, aku menertawakan tingkah mereka dan mas Nusa berbisik dengan suara yang dapat kudengar bahwa aku menertawakan mereka.

Kami tiba di lantai dasar, mas Nusa bertanya bagaimana aku pulang. Pemandangan hujan deras di balik jendela gedung menyambut kami saat pintu lift terbuka.

"Naik motor, Mas."

"Waduh, bawa jas hujan nggak?"

"Mudah – mudahan." Aku nyengir kuda, tidak yakin dengan jawabanku sendiri.

Nadia melepaskan diri dari ayahnya dan menarik lenganku sambil berkata. "Bareng kita saja, Kak."

Duh, maaf ini. Kalau mau ikuti kata hati sih, mau banget. Tapi ya aku malu banget dong, baru sehari kerja sudah memanfaatkan anak mas Nusa untuk dapat duduk semobil bersamanya. Eh maksudnya memanfaatkan cuaca dan kebaikan hati anaknya, ya gitu lah.

Lagi pula, aku nggak yakin akan secanggung apa nanti. Maksudku, please lah, aku pernah sangat mencintai pria ini sepuluh tahun yang lalu. Dan aku nggak yakin, perasaan itu sudah hilang sepenuhnya. Toh, melihat mas Nusa masih berefek sama untuk seluruh organ tubuhku. Ternyata.

Tiba – tiba kikuk, blank dan lambat dalam merespon perkataannya.

Tapi ada Nadia di tengah kami, dia dan usianya yang penuh ketidaksabaran itu menarik lenganku paksa dan seolah menjadi juru bicara dan pengambil keputusan dalam hidupku, ia dengan seenaknya berkata pada mas Nusa.

"Ayo, Pa, kita antar kak Zora. Daripada hujan – hujanan, di tasnya kan ada laptop dan hape, daripada mereka rusak."

Iya, alih – alih mengkhawatirkan kesehatanku, anak ini justru lebih khawatir akan gadget yang berada di dalam ransel gemblok yang aku bawa. Tentu saja hal itu mengundang tawa papanya.

"Kamu tuh, malah khawatir sama laptop bukannya kak Zora. Ayo, Zo, ikut kita saja. Saya antar."

Aku bahkan tidak dapat membantah atau merespon saking kelu-nya lidah ini, namun aku mengikuti tarikan Nadia yang melangkah di belakang mas Nusa menuju parkiran tempat mobilnya berada.

Dan apa tadi? Mas Nusa kembali memanggilku 'Zo'?? Panggilan itu yang sering ia gunakan saat memanggilku di kelas maupun di luar saat kuliah dulu. Zo. Dan hanya dirinya seorang yang melakukan itu, semua orang lebih suka memenggal namaku di suku kata kedua. Ra. Hanya panggilan dari mas Nusa yang selalu istimewa. Zo.

Meski kemarin ia sempat memanggilku 'Ra', aku kira mas Nusa telah meninggalkan panggilan khasnya. Ternyata, panggilan itu kembali hari ini.

Aku tersenyum senang sambil terus melangkah di belakang Nadia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now