Part 1 - Teaser Ini Mah

857 152 1
                                    

Satu tahun sebelumnya.

Rutinitasku di weekend sejak pandemi, kalau nggak bantuin ayah merawat tanaman hidroponik, ya maraton drakor. Tapi berhubung adikku yang bekerja sebagai masinis kereta itu sedang off, jadi dia lah yang sedang menemani ayah menyirami 'anak' barunya.

Sejak pandemi dua tahun lalu, ayah terpaksa pensiun meski masih kurang tiga tahun lagi sebelum usia pensiunnya. Banyak perusahaan yang pailit dan mengumumkan bangkrut, hingga terpaksa merumahkan seluruh karyawan. Ayahku salah satu karyawan yang terpaksa dipensiunkan karena kondisi itu. Sejak saat itu, ayah yang terbiasa beraktifitas pun mencari kegiatan lain.

Teknologi memudahkan ayah mencari banyak hal di kanal youtube dan lainnya, hingga akhirnya beliau mencoba hal yang sedang hits di kalangan para pegiat tanaman. Awalnya kegiatan ini murni keisengan ayah dan sekedar menanam untuk diri sendiri, eh tapi kok hasilnya cukup memuaskan dan banyak. Mulai lah ayah membagikannya ke beberapa tetangga terdekat hingga saudara. Kemudian, tanpa disadari banyak juga orang yang ingin mencoba hasil panen urban farming ayah yang kecil – kecilan. Puncaknya ketika tukang sayur langganan ibu justru mulai mengajak ayah berbisnis dengan menjadikan ayahku sebagai suppliernya.

Kegiatan yang diniatkan iseng itu pun berbuah menjadi sumber penghasilan baru untuk ayahku, sebagai anak, aku hanya dapat mendukung dan membantu sebisanya.

Senin sampai Jumat aku memang masih bekerja, tapi pandemi sempat membuat pekerjaanku berkurang banyak. Kantor kekurangan orderan, meski masih membayar gaji kami secara rutin, tapi komisi dan tunjangan profesi yang kudapatkan merosot tajam. Tak kehabisan akal, aku memanfaatkan situs kerja remote demi mencari job. Lumayan banget pekerjaan sampingannya, paling nggak, jatah belanja parfum bulananku tidak downgrade.

Aku sanggup berjalan keluar rumah tanpa make up dan alis, tapi tidak dengan wewangian.

Dan sekarang meski keadaan sudah berangsur membaik, bisnis perusahaan tempatku bekerja tidak sepenuhnya membaik. Ingin resign, tapi perusahaanku saat ini adalah milik sahabat terbaikku Alex. Dia pemilik modal dengan dua orang lainnya, tapi yang kukenal hanya Edward. Satu orang lain katanya pengusaha ternama se-Asia Tenggara dan lebih suka identitasnya dibuat anonim. Edward menjadi Direktur Utama di perusahaan sekaligus pengontrol budget. Susah banget minta budget operasional darinya, kadang Alex harus menambahkan dari kocek pribadi kalau aku sudah sambat misuh dan 'berdendang ria'.

Hubungan kami rumit. Aku menyebutnya sahabat, tapi kadang sikapnya lebih dari itu. Mantan pacarku terakhir, Andra, bahkan memutuskanku karena kedekatan aku dan Alex yang dianggapnya tidak wajar.

Aku dan Alex berteman sejak kuliah. Aku yang mendekatinya lebih dulu, karena Alex terkesan pemalu saat pertama kali bertemu. Dari sana mulanya kedekatan kami hingga kini. Bukannya aku buta atau tutup mata mengenai sikap Alex yang memang kadang tidak wajar dikatakan sebagai teman, bukan sekali – dua kali pula dia menolak perempuan yang menyukainya lebih dulu. Alex selalu mencari alasan dan kekurangan perempuan yang menyukainya itu ketika kutanya.

Tapi, aku lah yang lebih tahu alasan dia mengada – ada itu semua. Perbedaan di antara kami begitu tinggi. Bukan lagi soal kasta atau background sosial, tapi masalah keyakinan. Aku pikir, jika sulit mengakhirinya nanti, sebaiknya jangan pernah memulai sama sekali.

Maka dari itu, tak sekalipun aku memandang Alex lebih dari seorang teman. Bagaimana perasaannya terhadapku, biar menjadi urusannya. Toh Alex tidak pernah membuatku berada di posisi yang tidak nyaman. Dia tidak pernah menuntut apapun, seperti memaksaku membalas perasaannya atau melarangku dekat dengan orang lain. Dia bahkan saksi tunggal bahwa aku pernah mencintai seorang pria yang tidak seharusnya aku cintai.

Saat itu pun Alex tidak menghakimi, ia hanya mencoba mengerti dan sabar mendengar segala cerita tidak pentingku. Sekarang setelah dewasa, kami menertawakan masa - masa itu dan ya Alex mendapat bahan untuk mengejekku semaunya karena hal itu.

Bertahun – tahun kami kerja bersama, tak sekalipun Alex menyulitkanku. Sebaliknya, dia lah yang selalu menjadi 'malaikat penolong' di setiap kesulitan yang kuhadapi. Di dalam maupun di luar pekerjaan, siang ataupun malam. Seperti saran Kezia, sahabatku yang lain, aku tidak pernah menanyakan alasan Alex melakukan itu semua. Hanya menerimanya saja dan berterima kasih sesudahnya.

Sebagai balasan, aku sering memasakkan makanan kesukaan Alex atau menemani maminya saat dirawat inap. Atau sekedar menemaninya nongkrong di luar saat dia butuh teman. Aku dan maminya masih berupaya menjodohkan Alex dengan Leonnore, salah satu teman yang ia kenal sejak kecil.

Tapi hingga saat ini, aku belum melihat pergerakan Alex untuk menyambut perasaan Leonnore atau yang biasa kami panggil Lenny.

Lenny juga sering mengatakan padaku bahwa dia iri denganku. Aku tidak mencintai Alex tapi mendapat seratus persen perasaannya. Sementara dia harus menanggung perasaan cintanya pada Alex sendirian dan aku tidak bisa melakukan apa – apa untuk membantunya.

***

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now