15

207 53 0
                                    

Aku kembali makan siang jam dua, kantor sudah sepi. Hanya menyisakan Endah dan Timo, dan aku tahu Endah hendak keluar hari ini. Aku berbasa – basi pada Endah menanyakan apakah dia sudah makan, jawabannya membuatku menyesal telah bertanya.

"Sudah tadi sama mas Nusa."

Bagiku, selamanya mas Nusa hanya cocok dengan mbak Alisa. Mereka berdua serasi, jadi mendengar mbak Alisa meninggal cukup membuatku sedih meski bukan siapa – siapa. Aku hanya tidak dapat membayangkan bagaimana kehidupan mas Nusa tanpa cinta sejatinya itu.

Dan saat menjawab pertanyaanku tadi, aku bisa menangkap semu merah di kedua pipi Endah. Dia menyukainya? Ada rasa tidak rela apabila mas Nusa dekat dengan orang lain.

Jika tidak dengan mbak Alisa, mas Nusa tidak boleh dekat dengan orang lain lagi. Itu yang kuharapkan. Tidak, aku tidak pernah bermimpi untuk menggantikan posisi mbak Alisa di hati mas Nusa bahkan di hidupnya. Aku hanya yakin, tidak akan ada yang dapat menggantikan posisi mbak Alisa di hati mas Nusa. Termasuk aku. Pengagum posesif, aku telah menobatkan diriku. Karena tidak berani bermimpi untuk memiliki mas Nusa sebagaimana mbak Alisa pernah memilikinya. Dan mungkin, masih hingga saat ini.

Aku baru bertemu mas Nusa dua hari ini, masih banyak hal yang belum kuketahui tentang kehidupan pribadinya. Mungkin kah ia sudah menemukan pengganti mbak Alisa? Atau bahkan telah berjanji untuk tidak mendua meski sang istri sudah lebih dulu pergi meninggalkan Dunia.

"Kak Zoraaaaaaaa."

Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Nadia berlari dari arah pintu masuk, menghambur memelukku yang masih membeku terkejut karena kedatangannya yang tidak kusangka. Padahal, kemarin aku bertemu dengannya di gedung yang sama. Maksudku, aku tidak menduga bahwa hari ini dia akan datang lagi. Tapi, sepertinya Nadia terlalu menyukai kantor papanya.

"Hei, kamu kesini lagi." Ucapku retoris, Nadia melepaskan pelukannya dan memberikan cengiran lebar pada kami. Aku dan Mimi.

"Aku tahu dari papa kalau Kakak hari ini sudah mulai kerja."

"Hehehe. Kamu mau ke papa?"

Nadia menggeleng, ia menarik kursi milik Jamal untuk duduk dekat denganku.

"Aku mau ketemu Kakak."

"Nad, sudah makan belum kamu?" Endah menyela pembicaraan kami, Nadia menoleh dan mengangguk pada Endah. "Makan pakai apa?"

"Ramen."

"Kok ramen sih? Nanti lapar lagi lho."

Keduanya terdengar cukup akrab.

"Aku mau pesan corndog nanti. Tante mau kemana?"

"Mau ketemu klien dulu. Tante pergi ya."

Sebelum berlalu, Endah mengingatkanku untuk memulai membuat draft. Aku mengangguk, ia pun pamit setelah mampir ke ruangan mas Nusa untuk berpamitan juga. Disusul Timo yang juga berpamitan pada kami berdua.

Tinggal lah aku, Nadia dan Mimi di ruangan ini. Mimi mendekat pada Nadia dan menawarkannya snack lidi – lidian beraneka rasa, dengan senang Nadia mengambil yang rasanya pedas.

"Kamu suka pedas, Nad?"

Ia mengangguk sambil membuka bungkus lidi – lidiannya.

"Kak, kalau menstruasi memang perutnya sakit ya? Perut aku sakit banget tahu dari semalam."

"Ada yang sakit, ada yang enggak. Kalau sakit biasanya Kakak minum obat, tapi kamu masih terlalu muda. Dikompres pakai air hangat saja dulu perutnya."

"Nadia sudah menstruasi?" Tanya Mimi, dengan malu Nadia mengangguk kecil.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now