prologue

697 87 21
                                    

I put a very heavy expectations on people: gue selalu berharap jatuh cinta harusnya life changing — gue sembuh dari semua depresi brengsek, hidup kayak ke-reset, dan semua yang terjadi langsung hilang. Cita-cita yang susahnya setengah mati karena psikolog dan psikiater berpengalaman aja nggak pernah bisa.

But I expect all of these moment happen cuma karena satu orang, satu orang yang bertahun-tahun nggak pernah ada karena semua selalu kerasa under qualified. Sampai gue menyadari: ini semua salahnya ada di dalam kepala gue.

Menyadari itu pun nggak serta merta membuat semuanya jadi berubah. Gue hidup selama bertahun-tahun dengan cara yang sama. Dengan poin berpikir yang sama. Rasanya kayak disuruh lahir baru dan itu nggak bisa dibantu cuma dengan sekali tidur.

Waktu gue memaksakan kaki gue memasuki sebuah dunia yang gue nggak tahu, memaksakan menjadi bagian dari orang yang gue nggak kenali, yang dari awal aja gue tau nggak akan bisa bikin semua rasa gila di kepala gue ini ilang: ada perasaan mau muntah yang nggak dibuat-buat berputar di kepala gue. Kayak rasanya ketakutan yang gue nggak pernah sebut namanya, karena gue kira itu cuma.. preferensi? Muncul dan marah-marah.

We spent days and weeks dalam hitung mundur yang gue buat di kepala gue sendiri, karena yang satu ini juga akan expire. Kayak semua-semuanya yang ada di dunia ini.

But there was this one night, ketika jumlah malam semakin tipis sebab hari kadaluarsa hubungan ini semakin dekat, dunia yang brengsek ini tiba-tiba hancur lebur tapi gue gak punya opsi selain berdiri tegak karena nggak ada yang bisa membantu apa-apa. Dibanding menangis, gue memutuskan memarahi semua yang bernyawa hari itu. Karena mereka semua nggak berguna, mereka semua nggak pernah membantu gue untuk lepas dari semua masalah ini–dan malah ngasih masalah baru.

Tapi dia diam, di ujung ruangan yang nggak pernah cukup layak untuk ditinggali siapa-siapa, dia duduk tenang dan memberikan air putih. Menonton gue menangis sambil mengelus puncak kepala gue. Menjawab dengan sabar semua pertanyaan yang sebenarnya nggak pernah ditakdirkan untuk masuk akal — nggak semua harus masuk akal.

Gue tertidur nggak tau jam berapa, yang gue tau napas gue sesak kebanyakan nangis dan gue ingat betul gue ketiduran di depan televisi, tapi gue bangun lurus di atas tempat tidur gue dengan selimut hingga dada. Di kabinet sisi tempat tidur, ada air putih dan roti dalam kemasan beserta catatan minta maaf nggak bisa menunggu sampai bangun.

Dari segala posibilitas di dunia, pagi itu gue mendapati diri gue mempertanyakan seberapa banyak modal yang harus gue pertaruhkan di judi kewarasan yang satu ini sambil bersiap-siap berangkat ke kantor.

Hi semoga ada yang baca huhu I'm trying to write again and hope I can finish this one :D Please interact if you read :D Thank you

 

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceWhere stories live. Discover now