2

830 163 3
                                    

Aku baru saja membaca pengumuman dalam grup alumni yang memberi kabar bahwa akan ada event akbar di kampus almamaterku. Baru selesai membaca banner informasi di grup alumni, chat masuk dari Kezia memberondong ponselku. Ia semangat turut meramaikan acara ini demi mencari inspirasi untuk pekerjaan kami, katanya.

Namun panggilan masuk dari Alex mengalihkan niatku untuk membalas pesan dari Kezia.

"Halo."

"Kamu sudah baca di grup alumni?"

"Baru baca, ini Kezia juga langsung kirim chat."

"Bakal ada klien potensial juga di sana, Edward ikut nyumbang untuk acara itu. Jadi, kita memang harus datang."

Aku membulatkan bibir di sini mendengar informasi baru dari Alex.

"Aku mau kagetin kamu. Jangan kaget ya?"

Aku merespon dengan tawa lebih dulu permintaan Alex. Dasar nggak jelas.

"Dih, jadi mau kagetin apa nggak?"

Dia tertawa renyah di seberang sana. Kemudian Alex meneruskan pembicaraannya, informasi yang tidak hanya membuatku terkejut tapi juga gugup.

"Dengar – dengar, mas Nusa yang jadi guest star-nya."

Mataku menatap pantulan wajahku sendiri dalam cermin rias. Wajah yang sudah banyak berubah dari jaman aku kuliah dulu. Segala lemak bayi yang dulu berkumpul di pipiku telah lenyap, menyisakan bentuk rahang yang tampak tegas. Kedua sudut bibirku tertarik tanpa sadar, mendengar namanya otomatis menarik memoriku ke masa di mana aku masih menjadi mahasiswa sosok yang telah membuatku merasakan jatuh cinta dan patah hati di waktu yang bersamaan. Elnusa.

"Heh, jangan ngayal jorok kamu!" Alex menertawakan kalimatnya sendiri, membuyarkan lamunanku.

"Kamu tahu dari mana kalau mas Nusa bakalan hadir di sana?"

"Edward, terus anak – anak juga banyak yang sudah spill. Kamu saja kudet. Kurang update!" Ia mencibir, aku terkekeh saja.

Pikiranku belum sepenuhnya kembali dari mengenang masa – masa mencintai mas Nusa. Dosen yang juga katanya senior kampus kami dulu. Sehingga panggilan untuknya hanya berupa 'Mas' alih – alih 'bapak' seperti dosen kami lainnya.

"Besok ke kantor nggak?" Meski suara Alex cukup pelan, aku sedikit tersentak dengan pertanyaannya yang baru kusadari kami masih tersambung di telepon.

"Ke kantor lah. Memang kamu nggak?"

"Siang aku datangnya, ada janji. Sudah tahu kan kalau kita diajak kerjasama sebagai subkontraktor?"

"Belum. Memang iya? Sudah sebegitu susahnya dapat project sendiri ya?"

"Nggak juga sih. Kebetulan aja main kontraktornya perusahaan bonafid, Edward nggak mau melewatkan kesempatan."

"Dasar si mata ijo." Aku mencela Edward, Alex menertawakan sikapku.

"Mata ijo, mata ijo gitu, dia yang bikin roda perusahaan masih bergerak."

"Iya lah, takut nggak dapat cuan. Makanya effort banget."

Obrolan kami beralih dengan me-review Edward yang kuakui sangat money oriented dan nggak heran dia melebarkan sayap kemana – mana untuk mencari project bagi kantong perusahaannya. Cuma kadang – kadang dia terlampau perhitungan, bikin kita semua karyawannya agak kesel. Namanya juga bekerja dengan mencari tender, entertainment buat calon klien potensial adalah hal wajib dan Edward sangat—sangat tidak ramah untuk pengeluaran yang bersifat entertaint itu.

Tak terasa baterai ponselku memberi notifikasi butuh tambahan daya, aku mengabari Alex untuk istirahat juga. Waktu juga sudah beranjak tengah malam.

"Yaudah tidur sana, biar besok pagi pup-nya lancar."

Spontan aku terkekeh dan memaki, "juaaancookk!"

Alex mematikan sambungan telepon lebih dulu setelah terbahak menertawai reaksiku yang spontan memakinya. Aku bukan orang Jawa Timur, Alex lah yang berasal dari Surabaya dan cara bicaranya hingga kini masih medok Jawa Timuran. Dia juga yang mengajariku cara memaki seperti barusan.

Bukannya langsung tidur setelah mencolokkan hape pada chargerannya, aku malah meraih scrapbook yang kususun saat lulus kuliah dan membuka lagi foto – foto di mana ada mas Nusa di dalamnya, juga beberapa photocard hasil jepretannya.

Ingatanku membuka kenangan tentang bagaimana aku berhasil mendapatkan photocard itu dan menertawai kekonyolanku saat itu. Tentu saja aku banyak mempelajari mata kuliah yang dibawakan mas Nusa, membaca berbagai buku hingga tengah malam hanya untuk memberinya kesan 'pintar' dan berhasil menjadi mahasiswa yang namanya selalu disebut setiap ia mengisi kelasku.

Bagaimana saat kami bertemu kembali setelah sekian lama? Entah. Entah ia masih mengingatku atau tidak. Entah rasanya masih akan sama atau tidak. Entah senyumnya apakah masih berefek pada detak jantungku, atau tidak.

Meski bekerja dalam bidang yang tidak jauh berbeda, aku tidak pernah bertemu dengannya setelah wisuda. Bahkan sekedar berpapasan di jalan pun, tidak pernah terjadi. Sama sekali. Seolah semesta memang memisahkan kami, menuntutku untuk melupakannya dan mencari hati lain yang bisa kuberi.

Banyak kabar simpang siur kudengar, seperti, katanya mas Nusa melanjutkan studi ke luar negeri. Ada juga kabar soal dirinya bergabung dengan perusahaan bergengsi di Negara tetangga dan masih banyak lagi. Tapi tidak ada satu pun kabar yang berusaha aku pastikan, karena Alex tidak pernah membiarkan perasaanku yang haram tercipta itu berkembang.

Namun, mendengar namanya lagi setelah sekian lama memunculkan debaran lain yang berbeda. Gugup, cemas dan khawatir menjadi satu. Gugup, karena meski aku yakin cukup pintar menyembunyikan perasaan, namun aku tidak benar – benar yakin dapat mengontrol wajah saat berhadapan dengannya. Dan sebab itu, aku selalu khawatir bahwa mungkin mas Nusa mengetahui soal perasaanku tapi cukup bijak dengan tidak pernah mengkonfirmasinya.

Tapi, bagaimana kalau ia justru sama sekali telah lupa? Ada harapan yang terbersit di hatiku untuk diingat, meski sekedar sebagai mahasiswa yang pernah mengikuti kelasnya.

©

Hai Teman2, cerita ini sudah dipublish duluan di Karya Karsa dan sudah sampai part 9. Kalau teman2 mau baca, boleh kesana ya. Masih on going tapi akan rutin diupdate setiap minggu.

Untuk TAHL masih lanjut di sini, but slow slow update.

Makasi yaaaa ~

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now