11

215 56 3
                                    

Aku belum menghubungi Alex lagi, aku tidak yakin Kezia memberitahukannya kalau aku sudah kembali ke Jakarta. Tidak ada tanda – tanda ia tahu juga soalnya.

Kembali memikirkan perkataan mas Nusa mengenai kerjasama yang terjalin dengan kantor lamaku. Apakah Alex sengaja merahasiakannya dan menjauhkanku dari project – project yang berkaitan dengan mas Nusa? Dia sengaja?

Apakah dia tahu kalau mas Nusa telah menduda sejak beberapa saat lalu?

Aku ingin menanyakan dua hal itu, tapi teringat kabar dari Kezia soal pertunangannya. Meski aku yakin Alex tidak mungkin akan membatalkan pernikahannya hanya karena aku kembali, tapi aku ragu juga. Apakah sebaiknya aku menemui dia setelah pernikahannya saja?

Wajahku mungkin menunjukkan kegalauan, sehingga timpukan ringan tissue mampir di wajahku dengan santainya. Buah lemparan usil adikku.

"Resek lo!" Umpatku.

"Muka lo nggak santai. Ditolak lamaran lo tadi apa gimana?"

"Nggak. Eh Alex ada sering hubungin lo nggak?"

"Malah sering nongkrong kita."

"Hah? Elo tahu dia tunangan sama Lenny?"

"Tahu. Gue kira lo dikabarin langsung."

"Enggak."

Informasi dari Zayn membuatku kembali tertegun, mengapa dia main dengan adikku tapi berhenti menghubungiku.

"Elo nggak bohong sering nongkrong bareng Alex?"

"Iya." Zayn membuka hapenya, memilah – milah kemudian menunjukkan beberapa foto di mana ada Alex di sana. Mereka sedang hangout bareng – bareng dengan beberapa teman Zayn yang aku kenal juga. "Nih. Dia sempat nelpon gue nanyain kabar lo gitu, katanya lo nggak bisa dihubungi. Gue nggak paham sih, nggak bisa dihubungi yang kayak gimana. Perasaan kita telponan terus kan. Yaudah dia bilang nggak mau ganggu lo yang mau healing bla bla bla. Dari situ dia malah sering gue ajak hangout, mau mau aja."

Healing.

Menemani ibu healing lebih tepatnya.

"Kapan nikahnya?"

"Dua minggu lagi, elo pasti diundang kok."

"Dia pernah bahas gue nggak?"

Wajah meledek Zayn lah yang pertama kali muncul sebelum jawabannya. Membuatku bete dan menolak mendengarkan apapun yang hendak ia katakan.

"Dahlah!"

"Yeuu. Nggak pernah, cuma nanya kabar aja sesekali. Nggak lebih."

Sepertinya dia sudah sepenuhnya move on. Seperti kehilangan teman terbaik, meski aku tahu sudah seharusnya kami menjauh, bahkan aku sendiri yang sengaja mengabaikan Alex saat di kampung. Tetap saja, rasanya berbeda saat sudah berada di Jakarta. Dia lah yang selama ini menemani hari – hariku, yang tidak pernah alpa menghubungiku setiap waktu.

Namun, ada rasa kecewa tahu bahwa dia menyembunyikan kerjasama dengan mas Nusa. Jika aku tahu pernah sedekat itu dengan mantan crush-ku, mungkin aku juga segera tahu mengenai status barunya. Sekarang, aku berharap mas Nusa memang masih sendiri dan belum memiliki pacar. Meski aku turut berduka akan kehilangannya, hatiku yang pernah sangat mencintainya kembali hidup dan bergerak tak terkendali. Rasa – rasa yang dulu kupendam setengah mati, menyeruak kembali ke permukaan.

Meski tidak semuda ingatanku, mas Nusa masih mempesona dengan caranya sendiri.

Bukankah sudah waktunya aku kembali bersosial media? Namun, ada rasa ingin melarikan diri dari dunia maya, aku tidak suka dengan segala kepura – puraan yang ramai ada di sana.

Panggilan dari Kezia membuatku beranjak dari ruang tv dan memasuki kamar untuk mengobrol dengannya.

"Wissssss, gue malah dapat kabar dari si bos, lo besok udah mulai kerja. Gileeee."

"Kok lo nggak bilang sih itu perusahaan punya mas Nusa? Kita kan ikut kelasnya beberapa semester, Kez."

"Ih lo inget mas Nusa? Gue kira nggak bakalan inget. Gue aja lupa sampai diingetin Debby kalau beliau pernah ngajar di kampus kita."

"Lo bilangnya senior kita."

"Iya beliau kan senior kita juga."

"Ihh. Lo mah! Tahu gitu kan persiapan gue lebih mateng."

Nggak, bukan ini yang ingin kukatakan sebenarnya. Kalau tahu yang akan kudatangi adalah perusahaan milik mantan crush-ku, setidaknya aku harus tampil all out. Meninggalkan kesan yang baik untuknya, itu penting bagiku. Sayangnya, Kezia bukan Alex yang bisa kuceritakan segala hal tentang mas Nusa dan kebucinanku meski beberapa tahun telah berlalu.

Mungkin bisa dikatakan, mas Nusa adalah cinta pertamaku. Yang pertama dan terdalam hingga yang paling membuatku berdarah – darah sebab statusnya yang tidak lagi sendiri saat itu.

"Halah, elo begitu saja langsung diterima kan? Gue bilang juga, mas Nusa mah lebih melihat lo lulusan mana."

"Gue juga baru tahu mas Nusa pernah kerjasama dengan Kubus. Selama ini gue nggak pernah dapat project bareng dia." Bisa kuakui, nada bicaraku saat ini sarat dengan penyesalan.

Semoga Kezia tidak bisa membacanya.

"Ealaaahh masa sih lo nggak tahu? Gue saja tahu kok."

"Hah?"

"Lha iya. Kebangetan kalau lo nggak tahu sih. Entah lo yang cuek atau memang lo nggak pernah dikasih job yang direct ke mas Nusa."

Oke, kali ini aku sungguhan ingin menghubungi Alex dan mengkonfirmasi semuanya.

"Asikkk besok kita sekantor donggg." Ucap Kezia penuh semangat, namun aku tidak dapat menyerap semangatnya. Terlalu banyak yang kupikirkan sekarang.

"Iyaa."

Dalam kepalaku berseliweran tentang Alex, mas Nusa dan kerjasama yang tidak pernah kutahu. Entahlah, suara Kezia terdengar jauh sekarang karena aku sibuk memikirkan segala kemungkinan. Benarkah Alex seposesif itu hingga membuatku terus berjauhan dengan mas Nusa? Padahal, selama ini pun aku berkencan dengan orang lain, Alex tahu dan biasa saja. Kenapa mas Nusa berbeda di mata Alex? Padahal dalam hal ini, hanya aku yang menyukai mas Nusa, sementara dia mungkin tidak tahu apa – apa.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now