5

449 89 0
                                    

Hingga suatu malam, ibu mengajakku bicara.

"Gimana kerjaan online kamu? Menghasilkan banyak?"

"Nggak sebanyak kerja reguler siy, Bu. Kebanyakan kerja remote sekarang mencari para ahli di bidang IT dibanding arsitek."

"Tapi lumayan kan?"

"Iya, lumayan lah. Nggak terlalu nungguin transferan dari Zayn banget." Candaku, ibu mendorong lenganku sambil tertawa.

"Ngomong – ngomong soal Zayn, Ibu kepikiran terus sama adek kamu itu. Sakit – sakitan terus sejak kita tinggal."

Aku terdiam sambil menunduk dan memandangi pewarna kuku yang sudah pudar di tanganku. Pewarna kuku hasil bermain dengan adik sepupuku yang masih duduk di bangku SD. Ya aku tidak memiliki teman sebaya yang masih lajang di sini.

Rata – rata perempuan seumuranku sudah memiliki anak paling sedikit dua. Mereka bahkan terkejut ketika mengetahui usia dan status lajangku ini. Iya, aku si wanita langka di desa kecil ini.

"Terus?"

"Ibu sudah terbiasa lagi tinggal di sini. Kamu bisa kembali ke Jakarta, temani adikmu dan bekerja lagi seperti dulu."

Aku menghembuskan napas, mengangkat wajah dan menatap mata ibu. Kupandangi setiap inci wajah Ibu. Wajah yang telah diubah oleh masa, yang menunjukkan betapa ibu telah melalui banyak hal dan tahun.

"Lebaran kita kumpul lagi di sini. Tapi sekarang, kamu bisa kerja di kantor seperti sebelum datang kesini."

Kemudian aku teringat jadwal kerja adikku yang tidak reguler seperti orang kantoran pada umumnya.

"Zayn mana bisa ambil cuti saat Lebaran sih, Bu."

"Ya kamu saja, Zayn bisa nyusul kalau itu sih."

"Ibu yakin, nggak apa – apa aku tinggal?"

"Nggak apa – apa. Ibu mau ikut jualan ikan nanti sama bibimu, biar nggak bengong terus."

"Iya. Ibu harus banyak gerak juga, biar badannya nggak kaku."

"Iya."

Ibu memelukku, aku mengusap punggung ibu dengan lembut. Ibu sudah berusaha merelakan ayah dan aku harus percaya bahwa ibu memang telah baik – baik saja. Hampir setahun juga aku tinggal di sini, jujur saja, aku bukan gadis desa.

Di sini cukup membosankan meski masih memiliki pemandangan yang indah. Aku juga sering bermain ke pantai dengan adik sepupuku sekedar untuk melihat matahari terbenam, tapi ya hanya itu hiburan yang bisa kulakukan.

Sesekali aku belanja di pasar ikan dan membuat acara sendiri dengan para adik sepupu di rumah seperti memanggang ikan atau merebus kerang. Tapi, aku sangat merindukan Jakarta dan hiruk pikuknya. Rindu bekerja dari jam delapan pagi hingga tujuh malam, kalau sedang senggang bisa kabur jam empat sore.

Meski harus bermacet – macetan setiap pagi, tapi rasanya semua itu termaklumi apabila malamnya bisa hangout bersama circle-ku di coffee shop atau sekedar menikmati acara live music di berbagai kafe.

Dan sekarang ibu sudah bisa kutinggal dengan tenang, kutitipkan pada pamanku yang tak lain adalah adik kandung ibu. Dengan dalih menemani Zayn, sesungguhnya aku hanya ingin keluar dari desa kecil ini.

Beautiful SunsetWhere stories live. Discover now